Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen yang berjudul “Sisa-sisa Es Krim”, dapat anda baca melalui https://lpmperspektif.com/2022/12/11/sisa-sisa-es-krim/
Ruang pengaduan bukan tempat yang menyenangkan. Luasnya hanya beberapa petak dengan ventilasi minim dan berbau apak khas asap rokok. Wajah-wajah di dalamnya pun tidak tampak ramah, tiga lelaki dewasa dengan perut buncit berwajah lesu menyambut kedatangan Ratna dan Ibunya.
“Ratna, tunggu di luar ya, biar Ibu yang masuk,” ujar ibu seraya mendudukkan Ratna di depan ruang pengaduan dan memberikannya sebuah permen untuk menemani Ratna, kemudian berjalan masuk ke ruangan tersebut.
Selagi ibu berada di dalam ruang pengaduan, pikiran Ratna melanglang buana. Ditatapnya permen di tangannya dengan ragu-ragu, dahinya bekernyit membayangkan permen itu masuk ke dalam mulutnya. Permen, seingat Ratna rasanya manis dan semua teman-temannya menyukainya, termasuk Ratna. Rasa favoritnya stroberi karena perpaduan rasa manis dan asam yang menurutnya menarik dan membuat mulutnya tidak bosan untuk mengecap. Tetapi permen dan manisan-manisan lain tidak lagi menarik bagi Ratna, entah sejak kapan. Mungkin sejak kue terakhir yang ia makan. Sebab kini, membayangkan manisnya membuat Ratna ingin muntah.
“Lalu saya harus lapor kemana, hah?!”
Teriakan kencang itu membuat Ratna mengalihkan pandangan dari permen di tangannya kepada ibu yang berdiri tegap dengan wajah memerah dan tangan mengepal kuat seolah siap membogem siapa saja yang membuatnya semakin marah. Berbanding terbalik dengan ibu yang terlihat begitu berapi-api, ketiga pria dewasa di hadapannya justru tampak acuh dan menatap satu sama lain seolah ibu yang begitu marah tak mengubah apa-apa.
Ratna berjalan mendekati ibu, menggenggam tangannya dan menariknya. “Ibu, ayo pulang saja.”
Ia tak suka ibu marah dan meninggikan nada. Sudah cukup baginya mendengar ibu sehari-hari beradu argumen dengan ayah. Di hari seperti ini, ada baiknya ia mendengar suara lembut ibu ketika bernyanyi atau membaca buku kumpulan cerita rakyat di rumah, di atas kasur dengan jendela terbuka yang menghantarkan angin sepoi-sepoi hingga membuat Ratna tertidur dalam timangan hembusan angin yang membelai wajahnya. Lebih baik begitu.
Tarikan tangan Ratna membuat ibu menoleh ke arahnya, matanya berkaca-kaca sebelum akhirnya banjir tangis dan tersungkur di hadapan ketiga lelaki dewasa yang menatap ibu dengan pandangan lelah seolah ibu seharusnya tidak berada di sana agar tidak merepotkan mereka.
Ibu menjerit, meraung, memohon di bawah kaki pria-pria tersebut. “Saya mohon, Pak. Anak saya tidak tahu apa-apa. Seharusnya tidak begini kan, Pak? Seharusnya dia punya masa depan yang cemerlang dan kenangan yang baik. Saya tidak minta ganti rugi, saya cuma minta laki-laki itu dihukum. Itu saja. tolong kami, Pak”
Salah satu pria berseragam tersebut mendengus kesal. “Saya kan sudah bilang, Bu, kalau tidak ada bukti, kami tidak bisa proses.” Pria berseragam lain menyahuti dengan nada ketus. “Kami ini juga sibuk Bu, perkara remeh begini sebaiknya dibicarakan secara kekeluargaan saja.”
***
Satu, satu aku sayang Ibu.
Dua, dua juga sayang Ayah.
Tiga, tiga sayang Adik Kakak.
Satu, dua, tiga, sayang semuanya.
Kata Ibu guru, keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, dan Ratna sebagai anak tunggal. Ibu guru bilang, keluarga Ratna kecil. Itu bukan masalah. Sebab tidak perlu banyak saudara untuk membuatnya hangat. Tetapi, seringkali, Ratna membayangkan betapa melegakannya ia menjadi anak tunggal yang menghadapi pertengkaran ibu dan ayah setiap hari. Ratna tidak dapat membayangkan bagaimana ia harus menghadapi ibu dan ayah yang bertengkar setiap saat sembari menenangkan saudaranya. Pasti melelahkan, lebih baik begini.
“Apa kata polisi?” tanya ayah pada ibu yang sibuk memasak di dapur.
“Disuruh diskusi secara kekeluargaan dengan lelaki itu. Katanya itu solusi terbaik,” ujar ibu dengan nada datar, terdengar tak ingin mengucapkan kalimat itu dari mulutnya.
“Diskusi bagaimana? Minta ganti rugi begitu?” tanya ayah.
Ibu diam sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Kita bukan keluarga. Aku mau ini diselesaikan melalui jalan hukum.”
Ayah berdeham keras sebelum menyahut. “Minta saja ganti rugi ke lelaki itu, kita minta sejumlah uang untuk ganti rugi. 100 juta mungkin? Lumayan untuk memperbaiki kehidupan kita juga,” ujar ayah ringan dengan tawa kecil di akhir.
Tubuh ibu yang tadinya sibuk kesana kemari kini mematung, perlahan ibu melangkah mendekati rak perlengkapan makan, tangannya yang kosong gini menggenggam gelas kaca di tangannya. Dalam diam, ibu begerak dengan tatapan kosong mendekati ayah.
Ayah mendongak, menatap ibu yang berdiri terlalu dekat dengannya. “Kenapa?”
Sorot mata ibu tampak menyeramkan karena amarah dan sebelum Ratna bisa mencerna apa yang terjadi, ibu menghantamkan gelas di tangannya ke kepala ayah, cukup keras hingga Ratna bisa merasakan rasa besi di mulutnya.
Ayah tersungkur dengan kepala berdarah-darah.
Normalnya, anak kecil seperti Ratna akan menangis melihat insiden berdarah seperti itu di depan matanya. Namun, Ratna tidak begitu. Alih-alih merasa takut, ia lega karena ibu akhirnya berani membalas. Kali ini bukan ibu yang berdarah tapi ayah.
“Perempuan perek, anjing kau, Tri—”
“DIAM!” teriak ibu seraya memukul kepala ayah lagi dengan pecahan kaca sebelum ayah sempat mengucap nama ibu. “Jangan sebut namaku dengan mulut kotormu.”
Setelah memastikan ayah pingsan, ibu bergegas berdiri dan menggendong Ratna menjauh dari meja makan dan mendudukkannya di ruang tamu. Dengan terburu-buru ibu masuk ke dalam kamar dan memasukkan berbagai barang ke dalam tas ransel milik ayah. Mata Ratna menatap sosok ayah dan ibu bergantian, ia takut kalau-kalau tiba-tiba ayah bangun dan membalas perbuatan ibu.
Untungnya, ibu begitu gesit dan bergegas keluar dari kamar.
“Ratna, kita pergi dari sini ya? Maaf karena membuat Ratna menunggu lama.”
Begitulah malam itu Ratna untuk pertama kalinya merasakan berkendara dengan bus di malam hari. Ratna menyadari bahwa dunia begitu luas dan waktu tidak pernah berhenti bagi siapapun. Di dalam dunia yang begitu luas dan dinamis ini, di bagian mana Ratna dan ibu bisa mendapatkan kebahagiaan?
***
Setelah keluar dari rumah, ia dan ibu tinggal di sebuah kos-kosan kecil yang kumuh. Tetapi, Ratna senang dengan rumah barunya. Tetangga-tetangganya adalah perempuan-perempuan yang baik hati dan penuh kasih. Mereka tidak keberatan untuk mengurus Ratna dari pagi hingga sore hingga ibu pulang.
Suatu kali, Ratna begitu penasaran dan bertanya kepada Ibu. “Tante-tante di sebelah kok selalu pergi di malam hari, Bu?”
Ibu yang begitu sibuk dengan kertas-kertas di tangannya mendongak dan tersenyum kecil, “mereka punya jam kerja sendiri, Ratna. Kalau Ibu dari pagi hingga sore, Tante-tante sebelah dari malam hingga pagi. Kenapa memangnya? Ratna tidak nyaman?”
Ratna menggeleng. “Nyaman, cuma penasaran. Memang Tante-tante itu kerja apa?”
Ibu tampak berpikir keras, cukup lama ibu menggumam sebelum akhirnya menjawab, “entertainer?”
“En… apa, Bu?”
“Itu kata Bahasa Inggris, kalau Ratna mulai sekolah lagi coba Ratna pelajari apa artinya.”
Ratna tahu itu artinya ibu tidak ingin menanggapi lebih lanjut sehingga Ratna memilih diam dan memperhatikan ibu yang tampak sIbuk dengan kertas-kertas di hadapannya. Ibu sudah begitu sibuk sejak berbulan-bulan yang lalu. Ratna tidak ingat kapan, tapi ibu selalu berangkat begitu pagi dengan baju rapi, mengalungkan papan bertuliskan kalimat “Mencari Keadilan” dengan foto Ratna di sana. Di hari-hari tertentu, ibu akan berangkat membawa toa dan pulang begitu sore.
Selama beberapa bulan ke belakang, Ratna seringkali menemui kata-kata sulit seperti pengaduan, kekeluargaan, dan keadilan. Ia ingin tahu apa artinya hingga Ibu bertindak sejauh ini tetapi kini kondisinya begitu terbatas dan ia tidak bisa bersekolah seperti biasanya padahal ia begitu ingin bertemu dengan Ibu guru untuk menanyakan berbagai hal.
Mengapa ruang pengaduan membuat ibu menangis? Mengapa diselesaikan secara kekeluargaan membuat ibu begitu marah? Mengapa ibu menginginkan keadilan?
Ratna tidak mengerti.
Dan di saat-saat seperti ini, Ratna begitu menginginkan sesuatu.
“Ibu, Ratna mau sekolah seperti anak-anak lain.”
Lantas, ibu akan menangis setiap kali Ratna mengutarakan keinginannya.
***
Bulan-bulan yang begitu sibuk bagi ibu itu berhenti setelah Ratna bertambah usia satu tahun. Di hari ulang tahunnya itu, ibu tidak pergi pagi. Ibu sibuk menghias kos kecil itu dengan balon, memasak ayam kecap kesukaan Ratna, bahkan membeli kue dan kado untuk Ratna. Hari itu tampak begitu cerah dan membahagiakan bagi Ratna. Kosan kecil tersebut menjadi lebih meriah dengan balon-balon berwarna pink. Hari itu, Ratna ingin memakai baju berwarna merah muda untuk memeriahkannya tapi ibu memaksanya menggunakan gaun putih dan senada dengan milik ibu. Tidak mau ambil pusing, Ratna menurut pada ibu sebab yang paling penting hari ini bukan pakaiannya tetapi kue dan kadonya.
“Selamat ulang tahun, Putri Ibu, Ratna.” Ibu menatapnya dengan berkaca-kaca. “Maaf ya, Ibu tidak memberi banyak.”
Ratna memeluk Ibu erat-erat. “Terima kasih ya, Ibu. Ratna sayang Ibu.”
Ibu menangis sembari melepaskan pelukan Ratna. Lantas, ibu mengiris kue dengan krim berwarna merah muda di hadapannya dengan hati-hati kemudian menyajikannya ke piring-piring kecil. Satu untuk Ratna dan satu untuk ibu.
Tanpa menunggu Ratna, ibu melahap kuenya. Sementara itu, Ratna menatap irisan kue di depannya dengan ragu-ragu, menimang-nimang apakah ia harus memakan kue tersebut sebab kenangan lama tiba-tiba merasuki pikirannya.
“Kamu harus makan kuenya, Ratna agar kamu senang,” ujar ibu sembari membuat irisan kedua untuk dirinya.
Ratna masih ragu-ragu saat ibu sudah memakan irisan keempat. Di irisan keempat tersebut, ibu berhenti makan. Mungkin karena kenyang, sebab ibu tertidur setelah memakan irisan keempat. Ibu tidur begitu lama hingga kue tartnya dikerubungi semut dan perlahan membusuk.
***
Tiga hari berlalu, kos Ratna dan Ibu tiba-tiba ramai dikerumuni banyak orang termasuk pria berseragam yang pernah ia temui. Dengan bersemangat, Ratna menyambut pria berseragam dan teman-temannya meski tubuhnya terasa lemas sebab tak makan apapun sejak tiga hari yang lalu.
“Om berseragam, kok baru datang? Ulang tahun Ratna sudah lewat sih, tapi Ibu sepertinya menanti Om datang. Tapi Om, Ibu tidurnya lelap sekali tidak mau bangun. Coba Om bangunkan?” Usai menuntaskan kalimatnya, tubuhnya terasa semakin lemas. Ia jatuh dan pandangannya menggelap. Salah seorang pria berseragam menangkapnya dan menggendongnya keluar dari kos.
Saat melewati kerumunan orang yang ada di luar kosannya, samar-samar ia bisa mendengar suara tante dari kamar sebelah, “kasihan. Ibunya sudah mati sejak tiga hari yang lalu tetapi sepertinya dia tidak sadar, dikiranya Ibunya tidur. Ibunya itu, setiap hari datang ke kantor polisi untuk mengurus kasus Anaknya tetapi tidak pernah membuahkan hasil, mungkin puncaknya tiga hari yang lalu Ibunya sudah lelah dan memutuskan untuk bunuh diri.”
“Dengar-dengar racunnya ditaruh di kue ulang tahun Anaknya tetapi Anaknya tidak ikut makan. Dia mau Anaknya mati bersamanya.”
“Kasihan.”
“Iya, betul. Kasihan.”
Kata sulit baru lagi yang menjadi pertanyaan bagi Ratna sebelum dirinya terlelap begitu dalam. Apa arti bunuh diri?
Bersambung…