Sidoarjo, PERSPEKTIF – Hari itu matahari tidak terlalu terik, tapi panas tetap terasa merambat dari tanah. Di belakang kami hanya ada jalanan yang dilalui satu-dua motor. Kami berjalan menyusuri tanah kosong. Sejauh mata memandang, hanya ada tanaman liar dan aspal yang perlahan menghilang dimakan belukar. Tak ada tanda bahwa kawasan ini pernah dihuni ribuan orang, kecuali satu bangunan berlumut yang rupanya adalah sisa-sisa musala yang terbengkalai. Irsyad berdiri mematung, matanya menyapu semak-semak yang kini menutupi lahan kosong di hadapan kami. Lalu ia menunjuk satu titik, seolah sedang menggambar ulang denah rumahnya di udara. Tangannya tertuju ke arah rerimbun pohon pisang dan rerumputan setinggi lutut.
Baca Buletin Edisi Khusus 19 Tahun Lumpur Lapindo selengkapnya di link berikut:
https://bit.ly/BULETINKHUSUS19TAHUNLAPINDO