Malang, PERSPEKTIF – Dua dekade berlalu sejak rezim Orde Baru runtuh, namun jejak-jejak pembungkaman, penculikan, dan pelenyapan secara paksa yang dialami oleh banyak aktivis di negeri ini masih tersisa. Sebagai upaya mengabadikan kenangan kolektif terkait peristiwa September Hitam, Kementerian Pergerakan Eksekutif Mahasiswa (EM) Universitas Brawijaya (UB) menggelar diskusi publik bertajuk “September Hitam & Catatan Kelam Penyelesaian Kasus HAM di Indonesia” pada Rabu (01/10) yang di selenggarakan di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya.
Diskusi ini menghadirkan tiga pembicara: Wafdul Adif dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang, Fuad Baihaqi selaku Presiden BEM Keluarga Mahasiswa (KM) UPNV Yogyakarta 2025, dan Dionysius Utomo, perwakilan keluarga korban orang hilang tahun 1998.
Wafdul Adif dari LBH Pos Malang menyoroti langkah pemerintah yang mengupayakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di luar jalur yudisial. Menurutnya, ada upaya untuk membungkam rakyat tanpa proses hukum yang semestinya.
“Terdapat pasal yang menjelaskan bahwa kasus-kasus yang sudah direkonsiliasi, tidak bisa dibawa kembali ke meja pengadilan. Ada upaya pengaburan hukum,” ujar Adif (01/10).
Ia juga menambahkan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia terkesan janggal dan dinilai sebagai upaya pemerintah untuk menghindar dari proses hukum internasional terkait kasus Timor-Timur.
Sejalan dengan itu, Fuad Baihaqi mengkritik adanya imunitas yang dimiliki oleh para terduga pelaku kejahatan HAM berat yang kini berada di lingkaran pemerintahan. Ia menyebut bahwa banyak poin dalam Deklarasi Universal HAM PBB yang tidak dipenuhi oleh pemerintah Indonesia.
“Pemerintahan hari ini memang (pantas dijuluki, red) neo-orba. Orang-orang yang mengkritik pemerintahan turut diculik,” ucap Fuad (01/10).
Sementara itu, Dionysius Utomo, ayah dari Petrus Bima, salah satu aktivis yang hilang dalam aksi Mei 1998, mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintah yang terkesan abai. Ia mengaku telah berulang kali ke Jakarta untuk mencari jawaban atas keberadaan putranya namun tidak membuahkan hasil.
“Informasi yang saya dapat menyampaikan bahwa mereka (aktivis, red) telah dilibas, dihilangkan, bahkan ditenggelamkan di lautan dengan merantai kaki mereka menggunakan beton,” ungkap Utomo (01/10).
Di akhir diskusi, Utomo menyampaikan harapannya untuk dapat bertemu dengan Prabowo Subianto. Ia juga mengubah seruannya dari “kembalikan mereka” menjadi sebuah pertanyaan, “di manakah mereka?”.
(red/rnz)