Entah bagaimana… Aku mencapai suatu kesimpulan.
Semua orang pasti pernah ingin mati.
Entah seriang apapun tawanya. Entah segelap apapun dukanya. Seseorang pasti pernah merasakan, bahwa hidup itu tidak memiliki makna.
Karena manusia jelas akan merasa lelah. Jelas akan ingin menyerah. Jelas akan kalah. Oleh pemikiran-pemikiran yang tidak pernah memiliki pembenaran. Dan aku… aku jelas kalah.
Angin dingin membalut tubuhku untuk semakin melepaskan diri dari dunia. Pagar kecil yang hanya menghalangi betisku mengalirkan kepedihan yang membuat langkahku semakin mantap. Aku akan pulang malam ini.
Debur sungai yang tidak terlalu deras namun juga tidak begitu damai menjadi simfoni penyambutanku. Jalanan tenang, tidak satupun pengendara berlalu-lalang. Hening melenggang. Seakan menegaskan, bahwa aku akan pulang.
Mungkin ini yang orang-orang ceritakan tentang kepulangan. Kenangan-kenangan ditarik keluar seakan tidak pernah dilupakan. Ah… Sialnya kenangan yang muncul tak ada satupun yang bisa diingat dengan baik. Apakah hidupku memang sudah segila ini?
Apakah memang tidak ada satupun hal di dunia yang bisa kusayangkan saat meninggalkannya? Ah sudahlah, lagipula memang tidak mungkin ada hal baik yang terjadi kedepannya.
“Kau ingin mati?”
Memangnya kenapa? Tak satupun hal di dunia yang memihakku. Tak satupun mata yang menatapku dengan hangat. Tak satupun peluk yang menyambutku saat aku lelah. Lantas… Untuk apa aku hidup?
“Aku punya seekor kucing di rumah.”
Aku menghela nafas, melirik ke arahnya yang menatap debur sungai. Seorang pria yang entah bagaimana mulai bercerita tentang hal-hal yang tidak ingin kuketahui.
“Bulunya putih dengan corak keabu-abuan, makannya banyak mungkin sekitar sepiring orang dewasa? Kalau kurang dari itu ia akan terus mengikutiku. Menatapku dengan mata hijaunya. Seakan berbicara, ‘mana jatahku, babu?’. Aku mungkin tidak ada harga dirinya di matanya.”
Ia tertawa. Mata hitam itu tampak menyipit. Rambut pendeknya berantakan tertiup angin. Atau memang sudah berantakan dari sananya.
“Tapi kau tau… Kucingku selalu menyambutku saat aku pulang. Ia akan berdiri di belakang pintu saat mendengar suara sepatuku. Lantas saat aku merasa tubuhku terlalu lelah, ia akan bergelung manja di bawah kakiku. Mendengkur hangat saat tubuhnya kubawa ke pelukanku. Ia membuat segala lelahku hilang.”
Oh, jadi kau mau memamerkan bahwa hidupmu jauh lebih baik dari aku? Bahwa kau memiliki seseorang atau seekor di sisimu? Sialan. Rasanya hidupku semakin menyedihkan.
“Kau punya kucing atau hewan peliharaan, Nona?”
Tidak, mana mungkin orang sepertiku memiliki sesuatu. Tidak ada yang bertahan di sekitarku. Aku terlalu lelah untuk kehilangan sebelum memiliki sesuatu.
“Kalau tidak kusarankan kau untuk memelihara kucing atau anjing. Mereka hewan yang cukup cerdas. Memang terkadang merepotkan, tapi mereka adalah teman yang baik untuk manusia.”
Kenapa pria ini tetap berbicara meski aku tidak menjawab. Apakah ia tidak tau aku punya urusan yang lebih penting daripada mendengar ocehannya? Untuk apa juga aku meluangkan sisa menitku untuknya? Rasanya aku juga ikut aneh karenanya.
“Setauku sungai ini tidak begitu dalam untuk melenyapkan seseorang.” Kini ia menarik atensiku. Membuatku menatap senyum yang benar-benar menyebalkan itu. Seakan meremehkan apa yang akan aku lakukan. Ia mencondongkan tubuhnya untuk melihat dasar sungai. “Tidak ada bebatuan tajam, juga tidak begitu deras,” sambungnya.
“Kau tidak akan mati bila melompat dari jembatan yang tak lebih dari lima meter ini, Nona.”
Dadaku panas, rasa kesalku menghilangkan segala ketenangan yang susah payahku dapatkan. Maunya apa? Apakah ia tidak bisa memahami situasinya? Menyebalkan.
“Tidak ada hal yang selesai meskipun kau mati. Karena yang pergi hanya kau bukan masalahmu.”
Mengapa pria ini seakan sok tau atas segalanya. Mengapa orang-orang selalu menghakimi orang yang tampil berbeda? Apakah membuat keputusan itu salah? Apa yang ia tahu hingga bisa menyalahkanku. Dia tidak tau apa-apa!
“Kau tidak tau apa-apa!”
“Memang.” Ia menjawab dengan enteng. Salah satu tangannya bahkan dimasukkan ke saku celana seakan tidak memiliki beban apapun.
“Aku mati agar semuanya menjadi lebih baik! Agar mereka tidak memiliki beban! Agar masalah yang berhubungan denganku kehilangan akar penyebabnya! AKU HARUS MATI AGAR SEMUANYA MEMBAIK!!!!!”
Dadaku naik turun tak karuan. Deru napas yang menggebu-gebu terdengar jelas di telingaku. Air yang keluar dari pelipis ku terasa asin. Seakan dunia memang tak pernah semanis itu.
Senyumnya membuat wajahku merah padam. Tawa kecil itu terdengar sangat menikmati. Apa yang ia anggap lucu? Apa keputusasaan terdengar seperti komedi di telinganya? Sebenarnya yang gila itu aku atau dia?
“Kau tau, Nona.” Suaranya berubah, terdengar pelan nan menyakitkan. “Aku tidak memiliki siapapun di sisiku, tapi segalanya juga tak menjadi baik.”
Mata itu menatap lurus aliran sungai yang tenang. Seakan menatap sebuah kisah di balik pantulan bulan di riak air itu. Senyumnya tak menampilkan kegembiraan. Rambut yang menari-nari menusuk mata itu seakan tak mengganggunya.
“Orang tuaku meninggal sejak aku masih terlalu kecil untuk memahami segalanya. Mereka anak tunggal, dan akupun juga begitu. Tak seorangpun dari mereka memiliki sanak saudara. Mereka meninggalkanku di rumah besar yang bahkan tak ku ketahui bagaimana mengurusnya.”
Mata itu menatap rembulan yang bersinar terang. Beralih menatapku dengan kekosongan yang menyesakkan. Betapa kesepiannya mata itu? Butuh berapa lama untuk bisa menyembunyikannya dengan sempurna? Butuh berapa malam untuk merubah duka menjadi tidak ada apa-apanya?
“Saat itu ku pikir, ‘Mengapa mereka tidak membawaku saja?’, ‘Mengapa mereka meninggalkanku sendirian?’, ‘Apa yang harus ku lakukan sekarang?’, ‘Memangnya aku bisa apa?’. Dan tak seorangpun dapat menjawab pertanyaan itu.”
Sebesar apa lukanya hingga senyum itu tak tak tampak seperti senyum? Mata itu sedang menatap apa? Suara itu sedang berbicara dengan siapa?
“Kepergian tak pernah menjadi hal mudah bagi orang yang ditinggalkan, Nona.”
Namun apakah orang-orang yang ku tinggalkan ini akan merasakan hal itu? Sebab bahkan hadirku tak pernah terlihat ada di mata mereka. Bahkan kurasa mereka tidak pernah menginginkan kehadiranku.
“Nona pasti berpikir tidak ada yang menginginkan nona.” Ia tertawa dengan ujung matanya. “Mungkin Nona hanya tidak berbicara dengan orang-orang itu. Sebab tidak akan mungkin seseorang tidak merasa ditinggalkan. Mungkin mereka akan mengantar kepergian dengan kebencian, tapi itu juga bentuk kehilangan Nona. Manusia serumit itu.”
Makanya aku tidak pernah berhasil memahami manusia. Mereka terlalu melelahkan untuk hanya dipikirkan sekali jalan. Dan berlarut-larut memikirkannya juga tidak pernah merupakan hal yang baik.
“Apakah Nona memang menginginkan kematian?”
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sia-sia untuk ditanyakan. Kalau aku tidak menginginkan kematian mengapa aku harus berdiri di tempat ini? Kalau aku tidak menginginkannya aku pasti hanya akan mati.
Namun, sejak kapan… Sejak kapan aku berakhir di jembatan yang bahkan tak mematikan ini. Sejak kapan keputusasaan membuat semestaku kehilangan mataharinya. Sejak kapan aku ingin mati?
“Orang-orang tak pernah menginginkan kematian, Nona. Mereka menginginkan ketenangan. Mereka ingin segala masalah dalam hidup mereka menghilang. Dan kematian adalah cara paling mudah untuk mencapainya, menurut mereka.”
Pria ini berbicara seakan telah begitu lama mengamati manusia. “Mengapa kematian adalah cara paling mudah?” Menurutku mati adalah cara paling sulit. Cara yang setelah seribu cara lain gagal diwujudkan. Karena tidak semua orang berani untuk mencoba mati.
“Karena manusia pada dasarnya makhluk paling pemalas. Manusia akan selalu mencari jalan pintas tanpa melihat bahwa apa yang ia jalanilah jawabannya.” Pria itu melirik ke arahku. Baru kusadari bibir itu jauh lebih pucat dari orang sakit. Mata itu jauh lebih hitam dari langit malam. “Manusia itu bodoh, karena mereka kira kematian adalah jawaban atas segala jawaban.”
“Kau berkata seakan bukan manusia.” Nada suaraku mungkin terdengar sinis. Mungkin juga terdengar seperti lelucon. Namun, pria disampingku ini hanya tertawa. Tawa yang makin lama terdengar dingin.
“Jadi Nona ingin mati?” Ia mengulang pertanyaan itu lagi.
Apa aku ingin mati?
Deru sungai di bawahku memenuhi isi kepala. Inginkah aku mati? Angin berhembus di antara kedua kakiku. Mini dress berwarna hitam dengan polkadot putih yang kupakai hampir tersingkap.
Seharusnya tanganku tidak menahannya. Kalau aku ingin mati, aku tidak akan peduli apakah pria ini melihat pakaian dalamku atau tidak. Sebab kalau aku mati, tubuhku akan jadi tontonan banyak orang. Seandainya aku melompat dari jembatan ini. Entah kepalaku atau kakiku yang akan lebih dulu terlihat.
Mungkin detik-detik awal aku akan menahan nafas. Mungkin juga aku akan pasrah membiarkan air masuk ke organ pernapasanku. Membiarkan air yang rasanya entah asin atau asam itu masuk melalui hidung, memenuhi saluran pernafasanku. Menarik oksigen keluar dari tubuhku, rasa sakit yang perlahan-lahan semakin jelas. Dan aku tentunya tidak akan bertahan lebih dari satu menit sebelum kehilangan kesadaran. Karena aku bahkan tidak bisa mengapung di air, yang kata pelatih renangku adalah tahap paling dasar untuk dapat berenang.
Setelah menit pertama bayangan atas segalanya akan berputar di kepalaku. Bayangan ibu yang menangis sebab tidak sengaja memukulku terlalu keras dan meninggalkan ruam merah yang keesokannya akan berubah ungu. Bayangan Ayah yang menjadi pemarah sebab selalu dimintai uang setelah seharian bekerja dan menerima makian dari atasannya. Bayangan adikku yang kesal sebab karena aku mereka tidak bisa membayar les sepak bolanya yang bahkan adalah satu-satunya impiannya. Bayangan hidupku yang hancur sebab kekasihku kabur bersama wanita lain setelah mengambil keperawananku.
Mungkin setelah sepuluh menit tubuhku akan melayang. Maka sosok berbaju hitam itu akan menjemputku sambil menggelengkan kepala. Maka ia akan bertanya kepadaku, “Kenapa kau memilih mati tenggelam?”. Dan mungkin aku akan menjawab, “Karena mereka tidak butuh menguburkanku. Mereka tidak perlu membayar lahan untuk kuburanku.”
Namun, apakah kematian itu untukku?
“Sekali lagi kukatakan. Nona tidak akan mati kalau melompat dari sini.” Pria itu kembali mencondongkan tubuhnya.
Sebuah pertanyaan aneh entah kenapa terlintas di kepala. “Kalau aku melompat, apa kau akan menangkapku?”
Pria itu diam. Tentunya sebagai manusia ia pasti tidak akan diam saja saat melihatku melompat. Tetapi tidak sedikitpun keuntungan yang akan ia dapatkan bila menangkapku. Aku dan dia bahkan tidak memiliki hubungan apapun. Jadi wajar saja kalau seandainya ia membiarkanku mati. Pria ini tak lebih dari orang asing.
Dan bukannya menjawab, ia balik bertanya. “Nona akan melompat?”
Akankah aku melompat?
Padahal bintang-bintang terlihat indah malam ini dan bulan terlihat seperti keju. Aih, padahal aku sangat menyukai bintang. Padahal aku sangat menyukai keju.
“Tidak adakah yang menunggumu pulang, Nona?” Mata hitam itu menyipit. Tubuhnya ia putar ke arahku. “Kau tidak meninggalkan sesuatu di rumah?” lanjutnya mencondongkan tubuh itu ke arahku.
Apa aku meninggalkan sesuatu?
“Aku meninggalkan sesuatu.”
Pria itu diam sejenak. Kerutan itu menunjukkan keterkejutan sebelum mengangguk pelan. “Ya kau meninggalkan sesuatu,” ucapnya pelan.
Aku harus pulang.
“Ya kau harusnya pulang.”
Ada sesuatu..
“Ya memang ada sesuatu.”
Pria itu mengulurkan tangannya. Senyum di wajahnya menimbulkan lesung pipi. “Mari pulang, Nona,” tangan itu mengambang di udara. Jemarinya panjang, kurus, dan jauh lebih keriput dari wajahnya.
Aku menyambut uluran tangan itu. Pikiranku sama sekali tidak memikirkan apa-apa. Tidak peduli betapa anehnya aku menyambut uluran tangan pria asing ini. Tidak peduli betapa tidak wajarnya pria ini. Seseorang yang tiba-tiba muncul di jembatan ketika tak seorangpun melewatinya. Namun, tekadku sudah bulat. Aku akan pulang!
***
Rumahku ramai. Bukan keheningan yang menyelimutinya. Bukan kedinginan yang memeluknya. Rumah ini ramai. Oleh keramaian yang tidak aku tau sebabnya.
Tidak seperti biasanya, rumahku ramai. Bukan oleh teriakan penuh penderitaan. Bukan karena benda-benda berjatuhan. Bukan, ramainya tidak seperti biasanya.
Aku bersembunyi dibalik tubuh pria itu. Tanganku masih menggenggam erat tangannya yang dingin. Sedang pria itu hanya melirik dengan ujung matanya.
“Tidak apa-apa, Nona,” ucapnya berbisik lirih.
Sejujurnya aku tidak percaya. Aku takut bahwa rumahku tidak menyambutku pulang. Aku takut akan apa yang belum terjadi. Mungkin rasa takutku adalah kebiasaan yang terbentuk setiap kembali ke rumah ini. Rasa takut itu terukir jelas tak mungkin untuk dibantah.
Lagi-lagi seakan bisa membaca isi pikiranku, perkataan yang keluar dari mulut itu membangkitkan perasaan yang sebelumnya tidak ada. “Tidak ada hal menakutkan yang akan terjadi.”
Kepalaku mendongak menatap lesung pipi di wajah putih itu. Mata hitamnya memberiku keberanian aneh. Ah, sudahlah. Kalau aku punya keberanian untuk mati, kenapa aku perlu takut sekarang?
Pria itu melepaskan genggaman tangannya. Membiarkan langkahku masuk ke pekarangan rumah. Wanita berdaster coklat dengan bunga-bunga berwarna ungu berlari memelukku begitu cahaya lampu ruang tamu menyinariku.
“Dari mana kamu, kak? Udah tengah malam begini kamu baru pulang.” Wanita itu menangis dipelukanku. Memukul punggungku seperti biasanya. Namun, bukan rasa sakit yang kuterima. Ada bagian yang penuh di dalam sana.
“Aku…”
“Kamu bikin Mama khawatir, kak…”
Aku terdiam. Sekujur tubuhku merinding. Bukan karena ketakutan, bukan juga rasa jijik. Melainkan perasaan tidak biasa yang tidak bisa kusebutkan apa.
Khawatir adalah kata yang tidak pernah kuduga akan keluar dari mulutnya. Dan tentunya tidak pernah kudengar dari mulutnya. Wanita yang hanya tangis dan deritanya yang selalu menancap jelas diingatanku ini, mengatakan suatu kata seperti ‘khawatir’.
Apa mungkin ini mimpi? Apa sebenarnya aku sudah lompat dari jembatan itu? Apa mungkin aku mati di perjalanan menuju tempat ini? Maka kalau iya, keanehan pria itu akan menjadi jelas, bahwa ia adalah kematian yang datang untuk menjemputku. Kalau iya, ini semua adalah hal terakhir yang ia tunjukkan padaku agar bisa meninggalkan dunia ini tanpa penyesalan. Kalau tidak begitu, tidak ada penjelasan yang masuk akal lainnya.
Kurasa benar…
Aku…
Tamat.