Cerita ini merupakan cerita bersambung milik LPM Perspektif dari karya yang berjudul “Siksa Jeruji Rindu: Semua Aku Dimatikan” yang dapat anda akses pada tautan berikut :
Apakah aku menyesal? Memilih pilihan bodoh, mengingkari tawaran dari wajah murni Kinan, bahkan mengabaikan permohonan penuh darah kala itu. Aku tidak tahu. Aku hanya tahu seandainya dunia benar-benar sepolos kertas tak bernoda mungkin aku akan sudi bekerja sama dengan Paman wanita yang pernah menawarkan kesetiaannya padaku. Nyatanya, dunia mengukir hitam secara membabi buta, memenjarakan satu hal yang tersisa dalam kotak pandora. Harapan, sebuah pengharapan. Haruskah aku menghadiahkannya sebuah kotak pandora? Sebagai tanda bahwa aku sudi bekerja sama dengannya.
Mungkin.
Sebab sekeras apapun manusia berkata harapannya pupus, selalu ada sisi lain yang berkata bahwa masih ada harapan. Ah, sebenarnya hanya ada dua alasan. Aku memang naif atau aku kembali mengingat Tuhan. Pernahkah kalian mengingat Tuhan mati-matian ketika akan melewati Ujian Nasional? Begitulah manusia kurang ajar tak tahu balas budi, begitulah kita. Sungguh Ironi. Sekali lagi, sayang sekali aku tak punya jabatan tinggi untuk merendahkan hukum yang mereka agungkan. Jadi, pada akhirnya aku hanyalah manusia biasa yang meragu dan tergoyahkan dengan iming-iming harapan, persetan dengan ekspektasi. Sialan sekali kau takdir.
***
Mengapa pada akhirnya aku ditahan dan mendekam dalam segala kebejatan penjara ini? Pertanyaan yang selalu terulang. Bukan sok suci. Padahal pada awalnya aku dikenal sebagai orang baik. ‘Baik tai cicak’ sih. Apa gunanya sekarang aku berkata demikian dengan title tahanan hukuman mati. Asumsi-asumsi merekalah yang menetapkan posisi ku sebagai penjahat keji. Asumsi-asumsi merekalah yang menggiring keputusan bahwa aku harus menjadi tersangka demi membeli kepercayaan banyak orang. Bukankah menyakitkan sekali memiliki hidup yang mereka nilai penuh kecacatan sebagai dasar asumsi? Mungkin memang aku juga ingin melakukannya, tapi seseorang mengeksekusinya dengan tepat sasaran dalam satu waktu yang sama. Menjadi kambing hitam. Itulah takdir indahku. Seolah semuanya adalah kemutlakkan yang harus aku terima.
Bahkan ketika aku tersenyum setelah sidang, mereka malah menudingku psikopat. Mungkin dikiranya semua harus depresi untuk memuaskan ekspektasi mereka. Hah. Sekarang aku beneran depresi dengan bau busuk yang menjijikkan bersamaan dengan pengerat-pengerat kecil penghuni lama ruangan yang lebih pantas dianggap kandang babi. Kejamnya. Puaskah kalian?. Atau mungkin ini belum seberapa puas Kah kalian keparat!?.
“Tahanan 244, ambil ini,” setelahnya si sipir meletakkan nyaris membanting makanan yang bahkan sudah mengenaskan.
Persetan makanan, sialan sekali nomor tahanan yang mengolok itu. Apakah artinya hari ini, esok, dan selamanya aku berada disini?!Oh, Paman Kinan segeralah bantu meringankan bebanku, itupun jika bisa. Eh, aku lupa tidak ada yang gratis di dunia. Apa sekiranya pertaruhan yang ia suguhkan dalam kerja sama ini? Apakah aku harus mulai berasumsi juga? Sekali saja, akhirnya aku ingat sebuah tawa.
Asumsi tawa yang lebih mencerminkan ironi. Tawa sinis yang diratapi oleh tembok-tembok berwajah jelek seakan-akan mencemooh dengan tidak sungkan. Namun, mau bagaimana lagi tembok-tembok jelek dan jeruji besi berisik lah yang hanya mendengarkan asumsi-asumsi liar. Menunggangi kuda-kuda pikiran asumsi berkeliaran seperti kuda lumping yang merasuki setiap titik sel otak, Seperti hewan beringas berlari kesana kemari di ruangan berukuran beberapa meter saja.
Apa perihal semua ini. Pertanyaan-pertanyaan serta keraguan terus meneror, menusuk setiap nadi logika. Pertanyaan yang masih menjadi pertanyaan dari kemarin, hari ini atau mungkin besok hari saat netra membuka visual yang sama. Entahlah darimana datangnya asumsi-asumsi yang semakin membuat hati semakin meraung-raung. Mungkin beberapa waktu lagi segalanya akan usai, memori, kebejatan ruang hampa, dan asumsi buntu yang diakhiri dengan penderitaan terakhir di ujung barel besi.
Bersambung…