Lompat ke konten

Safari Filsafat Marxisme Pasca-Lenin

Sumber: bukukita.com
Oleh: Gratio Ignatius Sani Beribe*

Judul Buku: Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin

Penulis: Franz Magnis-Suseno

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit: 2013

Pada tahun 1889, riak-riak perdebatan mulai muncul dalam forum Internasionale II (Asosiasi Kaum Buruh Internasional) menyusul ramalan Karl Marx tentang keruntuhan kapitalisme yang tak kunjung menjadi nyata. Malah kapitalisme sendiri kian mantap dan industri-industri semakin ramah kepada kesejahteraan para buruh dengan mulai menaikan upah. Hal ini akhirnya memadamkan semangat revolusioner dari kaum buruh sendiri. 

Sebagian besar elit Internasionale II di bawah pimpinan Karl Kautsky tetap kokoh berdiri di atas ajaran marxisme ortodoks. Namun ditantang oleh kelompok Eduard Bernstein – biasa dikenal sebagai “kaum revisionis” – yang menyatakan sosialisme tidak harus dicapai dengan jalan revolusi, melainkan dapat menggunakan jalan demokrasi. Mereka juga beranggapan marxisme sebagai sebuah teori ilmiah patut direvisi jika tidak relevan lagi dengan realita yang ada. 

Pertentangan tak muncul dari kedua kubu ini saja, timbul juga pendapat berbeda dari kaum sayap kiri dengan tokoh Rosa Luxemburg yang menyatakan keruntuhan kapitalisme harus melalui revolusi, dan revolusi itu tidak datang dengan sendirinya, tapi harus dirangsang terus-menerus. Pendapat-pendapat di atas kemudian ditentang lagi oleh Lenin. Ia berkehendak membentuk sebuah partai revolusioner yang mampu memimpin revolusi sosialis untuk memperjuangkan hak-hak kaum buruh yang tertindas oleh kapitalisme. 

Akhirnya, Lenin bersama Bolshevik, mampu merebut kekuasaan Tsar Rusia, Michael II, dengan “menunggangi” Revolusi Oktober pada tahun 1917. Hal ini membuat kaum komunis Rusia di bawah pimpinan Lenin menjadi sentra gerakan buruh di seluruh dunia – terlebih setelah terbentuknya Komintern. 

Sepenggal cerita di atas menjadi pengantar Franz Magnis-Suseno dalam buku Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin untuk lanjut menuturkan kisah tentang dinamika salah satu pemikiran paling akbar di zaman modern ini. Setelah menulis dua buku tentang marxisme yaitu Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme yang membahas tentang pokok-pokok pikiran Marx dan perkembangannya sebelum Lenin. Lalu Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka yang menguraikan tentang upaya Lenin mengubah marxisme yang hanya teori menjadi sebuah praktik gerakan politik internasional. Di buku yang ketiga ini, Franz Magnis-Suseno menyuguhkan kisah perkembangan marxisme di masa suksesor Lenin, Joseph Stalin yang berusaha mengkultuskan ajaran marxisme-leninisme sebagai asas tunggal. Akibatnya, banyak pemikir yang dibungkam ketika melakukan diskusi maupun mengembangakan pemikiran Marx di luar doktrin marxisme-leninisme.

Meskipun begitu, usaha Stalin malah menyuburkan pemikiran-pemikiran kritis terhadap doktrin-nya tersebut. Hal ini membuat banyak pemikir pada saat itu mulai menggali kembali pemikiran-pemikiran orisinil Karl Marx muda dahulu – yang begitu filosofis – dan ada yang mengembangkan filsafat kritis dengan diilhami oleh marxisme. Pemikiran-pemikiran inilah yang menjadi topik utama Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin.

Safari Pemikiran-Filsafat Marxisme

Genderang marxisme di belahan bumi timur dengan tokohnya yaitu Mao Zedong menjadi pembuka safari pemikiran buku ini. Dikisahkan oleh Franz, Mao Zedong merupakan tokoh yang paling mirip dengan Lenin karena menerapkan marxisme secara praktis untuk melakukan revolusi. Namun Mao tetapi kritis terhadap marxisme dengan membawanya sesuai dengan kondisi China pada waktu itu. Ia berkesimpulan bahwa marxisme di China tidak bisa diseragamkan dengan Eropa karena kondisi masyarakat yang masih marak berbudaya agraris dibandingkan industri. Hal ini akhirnya membuat Mao menggandeng kaum tani untuk ikut dalam revolusi. Selain menjelaskan pemikiran-pemikiran Mao, Franz juga menyertakan kritik kerasnya terhadap segala bentuk pembantaian yang dilakukan rezim komunis China pada saat itu.

Safari kemudian berlanjut kepada seorang filsuf yaitu Ernst Bloch yang menggali dan mengembangkan pemikiran-pemikiran utopis Karl Marx. Namun di akhir pemaparan – tak mau sekedar menuturkan teori orang lain – Franz mengajukan beberapa pertanyaan kritis terhadap pemikiran Bloch yang tidak konsisten dan juga semua anggapannya tentang spiritual Gereja. Selain pemikiran utopis, paham Marx muda soal dialektika lalu dikembangkan oleh seorang tokoh bernama Karel Kosik. Ia mengenalkan sebuah konsep yaitu epistemologi materialisme yang dianggapnya mampu membuat manusia mencapai totalitas konkrit. 

Franz lalu berkisah tentang dua pemimpin aliran marxisme termasyur, Mazhab Frankfurt, yaitu Max Horkheimer dan Theodor Wiesengrund Adorno. Pada bagian ini, Franz menjelaskan tentang gagasan dua tokoh tadi mengenai teori kritis dan penggelapan rasionalitas zaman pencerahan. Selanjutnya ada Herbert Marcuse yang diceritakan Franz merupakan idola bagi kaum Kiri Baru pada tahun 60 dan 70an. Marcuse sendiri berpendapat bahwa manusia harus melakukan pembebasan terhadap masyarakat kapitalis maju yang berdimensi satu dan semua penindasan yang disebabkannya. 

Marxisme, Apakah Mampu Bangkit Lagi?

Gerakan Kiri Baru di Eropa dan Amerika pada tahun 60 dan 70an menunjukan bahwa semangat pemikiran marxisme tentang revolusi tidak hanya terikat pada kaum buruh saja, tetapi juga merasuk kaum intelektual muda di universitas-universitas. Mereka (intelektual muda) sadar bahwa industri yang sudah maju dewasa ini kian memperhatikan hak-hak buruh seperti upah yang tinggi, jam kerja yang manusiawi, dan adanya jaminan sosial, membuat buruh tidak lagi revolusioner melainkan ikut ambil bagian dalam arus kapitalisme. 

Kelompok intelektual muda ini dengan segala keresahannya terhadap tradisi konservatif nan kaku ala kapitalisme – selaras dengan pernyataan Marcuse – memberontak untuk menciptakan sebuah tatanan baru yang menjunjung tinggi kebebasan dan kesamaan. Sebagai tambahan, bentuk visual dari gerakan ini dapat disaksikan dalam film The Trial of the Chicago 7 dan Judas and The Black Messiah.  Namun gerakan Kiri Baru rupanya gagal untuk membawa perubahan secara struktural, karena tak mampu mendulang simpati dari banyak masyarakat, bahkan kaum komunis sendiri. 

Sumber: netflix.com

Walaupun begitu, Kiri Baru nyatanya membawa efek yang cukup nyata terhadap kebudayaan Eropa dan Amerika. Misalnya, semakin masif gerakan-gerakan perempuan dan feminisme, gerakan hijau, revolusi seksual seperti pengengkangan terhadap norma seksualitas keluarga tradisional dan pengakuan LGBT, serta perlawanan terhadap semua diskriminasi atas dasar primordialisme. Dobrakan-dobrakan yang dibawa gerakan ini menunjukan semangat pemikiran Karl Marx muda sejati yang menuntut kebebasan manusia dari keterasingan dirinya sendiri. Hal-hal ini pun masih relevan untuk diperjuangkan sampai sekarang.

Begitu juga dengan pernyataan Franz dalam buku ini bahwa pemikiran Marx tidak akan tenggelam karena berhasil merangsang intelektual manusia untuk memahami kebebasannya yang terlepas dari keterasingan, ketidakadilan, dan penindasan. Meski demikian, Franz mengakui bahwa segala teori Marx klasik tidak bisa lagi diterapkan. Ia bersandar pada argumen Habermas bahwa kondisi saat ini dengan adanya intervensi negara dalam ekonomi yang menjamin stabilitas sosial dan kemajuan ilmiah-teknis yang mempermudah proses produksi membuat buruh bukan lagi kelas sosial yang dapat mengubah sistem kapitalisme karena perannya bisa digantikan. 

Begitu juga dengan konsep materialisme historis Marx yang menekankan perubahan kelas sosial hanya didasari pada perkembangan alat-alat produksi saja, tapi Habermas kembali menegaskan bahwa pemikiran Marx terlalu dangkal. Menurutnya, faktor yang dapat mengubah kelas sosial adalah rasionalitas komunikatif yang menjadi bagian paling dasar untuk memecah konflik dan hubungan integrasi masyarakat dengan setiap individunya di dalamnya. 

Akhir kata, buku ini merupakan sebuah katalog pemikiran yang begitu apik diracik oleh Franz. Apalagi ia tidak hanya sekedar memaparkan teori orang lain, tetapi ikut menyertakan catatan-catatan kritisnya sehingga membuat pembaca menjadi terlatih berpikir skeptis terhadap semua hal. Penggunaan kata-kata dan istilah teknis mungkin menjadi salah satu kekurangan buku ini karena kerap kali menyusahkan untuk dicerna. Namun hal itu bisa dimaafkan mengingat Franz dapat begitu mendalam membahas pemikiran-pemikiran yang sangat kompleks. Buat kalian yang ingin membaca buku ini, disarankan untuk menikmati terlebih dahulu dua buku sebelumnya, agar lebih paham tentang istilah-istilah teknis dan konsep marxisme itu sendiri.

(Visited 114 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Tahun 2020. Saat ini aktif sebagai Pemimpin Redaksi LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?