Kenangan hidup selayaknya aliran sungai. Sejauh apa pun kelokannya, sejatinya ia selalu berpulang pada laut. Seberbahaya apapun bebatuan yang dilangkahi, pada hati dirinya akan bernyawa kembali. Perumpamaan itu menjadi pegangan terakhirku sebelum ikut mengubur diriku bersama kenangan.
***
Aku Enggar. Saat ini 26 tahun. Teman-temanku sering mengumpamakanku sebagai buket bunga hidup yang sering kali dijadikan sebagai hadiah perayaan-perayaan bahagia dan duka. Si cantik yang gampang mati, perasaan yang gampang layu dan terbuang. Mereka menilai pesta pora pada setiap musim kehidupanku adalah bayangan sekelebat, seperti betapa lajunya kereta di stasiun antar provinsi di depan mata. Kalau dulu ditanya apakah aku marah atau tidak, mungkin aku akan menjawab ‘tidak’ karena dengan bangganya aku menyebut diriku sebagai kenangan yang panjang umur dan lestari pada sudut khusus hati tiap manusia. Namun jika ditanya sekarang, rasanya seperti ditusuk pelan-pelan dengan ribuan jarum satu per satu.
Petangku tidak pernah berwarna senja dengan langit kejinggaan menunjukkan senja. Dirinya tampak selalu mendung sebagaimana bisingnya kota yang tak lama makin terasa seperti mati. Berdiri di pinggiran rel kereta yang sedang dibatasi palang menjadi salah satu kegiatan yang secara repetitif aku lakukan sebagai pelepas penat dan pikiran kotor yang perlu dicegat. Rasanya monoton. Setiap sore kereta lewat dengan masinis yang melambai dengan besi tuanya yang berbunyi untuk sekedar menyapa jiwa penat yang mengantri untuk segera menerobos palang untuk pulang. Sedang aku menatap nanar dengan klakson kendaraan yang bersahut-sahutan menjadi pengisi suara kegaduhan isi kepalaku tentang kemana dan kapankah aku harus berpulang?
Hidup pada kerinduan dan kenangan yang panjang umur rasanya sesak. Entah sebising apa dunia, segalanya terdengar seperti sunyi. Tak ada nasehat lembut yang menjamah persedian, tak ada tenang yang memelukku hingga terpejam hangat, tak ada palung peraduan. Kenangan pun telah memeberiku banyak pengajaran. Hidup pada lingkungan yang berbeda dengan kebanyakan orang telah mengajarkanku perihal ikhlas. Berdiri mejadi punggung keluarga telah memberi aku anggapan bahwa aku adalah batu karang yang kokoh. Nyatanya, batu karang pun bisa keropos dan tergerus, rapuh dan terkikis.
Entah sejak kapan aku mempelajari analogi tersebut. Entah sejak usiaku mulai bertambah atau mungkin sejak aku mulai membenci kenangan yang entah kenapa memiliki umur yang lebih panjang daripada manusia.
***
Kejadian empat tahun lalu membuatku benar-benar merasa dikurung oleh perasaan bersalah. Setiap mengingat betapa tak berdayanya aku untuk sekadar mengucapkan perpisahan membuat kepalaku mendidih. Tak ada yang bisa menjadi peraduan dan bala bantuan hingga dengan bodohnya aku sempat membenci keberadaan-Nya.
“Bus terakhir berangkat sepuluh menit lagi, Bu. Kalau Enggar telat, nanti kita tidak bisa makan, tidak bisa pula menabung untuk membayar orang yang kita hutangi kemarin,” kataku sambil mengemasi beberapa hasil ladang dan titipan hasil melaut milik tetangga dengan rapi dalam box kontainer besar.
“Tapi besok sudah pergantian tahun kan, Gar? Nanti kamu kesulitan dapat bus untuk pulang. Biasanya mereka banyak yang ambil cuti, nak” ujar Ibuku sambil menyusun beberapa pakaian yang sedang dilipatinya. Aku tersenyum simpul berusaha menenangkan kegundahan Ibu, padahal di kepalaku juga sama takutnya tidak bisa pulang. Apalagi kalau hasil ladang tidak terjual, aku tidak akan punya uang sama sekali.
Namun melihat betapa menyedihkannya tubuh kurus kelima adikku membuatku harus menjadi tegar atas apa yang aku hadapi di depan mata. Toh, jika selamanya aku takut, kapan lagi aku bisa mengajak keluargaku untuk keluar dari kemelaratan yang menyiksa tulang belakang setiap harinya? Jadi, tanpa mendengarkan permohonan ibu, aku segera memeluknya dan berlari menaruh kontainerku ke satu-satunya bus yang beroperasi dari desa menuju pusat kota hari ini. Setelahnya, aku menghampiri ibu yang berusaha menunjukkan raut tenangnya walau aku sangat tahu pasti di dalam hatinya sedang sangat kalut.
“Nanti kalaupun Enggar tidak bisa pulang, Enggar coba keliling sekitar pasar tanya-tanya lowongan pekerjaan ya, Bu? Enggar janji akan kembali karena bungsu juga ulang tahun kan?” Aku tersenyum sambil menepuk pucuk kepala si bungsu yang sedang terlelap di depan pintu rumah, kemudian memeluk ibuku yang tidak bisa menahanku lagi.
“Pokoknya besok Enggar janji kita makan enak ya, Bu?”
***
Namun rasanya penyesalan menjadi nama belakangku sejak saat itu dan aku tumbuh bersamanya. Betapa pedihnya ketika hanya tubuh tak bernyawa dari anggota keluargaku yang tersisa. Keadaan desa juga sama kacaunya. Para warga sibuk memadamkan api yang melahap rumahku dan sebagian lagi memukuli para rentenir hingga lebam. Kemelaratan selalu berujung pada kematian namun ketakutan untuk bertahan hidup adalah satu-satunya yang menjadikan aku buta. Memang nominalnya tidak seberapa bagi mereka namun peminjaman dengan orang berduit dan berkuasa tidak pernah kusangka harus dibayar dengan nyawa, terlebih tanggal jatuh temponya pun belum tiba. Kemiskinan yang mengguruiku sejak kecil tidak pernah membiarkanku mengecap pendidikan karena untuk makan sekeluarga saja sudah lebih dari cukup untuk tetap dan selalu bertahan.
Namun tidak ada kehilangan yang setimpal dengan segala pesakitan yang aku alami ini. Adil kah, Tuhan? Aku bahkan pulang tepat waktu di pagi hari, tidak undur sehari, dengan beberapa lembar uang hasil dagangan dan secarik kertas berisi lowongan kerja. Nyatanya, tujuan perjuanganku telah sirna dilahap kematian.
Rasanya aku tumbuh pada gagal dan jijik dalam setiap langkahku. Kepalaku ditimpa berbagai rasa sakit dan sekelebat kenangan bermunculan bertubi-tubi di depan mataku. Menangis memang bukan menjadi solusi untuk membawa jiwa yang pergi hidup kembali. Terlebih ketika aku bertemu pada pucuk kenangan lagi dan lagi. Merengek bukan cara Tuhan membesarkan manusia untuk menghadapi datang dan pergi, perjumpaan dan perpisahan — tetapi entah kenapa rasanya seperti sesak menjalar hingga ke tenggorokan, menikamku dari dalam hingga menelan ludah pun rasanya seperti tersayat.
Namun, Bu? kenapa harus aku yang membesarkan kalian semua pada kenangan? kenapa sosok kalian mulai samar dan tak dapat digenggam? kenapa kalian dan darah adalah satu-satunya yang aku lihat untuk terakhir kalinya? Bu, bagaimanapun manusia menghidupkan kenangan yang bermuara pada laut, ia tidak akan bisa bernafas di dalamnya, ia akan tercekat lalu sakit, ia akan kehabisan nafas, ia akan mati. Kenapa kenangan dan kalian panjang umur pada aku?