Lompat ke konten

Puisi dalam Dimensi Layar Lebar

Ilustrasi. (PERSPEKTIF/Ibet)
Ilustrasi. (PERSPEKTIF/Ibet)
Ilustrasi. (PERSPEKTIF/Ibet)

Oleh : Achmad Syarkowi Jazuli*

 

Beberapa waktu lalu, berita meninggalnya Robin Williams membuat warga dunia gempar. Komedian dan budayawan ini diduga melakukan bunuh diri yang mengakibatkan dirinya mengalami asphyxia (keadaan tidak bisa bernafas dengan normal). Jejaring sosial ramai, pemberitaan meluas dan ungkapan duka cita menjalar bagai pesan berantai. Mendengar nama Robbin Williams mengingatkan kita mengenai film-film yang pernah dibintanginya, diantaranya Jumanji (1995), Good Will Hunting (1997), Patch Adams (1998) serta banyak film lainnya. Tapi bagi mereka yang menyukai sastra khususnya pencinta puisi, film Dead Poets Society (1989) menjadi daya tarik tersendiri.

Dead Poets Society menceritakan kisah mengenai tujuh anak laki-laki di Welton Academy, sekolah khusus lelaki yang mempunyai tradisi yang kuat dalam menciptakan lulusan-lulusan terbaik dalam bidangnya dan kebanyakan diisi oleh keluarga-keluarga terpandang hingga bangsawan. Kehidupan yang penuh tekanan dari keluarga membuat para siswa merasa jenuh dan depresi, hingga datang John Keating (diperankan oleh Robin Williams), guru bahasa Inggris yang berhasil membuat anak didiknya tertarik pada puisi. Pembawaan yang eksentrik dan ekstrim membuat Mr. Keating menarik perhatian siswanya. Seperti saat mengajak muridnya-muridnya keluar kelas menuju hall of fame Akademi Welton, sambil memandang foto-foto alumnus dan mendengungkan kata-kata “dengar, kamu dengar ‘kan? — Carpe — dengar ‘kan? — Carpe, Carpe diem, isilah harimu anak-anak, jadikan hidupmu luar biasa”.

Istilah Carpe diem diambil dari kumpulan buku puisi Odes (buku 1, nomor 11) karya Horace, seorang sastrawan Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Augustus. Carpe diem berasal dari bahasa latin yang diistilahkan menjadi seize the day dalam bahasa Inggris yang berati “raihlah harimu” atau “petiklah harimu”. Puisi-puisi dalam film Dead Poets Society kebanyakan diambil dari pujangga-pujangga klasik Amerika Utara dan Inggris Raya, seperti Robert Frost, Walt Whitman, dan Shakespeare.

Plot cerita yang khas menceritakan masa muda sangat kental, nilai-nilai persahabatan, cinta dan mimpi diaduk dalam ketertarikan pada puisi yang membuat para murid-murid melihat segalanya dari perspektif yang berbeda. Dead Poets Society hanyalah satu dari sekian banyak film yang mencoba menyentuh genre yang berbeda. Menyisipkan puisi ke dalam plot utama film-film mainstream memang tak mudah, padahal puisi adalah salah satu bentuk sastra paling populer dalam media-media penerbitan. Puisi dalam dimensi layar lebar mempunyai daya magis tersendiri, lebih menyentuh dan bermakna karena disandingkan dengan emosi dan ekspresi para aktor yang menjadikannya lebih mudah dimengerti serta terkesan lebih manusiawi.

Puisi, Makna dan Inspirasi

Dalam kumpulan essay yang berjudul “Can Poetry Matter? Essays on Poetry and American Culture” karya Dana Gioia, menjelaskan mengenai posisi puisi dalam kehidupan masyarakat yang hanya menjadi subkultur, bukan lagi menjadi bagian utama dalam kehidupan artistik dan intelektual masyarakat, serta hanya menjadi kajian dalam kelompok yang relatif kecil dan terisolasi. Padahal dalam perkembangan awal puisi dan karya sastra lain pada konteks Indonesia bermula dari penerbitan koran dan merambah pada penerbitan buku-buku antologi, dampaknya luas dan banyak menginspirasi banyak orang di luar para pencinta sastra. Tapi dalam masa kontemporer, puisi hanya sekedar bagian hobi dari segelintir orang yang menyukai karya sastra, bukan lagi menjadi produk kebudayaan yang menjadi dasar perkembangan intelektual kebangsaan, layaknya penyematan istilah Jaman Pujangga Lama dan Pujangga Baru, yang menjadikan karya sastra sebagai tolak ukur kemajuan bangsa Indonesia dalam konteks kebudayaan

Puisi sekarang seperti kehilangan makna, tidak bersahabat dengan orang awam yang tak mengenal diksi maupun rima. Oleh karena perlu mediasi yang populer di era kontemporer untuk membuat puisi lebih berasahabat dan mudah dimengerti. Film menjadi salah satu medium tersebut, munculnya film Ada Apa Dengan Cinta yang menyoroti buku kumpulan puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku Ini Binatang Jalang” sebagai premis dalam cerita dan plot membuat puisi kembali disorot oleh publk, walaupun hanya sementara. Lalu, di film biografi Nelson Mandela “Invictus” yang dibintangi Morgan Freeman dan Matt Damon, terinspirasi dari buku “Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game That Changed a Nation” karya John Carlin, memperlihatkan Nelson Mandela terinspirasi oleh puisi William Ernest Henley yang berjudul “Invictus”sebagai prinsip perjuangannya dalam membebaskan Afrika Selatan dari penindasan sistem Apartheid .

Puisi sebenarnya bisa memberikan dampak yang besar bagi kehidupan, asal makna dan diksinya dipahami dengan benar. Permainan kata dapat diartikan berbeda sesuai dengan kapasitas wawasan tiap individu, dan terkadang menjadi ambigu dalam berbagai situasi. Tapi dengan medium media pop dan kontemporer seperti film, puisi dapat dibentuk dengan pemahaman umum, tak ada lagi keterbatasan dalam memahami, maupun memaknai. Oleh karena itu puisi disebut juga pembebasan, inspirasi yang terbentuk dari keinginan untuk mengungkapkan. Seperti yang tertulis dalam bait terakhir puisi karya William Ernest Henley yang menginspirasi Nelson Mandela dalam perjuangannya :

It matters not how strait the gate

How charged with punishments the scroll,

I am the master of my fate,

I am the captain of my soul.”

*)Tentang Penulis: Penulis merupakan Sarjana Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya.

(Visited 550 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?