Peringatan : Cerpen ini memuat unsur sensitif yang dapat mengganggu kenyamanan pembaca.
Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen yang berjudul “Sejuta Rindu untuk Malaikat”, dapat anda baca melalui https://lpmperspektif.com/2022/12/04/sejuta-rindu-untuk-malaikat/
“Iya Tante, ayah adalah malaikat Ratna. Apa yang Ratna takutkan kepadanya?” Jawab Ratna ragu.
Tak terhitung seberapa banyak ingatan buruk nan kelam yang telah Ratna alami semenjak perayaan hari jadinya yang ketujuh tahun itu. Ingatan yang melekat tajam pada dirinya itu mulai menggerogotinya sejak saat itu juga. Sesuatu yang tak pernah Ratna kecil ceritakan kepada Dr. Andy dan Tante Kristin adalah hidangan penutup yang didapatnya setelah mencicipi sepotong kue manis berkumis milik om penghuni rumah terakhir saat itu.
Jangankan Ratna kecil, kedua orang tuanya saja menolak untuk memberikan kesaksian kepada Tante Kristin berkenaan dengan hidangan penutup yang diceritakan Ratna. Maka tak heran, Kristin hanya mengetahui bahwa selama ini sosok ayah-lah yang mendekam sebagai raksasa penghancur air terjun yang mengalirkan ingatan indah di dalam benak Ratna.
“Bukan ayah tante, bukan. Ratna takut ke Ratna sendiri.” Sentak Ratna gemetar, “Ratna tante, Ratna raksasanya!” Teriaknya sembari mengguncang tangan Kristin.
Gemetar hebat melanda tubuh Ratna untuk kesekian kalinya. Jika biasanya diikuti dengan gerakan tak terkontrol dan bisikan iblis jahat yang ingin menyakitinya, kali ini gemetar itu diikuti pekikan suara bariton keras pemecah gendang telinga. Membuatnya meringik menutup dua daun telinganya yang nampak lelah mendengarkan suara tersebut.
Begitu keras teriakan Ratna diatas ranjang rumah sakit itu hingga membuat rekan Dr. Andy tergesa-gesa memasuki ruangannya. Tak pernah ia lihat para tenaga medis berbaju putih itu pucat sepucat pakaian yang mereka kenakan ketika memberikan suntikan kedamaian. Hingga semua berubah gelap, namun tidak dengan suara bariton keras di kepalanya yang kian masuk ke dalam raganya.
***
PRANGG…
Sebuah piring putih bernodakan krim kue ulang tahun milik Ratna melayang menghantam dinding.
“Masih kurang yang ku kasih?!”
Jeritan suara bariton itu ternyata merupakan bagian dari dalam diri Ratna. Tak hanya itu, tangan berotot dan berbulu yang baru saja melempar piring itu juga merupakan bagian dari tubuhnya. Dengan membabi buta ia menggoreskan luka pada pelipis perempuan yang melahirkannya menggunakan tangan tersebut. Orang itu adalah Ibu yang menderaikan air mata di sudut ruang tamu. Tak berdaya, seraya berkata.
“Iya, maaf Yah. Tolong hentikan, Ibu tak bisa membuka mata.”
‘Sudah, Ibu sudah meminta maaf, hentikan’ Pikir Ratna tanpa mengurangi intensitas gerakan tangannya. Terlalu menggebu ia melukis tangis pada pipi Ibu sampai-sampai mereka berdua tak sadar ketika sorotan cahaya senja masuk melalui celah pintu depan yang terbuka.
Dengan mengintip dari luka lebam di pelipisnya, Ibu terkejut ketika melihat Ratna kecil telah menyaksikan kedua orang tuanya bermandikan darah. Dengan gelagat anehnya Ibu berusaha mencairkan suasana meskipun darah dan air mata yang keluar darinya telah cukup cair untuk dapat menjelaskan suasana.
“Eh Ratna, dapat es krim dari siapa?” Tanya Ibu sembari menarik Ratna kecil masuk ke kamar mandi untuk menghapuskan luka.
Begitu mengejutkan peristiwa ini hingga membuat Ratna bersuara bariton terhenti dan kebingungan ketika hendak menutup pintu depan. Begitu menyilaukan juga cahaya senja itu hingga membutakan indera penglihatannya.
***
“Ratna sudah bangun?” Tanya Dr. Andy sembari mengarahkan senternya ke pupil mata Ratna.
“Iya om, Ratna baru bangun.” Balasnya.
Mengetahui kondisi Ratna yang belum sepenuhnya sadar, Dr. Andy memutuskan untuk menambahkan dosis suntikan agar Ratna segera menemukan kedamaiannya. Sangat erat genggaman Dr. Andy ketika menyuntik Ratna membuatnya berbicara tanpa arah.
“Iya om, Ratna diam saja kok. Jangan sakiti Ratna om.” Ucap Ratna dengan sedikit meneteskan air mata.
“Maaf ya Ratna, yang ku kasih tadi ternyata masih kurang.” Saut Dr. Andy.
“Sudah om, Ratna ingin pulang.” Tutup Ratna pasrah.
***
Tangis membanjiri pipi, menyegarkan luka yang baru saja hendak dihapus Ibu di kamar mandi. Tak kuat hati ia mendengar cerita dari Ratna kecil yang dengan polosnya menikmati sisa-sisa es krim pemberian om penghuni rumah terakhir. Ingin sekali Ibu memeluknya tetapi takut akan mencampuri sisa hidangan penutup yang nikmat itu dengan tetesan air mata bercampur darah.
Segera setelah membersihkan diri, Ibu menyampaikan apa yang baru saja Ratna ceritakan di kamar mandi kepada Ayah. Tentang bagaimana Ratna mendapatkan es krimnya.
Belum cukup apa yang Ratna saksikan ketika dirinya memasuki rumah tadi, kini kedua orang tuanya memasuki babak kedua. Hanya bedanya kali ini mereka cukup menaikkan nada bicara, tidak sampai memperburuk luka pada wajah Ibu.
Terlihat Ibu dengan muka birunya memaksa Ayah hingga akhirnya mau untuk mendatangi om penghuni rumah terakhir yang tak lain merupakan kerabatnya sendiri.
Sesampainya di sana, Ratna terus menutupi mukanya dibalik pakaian yang dikenakan ibunya. Sembari ia mendengarkan percakapan mereka bertiga, Ratna berusaha untuk tidak menatap wajah berkumis omnya yang telah memberinya es krim. Yang ia ingat hanya rasa manis kue dan es krim itu karena sepanjang pertemuan Ratna dengan om hanyalah gelap yang ia pandang.
Cukup lama perbincangan mereka berlangsung seperti yang terjadi di rumah, hingga akhirnya Ratna sempat melihat wajah om ketika Ibunya berdiri dan menariknya keluar. Begitu menggelikan wajah om itu hingga membuat Ratna berpikir ‘Wajah itu, sama ketika ia menawariku es krim. Apakah om mau memberiku lagi? Ah tidak, sudah mual aku memakan es krim-nya’.
Sebatas itu saja yang Ratna rasakan dan sempat pikirkan, selebihnya ia tidak begitu ingat karena bukanlah kenangan masa kecil bersama teman sebayanya yang ia buat, melainkan bersama orang dewasa dengan berbagai warna seragam yang menemaninya.
Adapun salah satu seragam yang membekas pada memorinya merupakan kemeja berwarna abu-abu dengan ornamen kuning dan merah di sebuah ruangan bertembok krem. Sangat lama waktu yang mereka habiskan bersama di ruangan itu hingga membuatnya hafal dengan seragam pria yang selalu berbicara sinis kepada Ibu. Saking lamanya juga, Ratna sempat mengeja tulisan yang tertempel di dinding tepat di belakang pria berseragam itu.
“Ru-ang, Pe-Penga-Pengaduan.” Tulisan itu berkatakan Ruang Pengaduan.
Bersambung…