Panas matahari meraba kulitku dan membakarnya perlahan. Dia mengintipku melalui celah jendela, tak mengindahkanku untuk merebahkan diri lebih lama. Terpaksa aku harus bangun dan beranjak dari tempat tidurku. Aku melihat ke arah dinding, detak tua jam itu terus meraba waktu, jarumnya menunjukkan pukul tujuh lebih sedikit. Jika aku perhatikan, kebiasaan orang di sini adalah menyisip kopi hitam pekat panas yang uapnya beradu dengan kepul asap rokok. Kegiatan yang cukup menarik. Kegiatan yang dapat aku tiru sebagai orang baru.
Duduk di teras rumah yang sepi, aku termangu ketika melihat orang berlalu lalang tanpa arah dan tujuan. Langkah mereka terlihat berat dengan borgolan beban di kakinya. Mereka seakan-akan pergi ke suatu tempat untuk mencari sesuatu. Padahal, mereka sendiri tak tahu apa yang sedang mereka cari.
“Bangsat! Kenapa aku jadi memperhatikan orang yang tak penting?” gumamku pada diri sendiri.
Seperti yang sudah aku rencanakan, segelas kopi tersaji di depanku. Ibu Bilal yang membuatkannya. Tak kusangka menyisip kopi telah menjadi budaya dan norma tersirat. Dia juga menawariku rokok, tapi aku menolaknya. Rokoknya tak seenak rokokku yang diberi oleh orang asing di tengah perjalananku dari warung bakso ke penginapan, rumah ini. Dia berpenampilan rapi meskipun hanya memakai kaos oblong berwarna coklat. Dilihat dari postur tubuhnya, dia sering melakukan latihan fisik. Gerak-gerik dan tingkah lakunya menunjukkan jika dia pernah membunuh orang, meskipun tak sebrutal yang biasa aku lakukan. Dia menawariku sebatang rokok untuk dicicip. Aku menolaknya dan meminta dia untuk berterus terang tentang tindakannya yang menghentikanku di tengah jalan. Terlebih, kami tak pernah bertemu sebelumnya.
“Aku tau siapa kamu, meskipun tidak seluruhnya. Aku ingin minta bantuanmu untuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang berkaitan dengan rokok ini,” ucapnya.
Mungkin jiwa kita memang sama. Aku sedikit-banyak paham tentang apa yang dia maksudkan sebenarnya. Tanpa pikir panjang dia memberiku sebungkus rokok yang sudah dimodifikasi hingga terlihat legal kepadaku. Aku menerimanya dan di sinilah aku sekarang. Menyisip segelas kopi hitam pekat dengan kepulan asap marijuana di udara. Sudah kubilang, rokok Ibu Bilal tak ada apa-apanya dengan rokok mariyuana yang aku isap sekarang. Hawanya bukan hanya nikotin yang menenangkan, tapi tetrahydrocannabinol yang membuatku terbang di udara. Candunya membuatku tersadar jika Bilal memang terlalu polos untuk kujadikan rekan kerja.
“Bajingan apa yang merasukiku hari lalu. Seorang pembunuh handal terpukau dengan keramah-tamahan warga lokal dengan semangkuk bakso yang bahkan dagingnya dikorupsi,” gumamku lagi pada diri sendiri.
*****
Sepakat dengan keputusan tak menjadikan Bilal sebagai rekan, aku pergi menemui Udin – itulah nama samaran yang pria itu katakan kepadaku – di pelabuhan. Dia bilang aku harus berpakaian rapi untuk mengecoh. Entahlah siapa yang ingin dia kecoh, tapi aku mengiyakan perkataannya. Mungkin Bilal tak bisa disebut sebagai rekan, tapi kebaikan dan keluguannya bisa aku manfaatkan. Aku berjalan dengan pakain Bilal. Kekecilan di tubuhku, tapi tak apa.
“Yo! Sini!”
Pria itu melambaikan tangan ketika aku menampakan diri dibalik kapal. Dia menuntunku untuk mengikuti langkahnya. Kami berdiri di sebelah mobil polisi dengan dua mobil lori di sebelah kanan dan kirinya. Dia bilang sedang melakukan inspeksi penyelundupan narkoba yang dibawa warga asing masuk ke Indonesia. Aku tertawa. Seringaiku menghentikan dunia fantasinya.
“Kenapa tertawa?” celetuk Udin.
“Langsung katakan saja, apa maumu? Tak perlu basa – basi.”
Udin tampak berpikir keras. Dia melihatku dari ujung rambut hingga ujung kakiku dengan lirikan mata tak percaya.
“Jika tak percaya padaku, batalkan saja pertemuannya. Waktuku terlalu berharga untuk meladeni beban negara sepertimu,” tuturku padanya.
“BWAHAHAHAHAHAHA,” tawanya meledak, terbahak-bahak dalam waktu yang cukup lama. Dia mengusap air matanya, membuat gestur seakan-akan dia adalah bos kelas tuna.
“Bunuh orang ini untukku,” ujarnya sembari menunjukkan sebuah foto rekannya padaku.
“Apa yang aku dapat?”
“Kamu bisa bebas tinggal di sini secara legal. Akan aku urus semuanya untukmu.”
“Sampai berapa lama?”
“Selama yang kamu mau.”
“Sepakat!” tangan kami berjabatan. Satu simbol bahwa sebuah janji telah dibuat dan tidak dapat dibatalkan. Lagi, aku pulang dengan rokok mariyuana hasil proyek penyelundupan Udin.
*****
Aku duduk di kamarku sebagai privasi. Tak kusangka, baru beberapa hari menginjakan kaki di sini sudah ada kotak emas yang mendatangiku. Kotak emas yang diberikan oleh aparatur negara kepadaku. Salah satu pilar penegak hukum dan pengayom masyarakat malah menjadi cecunguk yang menghancurkan negaranya sendiri. Manusia memang hina, tapi aku terlalu cepat untuk beririsan dengan kehinaan negara ini.
Target sasaranku memiliki jabatan yang sama dengan Udin, bahkan dia beberapa kali melakukan tugas bersama Udin. Bisa dibilang, mereka adalah rekan kerja yang cukup dekat. Namun, Udin sendiri yang ingin aku membunuhnya karena penyelundupan narkoba yang dilakukan oleh Udin dan koleganya telah diketahui oleh rekan polisinya.
“Ibnu memang rekanku, tapi itu dulu. Sekarang dia adalah musuh terbesarku yang harus aku luluh lantahkan dan aku singkirkan dari bumi. Jika tidak, aku yang tersingkirkan dari jabatanku,”
“Kenapa kau tak melakukannya sendiri?”
“Melempar batu dengan tangan sendiri terlalu berisiko. Jika ada orang lain yang bisa melakukannya, mengapa tidak?”
Alasannya tak masuk akal. Seberapa besar risiko yang dia dapatkan, dia akan tetap selamat. Seharian penuh aku mencari tahu tentang aparat yang disebut polisi di negara ini dan aku menemukan banyak kebobrokan tentang mereka. Disfungsi telah menjadi bagian dari institusi ini. Tak akan ada yang berubah di kehidupan Udin jika dia membunuh Ibnu dengan tangannya sendiri. Justru dia akan mendapat lebih banyak dukungan atau bahkan kenaikan pangkat dari aksinya. Namun, Udin terlalu pengecut untuk melakukan itu semua. Dia benar-benar sampah yang tak berguna.
*****
Sabtu dini hari ketika Ibnu selesai mengantarkan anak perempuan satu-satunya untuk mencari baju wisuda, aku melancarkan aksiku. Menurut laporan dari Udin, anak tunggal Ibnu akan melangsungkan wisuda di Minggu depan. Itulah alasan mereka keluar hari ini, untuk melakukan fitting baju bersama. Udin memberiku pesan untuk tak melakukan aksi brutal dan mencolok karena jabatan Ibnu cukup penting di kepolisian. Namun, bukanlah diriku jika tak melakukan aksi brutal. Oleh karena itu, aku sengaja melakukan aksi ini setelah momen kehangatan keluarga yang mereka lakukan. Akan sangat menyenangkan jika anak perempuan satu-satunya yang hidup bagaikan tuan putri kehilangan ayahnya sebelum perayaan wisuda. Core memori yang mereka lakukan hari ini akan selamanya menjadi trauma dan menghantui setiap jengkal sisa hidup mereka. Tak apa untuk tak melakukan pembunuhan brutal. Melihat orang terdekat korban sengsara merupakan alternatif hiburan lain bagiku. Aku mulai bergerak sesuai rencana yang telah aku susun. Dan yap! Semuanya selesai begitu cepat bak kecepatan cahaya di ruang hampa.
Teriakan anak perempuan semata wayang pecah dengan darah melumuri pakaiannya. Ibu dari perempuan itu jatuh pingsan. Aku berharap dia terkena serangan jantung sehingga aku bisa menyaksikan perempuan itu mengakhiri dirinya sendiri atas berbagai nestapa yang menimpa hidupnya. Aku yakin, orang yang juga benci-iri dengki dengan hidup perempuan itu akan merasakan kesenangan yang sama seperti apa yang kurasakan.
Keesokan harinya, berita tentang terbunuhnya seorang perwira polisi bertebaran di media-media. Sesuai janji Udin, aku tak perlu untuk mengurus itu semua karena tugasku hanya cukup sampai merenggut jiwa. Orang yang bertanggung jawab untuk membereskan hiruk-pikuk setelahnya adalah Udin. Sesuai janji Udin pula, aku langsung mendapatkan izin bertempat tinggal secara legal keesokan harinya. Hidup memang menyenangkan jika benalu hilang dan hanya menyisakan simbiosis mutualisme.