Oleh: Annisya Maulidina*
Ruh-ruh yang tertiup dalam ruang keabadian
Masih dapat menatap perih membiru
Masih dapat meratap sejuta pilu
Terawang sebuah kesaksian
Mereka hanya bisa menahan pekik seru
Dalam desah suara parau
Pertanda baru saja terisak
Hati yang terus terkoyak
Wajah mereka berkumpul dalam satu cawan
Gulungan-gulungan awan berombak
Di atas mega negeri yang tak mampu menguak
Letak sesungguhnya sebuah kemerdekaan
Masih hangat dalam neuron-neuron otak
Saat mereka meraut bambu kuning hingga benar kilau runcing
Usaha melawan rakitan-rakitan nuklir
Serta bombardir
Yang membuat lempengan bumi meretak
Itu terekam dalam hati di masa kelam
Waktu lebih dari setengah abad silam
Saat keringat berubah menjadi darah
Saat jarum pada dinding kompas masih mencari arah
Jika lembar-lembar dalam catatan itu kembali dibuka
Layar begitu lebar memberi kabar
Habis tubuhnya tertusuk panah
Demi pusaka cinta tanah air
Di dalam nirwana mereka tersenyum
Saat tunas bangsa menghimpun kekuatan
Saat soekarno lantang menyuarakan
Sebuah naskah yang disebut proklamasi
Ini memberi tanda
Jatuh bangun raganya tak sia sia
Simbahan darah segar mereka
Tak mengalir begitu saja
Namun, dari balik celah awan
Kini air matanya kembali jatuh
Setelah menyaksikan panggung pertunjukan
Sandiwara pilu bumi Indonesia raya
Mereka muak pada tikus-tikus
Yang bersembunyi di balik kursi DPR
Hatinya bergetar melihat insan-insan merana
Ruhnya kesakitan
Karena anak cucunya tak mampu temukan makna kemerdekaan
*Penulis merupakan mahasiswi Psikologi FISIP UB 2017