Oleh : Kumba Permata*
Setiap pertengahan tahun, dari Juni hingga Agustus, institusi perguruan tinggi negeri maupun swasta berlomba-lomba membuka gerbang pendaftaran bagi mahasiswa baru. Tercatat 2016 lalu, 12.056 mahasiswa baru menyandang status sebagai ‘Mahasiswa Universitas Brawijaya’. Rerata Universitas Brawijaya menerima 10 hingga 12 ribu mahasiswa baru per tahunnya.
Mahasiswa baru yang tengah mencicipi awal dari dinamika perguruan tinggi, tidak dapat dipisahkan dari masa transisi dari siswa menjadi mahasiswa. Tahap untuk mencari jati diri, tidak bisa dipisahkan dari role model lingkungan yang mengikutinya. Hal itu sesuai dengan apa yang dituturkan Bandura (Hergenhann, 2008), bahwa segala sesuatu dapat dipelajari dari lingkungan melalui pengalaman dan observasi. Melalui role model itulah, para mahasiswa baru ini belajar dan menggunakan pengalamannya untuk memecahkan suatu permasalahan ke depannya. Hal ini menjadi lumrah di dunia pendidikan tinggi yang menuntut mahasiswa berpikir lebih kritis mengenai fenomena di sekitar mereka.
Memprediksi bagaimana output mahasiswa baru yang akan berkutat pada dinamika pembelajaran perguruan tinggi ini nantinya, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah tingkat kepatuhan pada otoritas di level masyarakat nantinya. Sebuah pengujian menarik dilakukan oleh Stanley Milgram, dalam eksperimennya yang kini populer dengan nama Milgram’s Experiment (1961) untuk mengetahui tingkat kepatuhan seseorang terhadap otoritas yang lebih tinggi. Eksperimen yang mengguncang dunia psikologi itu menuntut seorang peserta memberikan hukuman berupa kejut listrik dengan tingkat yang meningkat pada seorang model, atas perintah dari sang eksperimenter yang memiliki tingkat otoritas yang lebih tinggi. Menariknya, meski sang model sudah memohon ampun, eksperimenter tetap memerikan tekanan kepada peserta eksperimen untuk memberikan hukuman yang lebih tinggi dan 65% peserta eksperimen memberikan hukuman kejut listrik pada tingkat tertinggi (± 450 volt).
Hal yang menarik muncul, ketika pihak otoritas memberikan sebuah tekanan sosial yang tinggi kepada seseorang untuk melakukan sesuatu. Pihak yang diperintah akan ‘bermain aman’ dengan menaati arahan atau perintah dari pihak otoritas yang lebih tinggi. Sehingga mereka meghindari tekanan yang terus diberikan dari pihak otoritas, terlepas perintah tersebut menimbulkan bahaya atau kerugian di pihak lain (Myers, 2012).
Hal ini hendaknya perlu diperhatikan sebagai mahasiswa baru nantinya, ketika berkutat dalam ranah akademik maupun sosial. Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mengharuskan para akademisi untuk melakukan pengabdian di masyarakat nantinya, mahasiswa dihadapkan pada berbagai dinamika masyarakat yang pelik. Di satu sisi, memberikan inovasi, pemikiran, dan pengalaman akademiknya untuk mensejahterakan masyarakat, dan di sisi lain, dihadapkan pada stakeholder yang menurut Engels (1873) memberikan pembatasan, pemaksaan, atau represivitas pada pergerakan masyarakat.
Mahasiswa sebagai agen perubahan dan menjadi fungsi terhadap kontrol sosial, sudah sepatutnya bersikap kritis terhadap segala sistem peraturan dan sistem otoritas yang berlaku. Melihat banyaknya fenomena pemaksaan dari otoritas yang lebih tinggi di dalam ranah akademik, bubarnya diskusi-diskusi akademik oleh ormas yang didomplengi otoritas keamanan, terbungkamnya suara-suara protes melalui tekanan dan ancaman dari pihak penguasa, para mahasiswa baru ini diharapkan mampu untuk mendobrak tekanan dari otoritas yang membatasi hal-hal tersebut. Namun, jangan lupakan mengenai transisi menuju tahap baru sebagai seorang mahasiswa, yang pemikirannya masih terbentuk dari pengalaman dan lingkungan di sekitarnya. Bisa jadi, transisi itu akan berdampak pada senyapnya suara-suara agen perubahan di kemudian hari.
Satu pertanyaan untuk kalian, para mahasiswa baru, siapkah kalian mendobrak pembatasan itu dan ikut serta menyaurakan suara masyarakat?
Kumba Permata Dewa Mahasiswa Ilmu Psikologi UB
2014. Anggota Divisi Sastra LPM Perspektif.