Pengepungan di Bukit duri merupakan film kesekian kalinya yang dirilis oleh Joko Anwar. Terdapat karakter utama bernama Edwin yang merupakan seorang pemuda yang tinggal di negara dengan kondisi konflik rasial di masa kecil nya sedang marak terjadi. Film ini diawali dengan kondisi dimana Edwin dan kakaknya Silvi merupakan seorang minoritas yang posisi ras nya sebagai suku Tionghoa dan mengalami represif oleh warga pribumi sehingga hal ini menjadi trauma mendalam bagi mereka.
Hal menarik dari film ini melihat bagaimana kacaunya sebuah negara atas perpecahan ras juga agama dari 2009 hingga terjadi lagi 17 tahun kemudian yaitu 2027. Konflik, perpecahan dan teror terjadi begitu signifikan hingga para ras Tionghoa memiliki tingkat keamanan yang rendah di negara itu. Hampir setiap harinya terjadi kericuhan yang dilakukan oleh warga pribumi untuk menindas minoritas didalamnya.
Karena kasus ini pula alur ini membawakan posisi dimana Silvi, kakak dari Edwin mengalami pelecehan seksual dan pemerkosaan saat dia SMA yang dilakukan semasa kericuhan di 2009. Dengan ini, alur utama membawakan bagaimana pencarian Edwin untuk bisa hidup dengan tenang sebagai minoritas sekaligus mengelilingi daerah kota timur untuk menemukan anak dari Silvi yang sempat kakak nya telantarkan.
Dalam film ini, sutradara dan penulis film memberikan singgungan terhadap tragedi kerusuhan Ras Tionghoa yang terjadi pada tahun 1998. Akan tetapi dalam film ini latar waktu disini diganti menjadi tahun 2009. Penceritaan yang dibawakan film ini menyampaikan kisah mengenai sejarah keberingasan warga mayoritas yang membuat keamanan warga negara dalam ras minoritas seperti Tionghoa dalam ancaman.
Gambaran sinema yang ditampilkan pada film ini juga memperlihatkan bahwa di seluruh fasilitas kota terdapat ujaran kebencian berbentuk vandalisme tulisan “Babi” dan “Pulang ke asalmu” sebagai bentuk kebencian rasial. Kebencian ini berlarut hingga menjadikan pembunuhan, perusakan dan penjarahan terhadap ras Tionghoa.
Bahkan hal ini dikonstruksikan oleh seluruh lapisan masyarakat yang digarisi sebagai pribumi untuk segera melakukan keberingasan terhadap ras Tionghoa apabila bertemu. Hal ini terjadi pula kepada Edwin yang hanya karena dia berani melawan seorang siswa pribumi nya tetapi tingkat keamanan nya sebagai guru terancam. Bahkan dari berbagai staff sekolah terheran mengapa dia mau mengajar di sekolah buangan seperti SMA Bukit Duri.
Edwin selalu menimpali percakapan heran orang-orang disekitarnya dengan “Karena saya Cina?” atas keheranan semua lawan bicara atas pilihannya. Dalam melihat konflik horizontal yang terjadi di Indonesia saat ini sudah perlahan mulai hadir. Apabila berkaca dari film ini, terdapat ras tertentu yang menguasai dan dikuasai sehingga pergerakan masyarakat minoritas menjadi terbatas. Tak bisa dipungkiri hal itu disebabkan oleh bagaimana tindakan pemerintah yang tidak tegas terhadap menghadapi kericuhan dan kontrol yang baik terhadap negara.
Hal ini bisa dilatarbelakangi oleh kasus kerusuhan 1998 di Indonesia yang mana masyarakat Indonesia harus mengalami perpecahan rasial hingga menimbulkan ungkapan ‘pribumi’ dan ‘babi’, ‘sipit’ dan ‘kulit hitam’ di negara seperti Indonesia.
Film ini selalu membuat sang penonton merasa berkernyit setiap adegan kekerasan dan pembunuhan di dalamnya. Karena ada kondisi psikologis karakter bernama Jeff yang membuatnya menjadi pribadi yang bringas. Sehingga pengalaman menonton film ini di bioskop akan bergidik ngeri oleh sinematografinya.
Perjalanan film dan pesan terhadap perpecahan ras di dalamnya membuat alur film ini membangun sebuah kesadaran seberapa relevan nya dengan kondisi kekacauan negara saat ini. Jadi penyampaian yang dibawakan oleh sutradara merupakan tindakan yang tepat untuk membangun kesadaran toleransi.
Perlu digaris bawahi pula bahwa film ini memiliki batasan untuk penonton 17 tahun keatas karena berbagai macam adegan di dalam film memiliki bentuk-bentuk kekerasan fisik dan seksual yang cukup memancing rasa tidak nyaman secara psikis.