“Saya magang di sebuah startup yang bergerak di bidang kesehatan mental. Tapi kesehatan mental saya jadi kacau setelah ikut magang…”
“Saya magang di sebuah edutech. Saya merasa jobdesk disini sangat menekankan pembuatan program belajar yang laku keras di pasaran. Implikasinya, pekerjaan saya tidak sesuai jobdesk yang disebutkan di poster…”
“Saya berminat mengikuti program Magang Kampus Merdeka karena di awal dijanjikan akan diberikan uang saku setiap bulannya. Maka dari itu, saya memberitahu orang tua saya untuk tidak mengirim uang saku seperti biasanya karena sudah ada uang saku dari (yang dijanjikan) Magang Kampus Merdeka. Tapi uang saku yang dijanjikan tidak kunjung diberikan kepada peserta magang selama kurang lebih 2 bulan…”
“… jumlah peserta magang lebih banyak dari pekerja full-time. Bingung banget ini wajar atau nggak ya? Bayangin aja jumlah anak magangnya sudah kayak manasik haji…”
Kutipan-kutipan diatas adalah pernyataan dari beberapa mahasiswa yang menjalani magang di Indonesia, hasil penelitian yang dilakukan oleh Project Multatuli terhadap 153 responden yang mengisi survei #GenerasiBurnout—yang mana sebanyak 33,3% atau 51 responden merupakan peserta program Magang Kampus Merdeka (Adinda, 2022). Pernyataan-pernyataan tersebut seakan berada dalam satu “nafas”, yakni ‘bermasalah’. Ada berbagai permasalahan yang menghampiri para mahasiswa yang menjalani program magang. Mulai dari permasalahan terkait beban kerja yang terlalu tinggi, hingga permasalahan—yang menurut pandangan penulis pribadi—cukup vital, yakni tidak dibayarnya hak uang saku peserta pemagangan. Pernyataan-pernyataan tersebut pada akhirnya juga membawa penulis kepada berbagai pertanyaan yang coba penulis jawab dalam artikel singkat ini. Apa yang sebenarnya mahasiswa ekspektasikan dari mengikuti sebuah program magang? Apa yang sebenarnya membuat para mahasiswa merasa “harus” memiliki pengalaman kerja melalui program magang? Benarkah mahasiswa harus “bekerja ekstra keras” demi “memperkaya” portofolionya? Selain itu, apa yang sebenarnya menyebabkan permasalahan magang bagi mahasiswa di Indonesia seolah tak kunjung usai dari waktu ke waktu?
Pertanyaan pertama, yakni ‘apa yang sebenarnya mahasiswa ekspektasikan dari mengikuti sebuah program magang’ merupakan pertanyaan yang tentunya penting untuk diteliti demi mengetahui apa yang sebenarnya ada di benak para mahasiswa Indonesia yang seolah ‘berlomba-lomba’ mengikuti berbagai program magang. Hasil penelitian dari Project Multatuli melalui riset #GenarasiBurnout-nya tentu dapat dijadikan sedikit acuan untuk menjawab pertanyaan sulit ini. Ada berbagai alasan dari para mahasiswa yang mencoba untuk mengikuti program magang. Seperti merasa butuh untuk menambah pengalaman kerja, kampus yang mewajibkan mahasiswa untuk mengikuti program magang, berharap mendapatkan penghasilan tambahan, dan untuk membangun jejaring profesional (Adinda, 2022). Alasan-alasan tersebut membawa kita pada suatu fakta bahwa, mahasiswa telah memiliki kesadaran untuk mengembangkan kompetensi profesionalnya tentu dengan harapan agar dapat ‘bersaing dalam dunia kerja’.
Sedikit jawaban dari penelitian ini dapat kita jadikan jembatan untuk pertanyaan selanjutnya. Yakni, apa yang sebenarnya membuat mahasiswa merasa harus memiliki pengalaman kerja melalui program magang? Menurut pendapat penulis, tentu ini berkaitan dengan narasi-narasi di ruang publik terkait pentingnya bagi seorang mahasiswa untuk memiliki pengalaman langsung dan nyata dalam sebuah lingkungan kerja. Narasi-narasi ini membawa kita kepada suatu fenomena yang pada akhirnya lazim dikenal dengan sebutan hustle culture. Dalam budaya hari ini, konsep hustle culture dapat diartikan sebagai keadaan bekerja terlalu keras, yang mana berubah menjadi gaya hidup (Arfa, 2021). Budaya ini pada akhirnya bukan hanya menyasar kepada kalangan pekerja, namun juga mahasiswa. Bagi mahasiswa, bibit budaya ini dapat terjadi karena adanya tuntutan industri atau pasar kerja yang mengharuskan para pencari kerja untuk punya kompetensi yang mumpuni dan daftar riwayat hidup yang mentereng (PERSPEKTIF, 2022).
Oleh karena itu, tidak heran bahwa kita sampai kepada fenomena dimana mahasiswa ‘berlomba’ untuk menjadi yang ‘terbaik dan tercepat’ dengan mengikuti berbagai program magang semaksimal mungkin, dengan tujuan menjadikan dirinya lebih unggul dibanding mahasiswa lain. Fenomena hustle culture ini di sisi lain memang memiliki suatu kelebihan, yakni adanya semangat yang kuat dari para masyarakat — terlebih generasi muda — untuk membentuk karakter yang mampu beradaptasi mengikuti perkembangan zaman. Namun, apakah benar mahasiswa sudah harus sedemikian rupa mengejar hal-hal pragmatis tersebut?
Tren hustle culture yang pada akhirnya membawa kita kepada fenomena banyaknya mahasiswa yang mengikuti berbagai program magang ini dapatlah dikatakan merupakan hasil daripada neoliberalisasi yang terjadi pada tahun 1980an. Schumpeter menjelaskan bahwa neoliberalisme merupakan sebuah teori yang menjelaskan tentang pembangunan ekonomi, dimana pembangunan merupakan inisiatif daripada masing-masing individu (Piano, 2020). Oleh karena adanya neoliberalisasi ini, maka perlahan-lahan akan terjadi perubahan di lingkungan sosial masyarakat, yang mana salah satu dari perubahan tersebut adalah adanya fenomena hustle culture. Hal ini pun juga semakin dekat kepada mahasiswa, ketika pendidikan seringkali hanya menekankan pada keahlian dan kemampuan yang sesuai standarisasi industri, sehingga tak heran banyaknya mahasiswa, bahkan pelajar, yang terlalu berlomba-lomba mengejar pencapaian yang akhirnya berdampak pada budaya kerja hustle culture yang marak terjadi (Sabela, 2022).
Padahal, sebagaimana yang kita ketahui, mahasiswa memiliki berbagai ‘peran mulia’ yang sudah sangat sering didengungkan. Mahasiswa berperan sebagai agent of change, social control, moral force, guardian of value, dan iron stock. Privilege yang dimiliki mahasiswa, yakni kemudahan akses terhadap ilmu pengetahuan, menuntut mahasiswa untuk dapat menjadi agen penggerak perubahan karena mahasiswa dianggap mampu melihat kondisi sosial dan politik secara kritis. Mahasiswa juga dituntut untuk mampu memiliki peran sebagai pengontrol sosial, dan penjaga moral bangsa (Wahyuni, Aini, & Dewi, 2021). Namun, yang menjadi pertanyaan penulis, bagaimana mahasiswa mampu melaksanakan berbagai ‘tuntutan ideal’ tersebut jika di sisi lain adanya hustle culture membawa kita kepada fenomena bahwa mahasiswa juga harus memiliki kompetensi yang layak dan pas di dunia kerja—link and match dengan dunia industri istilahnya. Demikian, melalui artikel singkat ini, penulis berpandangan bahwa fenomena banyaknya mahasiswa yang berlomba-lomba untuk mengikuti berbagai program magang selama masa perkuliahan merupakan hasil daripada ‘membumi’-nya budaya hustle culture di tengah-tengah masyarakat kita sekarang ini. Budaya ini secara tidak langsung juga semakin diperkuat dengan adanya program Magang Kampus Merdeka yang dicetuskan oleh Kemendikbud pada tahun 2020 lalu. Di satu sisi, adanya kecenderungan bagi mahasiswa untuk ‘mengejar’ kebutuhan industri tentu akan berdampak baik pada peningkatan potensi mahasiswa itu sendiri. Namun disisi lain, penulis rasa mahasiswa juga tidak boleh melupakan ‘peran idealnya’, yakni menjadi agent of change, moral force, social control, dan guardian of value bagi bangsa Indonesia.
Referensi
Adinda, P. (2022, March 11). “Saya Hanya Anak Magang”: Cerita 153 Responden Peserta Magang Survei #GenereasiBurnout. Retrieved from projectmultatuli.org: https://projectmultatuli.org/saya-hanya-anak-magang-cerita-153-responden-peserta-magang-survei-generasiburnout/
Arfa, A. (2021, September 1). The Truth About the Hustle Culture. Retrieved from university.taylor.edu.my: https://university.taylors.edu.my/en/campus-life/news-and-events/news/the-truth-about-the-hustle-culture.html
PERSPEKTIF. (2022, January 21). Romantika Magang Mahasiswa: Antara Esensi dan Tuntutan Industri . Retrieved from lpmperspektif.com: https://lpmperspektif.com/2022/01/21/romantika-magang-mahasiswa-antara-esensi-dan-tuntutan-industri/
Piano, N. (2020). Neoliberalism, leadership, and democracy: Schumpeter on “Schumpeterian” theories of entrepreneurship. Europian Journal of Political Theory , 1-23.
Sabela, L. S. (2022, March 5). Menilik Hustle Culture Lebih Dalam: Neoliberalisme Pendidikan dalam Era Disrupsi . Retrieved from fdfagora.com: http://fdfagora.com/menilik-hustle-culture-lebih-dalam-neoliberalisme-pendidikan-dalam-era-disrupsi/
Wahyuni, S., Aini, L., & Dewi, Y. A. (2021). Membangun Sifat Anti Korupsi Mahasiswa Tadris IPS IAIN Metro Lampung Melalui Seminar Pendidikan Moral dan Anti Korupsi. Journal of Social Science Education, Vol 2, No. 2, 54-66.