Malang, PERSPEKTIF — Sejumlah aliansi yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), dan Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua (IPMAPA) Kota Malang menggelar aksi di kawasan Kayutangan, Malang, Senin (18/08). Aksi ini digelar untuk memperingati 63 tahun Perjanjian New York dan enam tahun insiden rasisme terhadap orang Papua. Massa aksi menyuarakan penolakan terhadap rasisme dan menuntut hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua.
Koordinator aksi dari FRI-WP, Jeku, menyatakan bahwa tuntutan utama dalam aksi ini adalah hak menentukan nasib sendiri. Menurutnya, setelah 63 tahun Perjanjian New York yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, belum ada perubahan signifikan bagi West Papua.
“Setelah perjanjian New York Agreement 1962, melahirkan semacam pemerintahan sementara di West Papua untuk mengawal wilayah Papua selama 20 atau 25 tahun agar bisa menentukan nasibnya sendiri, namun hingga kini belum ada perubahan,” ujar Jeku saat diwawancarai di lokasi aksi.
Selain isu utama tersebut, massa aksi juga menyoroti masalah transmigrasi dan penempatan militer di Papua. Perwakilan AMP, Ini (nama narasumber, red), menegaskan bahwa tanah Papua tidak kosong dan telah memiliki pemilik. Pihaknya menolak program transmigrasi yang dinilai dipaksakan oleh penguasa.
Pandangan ini diperkuat oleh Jeku yang melihat isu transmigrasi dari kacamata ekonomi politik. Menurutnya, pengiriman tenaga kerja dari luar Papua tidak terlepas dari investasi masif yang membutuhkan tenaga produktif baru, sementara masyarakat asli Papua kerap terpinggirkan akibat ketimpangan, salah satunya di sektor pendidikan.
“Tenaga-tenaga produktif baru itu lebih banyak diambil dari luar Papua,” jelasnya.
Jeku menekankan bahwa militer dikirim bukan untuk keamanan negara, melainkan untuk menjaga aset vital investasi yang masuk dalam proyek strategis nasional. “Ketika ada yang menegur atau melanggar investasi, maka eksekusinya operasi militer,” tambahnya.
Aksi yang digelar di Kota Malang ini merupakan bagian dari seruan aksi nasional yang berlangsung pada 15-18 Agustus di berbagai daerah, mulai dari Jakarta hingga Papua. Jeku menyebutkan bahwa aksi di Bandung mengalami tindakan represif dari aparat.
Meski demikian, Jeku menyayangkan kurangnya pengawalan dari Kepolisian Resor Kota (Polresta) Malang, meskipun surat pemberitahuan aksi sudah dilayangkan tiga hari sebelumnya. Akibatnya, arus lalu lintas di sekitar lokasi sempat macet.
Lebih jauh, Jeku juga mengungkap adanya bentuk intimidasi terhadap mahasiswa Papua di Malang di luar ruang aksi.
“Dalam beberapa bulan terakhir ada teror terhadap kawan-kawan Papua, poster-poster yang ditempel di kontrakan-kontrakan dengan tulisan separatis dan lain-lain, dan ada foto kawan-kawan dipajang juga di situ. Ini mengganggu psikologi kawan-kawan Papua,” ungkapnya.
Harapan utama dari aksi ini, menurut Jeku, adalah agar ruang demokrasi bagi masyarakat Papua dibuka seluas-luasnya tanpa intervensi dalam bentuk apa pun.
(rnz/nka)