Lompat ke konten

Papua

Ilustrator: M. Gibrant Aryoseno
Oleh: Gratio Ignatius Sani Beribe*

Kala mentari mulai memanjat tiang-tiang langit dan riuh kokok si jago memenuhi pagi, Minus bangun dalam lindungan atap honai dan kasur tipis tempatnya membaringkan tubuh serta mimpi-mimpinya saat terlelap. Ia kemudian langsung menuju ke kamar mandi, mencuci mukanya dan tak lupa menggosok gigi. Menggosok gigi adalah salah satu hal yang paling disukai Minus, karena adanya sensasi dingin yang ditimbulkan oleh pasta gigi mengisi sisi-sisi mulutnya. Sampai-sampai tak jarang juga ia menelan pasta gigi untuk berbagi sensasi dingin tersebut ke tenggorokan dan lambungnya.

Setelah menghabiskan waktu di dalam kamar mandi, Minus kemudian mengganti pakaiannya dengan seragam sekolah. Kemeja putih dan celana pendek merah, menandakan ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Sarapan pagi bukan lagi kebiasaannya akhir-akhir ini, karena selalu bangun kesiangan sehingga tak sempat untuk memasak − banyak hal yang harus dilakukan Minus sendiri. Ia lalu melangkahkan kaki tanpa alas dengan mantap menuju sekolah. Tempat yang cukup jauh dari kediamannya.

Dalam perjalanan keluar dari kampung, Minus mendengar suara jerit tangisan dari rumah temannya Titus. Bapaknya Titus baru saja meninggal kemarin karena ikut terlibat dalam peristiwa baku tembak antara TNI dan KKB Papua. Terlihat bendera bintang kejora membungkus raganya yang ditembus beberapa peluru panas, sekaligus menjadi busana abadinya ketika dikebumikan. Hal seperti ini tidak asing lagi bagi Minus, bahkan bisa dibilang begitu dekat dengannya.

Melihat kejadian tersebut, timbul sebuah perasaan dalam hati Minus. Entah itu amarah, dendam, atau ketakutan. Namun perasaan tersebut tentunya sangat berat untuk dirasakan oleh anak-anak seumurannya yang seharusnya hanya bergembira menikmati masa kanak-kanak tanpa perlu merasakan ketakutan bahkan kehilangan yang mendalam. Minus lalu melanjutkan perjalanannya dengan banyak tanya dalam kepala. Dan biasanya pertanyaan-pertanyaan tersebut akan ia utarakan pada Ibu Fatma, seorang sukarelawan yang berasal dari Pulau Jawa yang sering dianggap Minus sebagai orang paling pintar dan tahu segalanya di dunia.

Sesampainya di sekolah, Minus duduk paling depan bersama dengan empat temannya. Mereka rela berdesak-desakan dalam satu bangku panjang hanya untuk bisa lebih dekat dengan Ibu Fatma. Tidak lama kemudian guru yang mereka tunggu-tunggu datang juga. Seisi kelas kemudian mengucapkan salam dengan semangat menyambut guru tersebut − tidak sabar lagi mendengar kisah-kisah memukau dan jawaban-jawaban yang mampu menghapus segala tanya dalam kepala mereka. Kali ini Ibu Fatma bercerita tentang perkembangbiakkan hewan-hewan. Murid-muridnya antusias dan syahdu mendengar kisah-kisah tentang ulat bulu yang suka berada di pohon ternyata bisa memiliki sayap dan berubah menjadi kupu-kupu, tentang ikan paus yang ternyata tidak bertelur seperti ikan-ikan yang biasa mereka tangkap, sampai tentang hewan aneh yang bertelur tetapi juga menyusui. Namun berbeda dengan kebanyakan teman-temannya, Minus terus bermain dengan perasaan-perasaannya tadi dan menyulut sebuah pertanyaan besar dalam pikirannya.

Seperti biasanya setelah habis bercerita, Ibu Fatma mempersilakan murid-muridnya untuk bertanya. Minus dengan cekatan mengangkat tangannya sebagai isyarat bahwa ia ingin bertanya.

“Ya, Minus, apa yang ingin kamu tanyakan dari cerita hewan-hewan tad..”

Belum selesai Ibu Fatma menyelesaikan kalimatnya, Minus langsung saja melemparkan pertanyaan, “Bu, kenapa orang Indonesia itu jahat? Kemarin bapaknya Titus juga ditembak mati.” Setelah selesai berbicara, Minus kemudian menghembuskan napasnya. Pertanda sesuatu yang mengganjal dalam hatinya telah ia keluarkan.

Ibu Fatma malah tersenyum, lalu balik bertanya, “Nak, kalau orang Indonesia itu jahat, berarti Ibu juga jahat dong?”

Minus merasa kebingungan dan bertanya lagi, “Ibu Fatma bukannya orang Jawa, kenapa tiba-tiba jadi orang Indonesia?”

Pertanyaan Minus tersebut membuat Ibu Fatma tertawa kecil. “Minus, Jawa itu bagian dari Indonesia. Berarti Ibu juga orang Indonesia.”

Minus menganggukkan kepala, tanda baru memahami sesuatu. “Oh, Jawa itu punyanya Indonesia ya. Terus kalau Papua itu punyanya siapa Bu? Soalnya di depan sekolah ada bendera merah putih, di depan rumah Titus tadi ada bendera bintang kejora, di gunung-gunung katanya punya Amerika, di hutan yang sekarang ditanami kelapa sawit katanya punya Korea. Papua ini sebenarnya punya siapa, Bu?”

Ibu Fatma maju menatap Minus dan mengelus rambut keritingnya lalu berkata, “Minus, Papua itu punya kamu sendiri, bukan punya siapa-siapa.” Ibu Fatma kemudian mundur ke depan kelas agar perhatian murid-murid kembali kepadanya. “Anak-anak, coba semua tatap telapak tangan kanan kalian masing-masing.”

Semua murid dalam kelas pun menatap telapak tangan mereka sesuai yang diperintahkan Ibu Fatma. “Sekarang, lihat bahwa Papua dengan alam dan orang-orangnya ada pada telapak tangan kalian. Kemudian genggam telapak tangan kalian dan taruh di dada, lalu dekap genggaman tangan kalian tersebut dengan tangan kiri biar semakin dalam dan dekat dengan detak jantung. Nah, begitulah seharusnya cara kalian menjaga Papua. Papua kalian sendiri.”

***

Seusai waktu sekolah, Minus buru-buru pulang ke rumah karena harus memberi makan ternaknya. Ditambah lagi perihal perutnya yang masih kosong belum terisi sejak pagi tadi. Sesampainya di rumah, Minus langsung memberi makan ternak dan tidak lupa juga memasak untuk makan siangnya. Ya, memang banyak hal yang harus dilakukan Minus dengan sendiri akhir-akhir ini. Lebih tepatnya semenjak kedua orang tuanya tewas seminggu lalu. Ceritanya tak berbeda jauh dengan apa yang dialami temannya Titus.

Setelah selesai makan siang, Minus duduk diatas kasur tipis dan ditemani dengan sepi yang mulai akrab dengan dirinya. Ia lalu menatap telapak tangan kanannya seperti yang dilakukannya di sekolah tadi. Pada telapak tangan tersebut, dilihatnya alam Papua yang indah, anak-anak Papua yang menjadi yatim piatu, dan wajah kedua orang tuanya yang sangat ia rindukan. Kemudian ia menggenggam telapak tangannya tersebut dan menaruhnya di dada, lalu didekapnya dengan tangan kiri erat-erat sampai terasa seperti seluruh semesta menyatu dan memenuhi dekapannya tersebut.

(Visited 235 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Tahun 2020. Saat ini aktif sebagai anggota Divisi Sastra LPM Perspektif.

1 tanggapan pada “Papua”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?