Lompat ke konten

Past Lives: Sebuah Refleksi Filosofis Mengenai Cinta dan Takdir

Sumber: The New York Times
Oleh: Azzara Naila Putri Hariadi*

Tanggal Rilis : 23 Juni 2023

Durasi : 106 menit

Sutradara : Celine Song

Penulis Naskah : Celine Song

Pemeran : Greta Lee, Teo Yoo, John Magaro

Genre : Drama, Romantis

Rumah Produksi : A24, CJ ENM Co., Killer Films dan 2AM

Distributor : CJ ENM Co., A24, dan lainnya

Pernahkah kalian mempertanyakan apa yang akan terjadi dalam hidup apabila mengambil pilihan yang berbeda? Atau memikirkan kenapa beberapa orang hadir dan menetap, tapi beberapa lainnya datang hanya untuk menjadi orang asing dengan beragam kenangan? Tidak ada yang tahu jawaban sebenarnya mengenai pertanyaan paling menghantui soal hidup atau ‘the never-ending what ifs’.

Past Lives, film yang menandai debut penyutradaraan Celine Song, menceritakan hubungan mendalam antara dua teman masa kecil di Korea Selatan yang harus berpisah sebab salah satu dari mereka pindah ke Amerika. Setelah dua puluh tahun berlalu,  mereka kembali bertemu dan menghabiskan satu minggu penuh di New York untuk menyambung kembali kisah mereka. Past Lives dirilis dengan kesuksesan yang melimpah, salah satunya adalah dengan masuk ke dalam nominasi ajang penghargaan ternama Amerika Serikat, The Academy Awards (Oscars), untuk kategori ‘Best Motion Picture of the Year’ dan ‘Best Original Screenplay’. 

Tentang Persahabatan, Cinta, Takdir, dan Kehilangan

Film ini mengisahkan Na Young (diperankan oleh Greta Lee), seorang imigran asal Korea Selatan yang meninggalkan masa kecilnya untuk menetap di Amerika dan tumbuh besar menjadi seorang penulis. Semasa di Korea, Na Young memiliki teman baik bernama Hae Sung (Teo Yoo). Sayangnya, kedekatan mereka harus terhenti saat keduanya berusia 12 tahun akibat kepindahan Na Young dan keluarganya. 

Perpisahan itu meninggalkan ruang hampa, tetapi hidup harus terus berjalan. Hae Sung melanjutkan hidupnya di Korea dan menyelesaikan pendidikannya. Sementara itu di New York, Na Young mengganti namanya menjadi Nora dan menikah dengan seorang penulis Amerika bernama Arthur (John Magaro). Dua dekade kemudian, setelah melalui berbagai miskomunikasi, kedua sahabat ini akhirnya berkesempatan untuk bertemu kembali.

Mereka menghabiskan waktu bersama di New York, saling berbagi kabar, dan mengeksplorasi pertanyaan tak berujung tentang ‘bagaimana seandainya’. Di sisi lain, Arthur sebagai suami Nora, merasa seolah ia adalah penghalang bagi takdir yang seharusnya terjadi antara Nora dan Hae Sung. Arthur mengagumi ikatan antara Nora dan Hae Sung, tetapi tidak dapat memungkiri rasa cemburu dan takut kehilangan. Ketiga tokoh ini pun terlibat dalam kompleksitas cinta, kehilangan, takdir, waktu, jarak, dan perbedaan budaya yang memengaruhi hubungan mereka.

Konsep Filosofis “인연” (dibaca: In-Yeon atau In-Yun) yang Menjembatani Keseluruhan Film

Dalam bahasa Korea, terdapat kata “인연” (dibaca: In-Yeon), sebuah konsep yang diserap dari kepercayaan reinkarnasi dalam Buddhisme. Maknanya adalah setiap pertemuan antara dua jiwa merupakan hasil dari interaksi mereka di kehidupan-kehidupan sebelumnya yang tak terhingga. Sederhananya, In-Yeon adalah takdir. Konsep ini meyakini bahwa jika dua orang asing berpapasan di jalan dan pakaian mereka tak sengaja bersentuhan, itu menandakan ada sesuatu di antara mereka di kehidupan lampau. Lebih jauh lagi, jika dua orang akhirnya menikah, itu terjadi karena mereka telah melalui 8.000 lapisan In-Yeon dalam 8.000 kehidupan. 

Celine Song memainkan konsep filosofis ini dengan sangat apik. Penonton diajak untuk memahami ide In-Yeon di antara Nora dan Hae Sung. Hubungan mereka yang terasa “benar” namun sekaligus “janggal” sulit untuk didefinisikan: mereka bukan sekadar teman, tetapi juga bukan sepasang kekasih. Kehadiran konsep In-Yeon memberikan kekuatan untuk memahami apa yang telah terjadi dan apa yang mungkin bisa terjadi, tetapi pada kenyataannya tidak.

Di sisi lain, pernikahan Arthur dan Nora digambarkan sebagai hubungan yang tepat di kehidupan saat ini. Dukungan Arthur pada reuni istrinya, yang kemudian berbalik menjadi rasa insecure, ditenangkan oleh Nora dalam salah satu dialognya, “This is my life and I’m living it with you… You forget the parts where I love you.”

Ketika Sinema Menjadi Puisi yang Bergerak

Salah satu kekuatan film ini adalah caranya mengupas sisi sentimental manusia secara perlahan dan elegan, di mana ledakan emosinya justru terasa tenang namun tetap menakjubkan. Seolah-olah kita sedang mengintip isi kepala sang sutradara saat ia menulis puisi, dan kita menyaksikannya bergerak menjadi gambar.

Beberapa adegan dalam Past Lives ditampilkan “dalam diam”, seperti saat Nora dan Hae Sung berjalan bersisihan tanpa dialog. Namun, keheningan itu disulap menjadi narasi indah yang membuat kita memahami hal-hal yang tak terucap di antara mereka. And unspoken things always hit harder.

Tidak ada kesedihan yang berlebihan, tidak ada tokoh antagonis, dan tidak ada pahlawan yang datang menyelamatkan. Film ini menangkap realitas esensial tentang manusia dan hidupnya: apa yang terjadi memang sudah seharusnya terjadi. Seberapa besar pun gagasan tentang In-Yeon dan pertanyaan ‘bagaimana seandainya’ yang membingkai film ini, pada akhirnya kita diingatkan untuk tetap fokus pada kenyataan yang kita jalani. Sebab, takdir bekerja dengan caranya sendiri, dan kita pun harus menjalani hidup dengan cara kita.

(Visited 68 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UB dan saat ini aktif sebagai anggota Divisi PSDM LPM Perspektif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?