Cerita ini merupakan cerita bersambung milik LPM Perspektif dari karya yang berjudul “Jeruji Kenistaan: Dalam Pelukan Tragedi dan Gairah Terlarang” yang dapat anda akses pada tautan berikut : https://lpmperspektif.com/2023/08/20/jeruji-kenistaan-dalam-pelukan-tragedi-dan-gairah-terlarang/
Penampilanku sekarang tidak ada bedanya dengan mayat hidup. Banyak lebam dan memar yang tidak kunjung pudar. Bagaimana tidak? Bahkan ketika lukanya belum sembuh, aku pasti sudah mendapatkan luka baru kembali dengan cara yang lebih keji. Aku bahkan sudah berulang kali disetrum dengan alat yang menyalurkan tegangan listrik hingga membuat sekujur tubuhku mati rasa. Sejak aku dijebloskan ke penjara, aku mulai kesulitan membedakan apapun. Kelima indera milikku seolah mati pun jiwaku yang sudah melanglang buana entah kemana. Aku bahkan tidak mampu membedakan mana pagi dan malam. Hal yang aku ketahui adalah jam makan di pukul satu siang yang menjadi patokan bahwa hari sudah berjalan separuhnya. Aku pun tidak mampu lagi membedakan wewangian, bau pesing, keringat, dan anyir darah. Seperti saat ini, aku memandangi seorang pria yang bertugas mengepel area lapas setiap seminggu sekali. Biasanya ada wewangian pengharum lantai yang dapat aku endus, namun sekarang tidak. Aku bahkan curiga sekujur tubuhku tidak berfungsi lagi dan aku telah siap untuk ajal yang akan aku hadapi. Pertanda kematian memang seperti ini kan?
Gemericik kunci menarikku dari lamunanku yang lagi-lagi mengemis untuk segera mati. Sipir memandangi aku dan kumpulan narapidana dengan tampang jijik. Padahal, mereka sendiri yang tidak tahu cara memperlakukan manusia dengan manusiawi dan hanya merawat perut buncitnya itu pun dompetnya yang tidak pernah tipis. Bagaimana tidak? aku bahkan tidak yakin, tapi di dalam sel yang sempit, ada sekitar 60 lebih manusia yang dipaksa untuk berhimpitan disini. Meluruskan kaki yang mulai kesemutan pun tidak akan bisa karena sekedar menoleh pun sudah tidak cukup ruang dan malah menambah sesak nafas jika bergerak barang satu senti. Tidak jarang, satu narapidana dengan badan yang cukup kekar malah melakukan kekerasan agar dirinya mendapatkan ruang yang lebih lega. Namun sipir dengan ketidaketisannya malah menambah 5 orang lagi ke dalam sini.
“Pak tolonglah, Pak. Sudah sempit sekali ini,” Ujar seorang pria berperawakan tinggi menjulang di sudut paling belakang. Sipir bukannya menjawab malah menggeram dan menendang jeruji lalu pergi.
“Anjinglah. Pembunuhan massal ini,” ujar seorang pria yang baru masuk. Aku menatapnya lamat-lamat dengan ujung mataku. Sadar dilirik, dirinya menolehkan kecil kepalanya, “Aku Imron. Sudah lama disini?”
Aku mengedikkan bahu, “Aku Damar. Entah, aku juga tidak tahu sudah berapa lama disini. Seingatku aku cuma dipindah-pindah sel saja tapi sidangku juga tidak kunjung dimulai,” jawabku. Imron menatapku seolah menilai terutama pada luka yang mulai berbau busuk dari tubuhku. Mungkin iba sebab di tubuhnya masih belum ada secuil luka barang segaris pun.
“Ditahan karena apa bang?”
Pertanyaan Imron membuatku merenung. Ingatanku bahkan sudah mulai samar untuk mencari tahu apa yang menjadi penyebab aku berakhir di sel ini. Aku bahkan menerka-nerka kejahatan apa yang sebenarnya sudah aku lakukan sehingga aku disiksa sebegini parahnya. Apa mungkin mengambil nyawa orang lain atau melakukan perampokan?
Hal ini membuatku berefleksi sangat lama hingga seorang sipir menarikku keluar dari jeruji besi. Asumsiku awalnya, aku pasti akan disiksa dulu sebelum dipindahkan ke sel yang lebih kecil. Namun, tebakanku sepertinya salah karena aku dibawa ke ruangan yang remang yang telah diisi oleh seorang pria dengan banyak lencana di seragamnya. Seorang jenderal mungkin? perawakannya yang tegap dan auranya yang begitu berkharisma membuatku langsung berpikir bahwa dirinya adalah orang penting di pemerintahan atau mungkin bagian kepolisian.
“Halo, bung Damar!” Pria tersebut menyapaku dengan nada hangat namun mengintimidasi. Aku tidak menjawabnya dan duduk di bangku yang disediakan di depannya. Aku menerka-nerka siapakah gerangan pria ini dan apakah aku memang mengenalnya sebelum aku masuk dan otakku dihancurkan habis-habisan di lapas?
“Sepertinya anda lupa. Aku tangan kanan Pak Freddy. Kalau kamu ingat, paman gadis yang sering bersamamu dulu. Disini, aku ingin membantu meringankan bebanmu. Sudikah bekerja sama?”
Ah, Gadis? Aku jadi ingat satu gadis yang benar-benar aku hargai sebegitu kerasnya setelah sosok ibuku yang tiada di usiaku yang beranjak remaja. “Kalau diberi kesempatan untuk hidup lebih lama, bahagia bersama Kinan adalah hal yang benar-benar aku semogakan di sepanjang doaku,” sumpahku seraya menangkup pipi gadisku, menatapnya dalam, berusaha untuk menyalurkan rasa cintaku, mengalahkan indahnya langit yang menguning di Parangtritis dan sejuta pesonanya.
Kinan, gadisku. Tanpa bersolek, dirinya selalu terlihat bercahaya meski langit telah meredupkan cahayanya, Kinan yang senyumnya lebih menenangkan dari deburan ombak yang selalu merayuku untuk tenggelam, Kinan yang suaranya selalu bernada kasih, dan Kinan yang terakhir kali memohon di depan kakiku sembari menangis meski darah yang mengalir dari selangkangannya tidak kunjung berhenti.
Ah, ada perasaan rindu yang membuncah namun nyeri yang luar biasa entah di tubuh bagian mana. Apakah di pelipis yang tidak sengaja terbentur tembok atau punggungku yang habis-habisan di cambuk, atau mungkin hatiku? Kenapa gadis itu –Kinan mampu memberi nyeri sehebat ini secara tiba-tiba?
Bersambung…