Niat hatiku setelah membuang jauh-jauh pemaknaan bahwa aku baru saja mendapatkan gestur kurang mengenakkan dari orang Asia yang paling pertama berinteraksi denganku adalah meladeni perutku yang keroncongan. Pemikiran soal mencari rekan dan rumah mendadak tertimbun entah ke mana sebab perutku sepertinya juga turut merespon udara asing Tanah Jawa. Langkah-langkah tidak pasti terus aku keluarkan sampai setidaknya aku cukup jauh dari pelabuhan, meskipun hanya untuk menemukan diriku berdiri canggung di depan tikar-tikar para penjual ikan.
Pemikiran paling menyebalkan tentang ‘Bagaimana cara mengatakan bahwa aku sedang mencari tempat yang menjual makanan?’ mulai menghantuiku tatkala aku merasakan penjual-penjual itu mulai menatapku. Dengan bola mata besar mereka yang didominasi warna arang atau gelap kulit kayu, mereka seolah menantiku mengatakan sesuatu dengan kesabaran panjang, atau bahkan terlalu panjang. Sebab untuk beberapa menit ke depan, kecanggungan terus menggigit dan sebagai gantinya, aku membiarkan diriku larut ke dalam mata-mata kosong kepala ikan yang telah terpisah dari tubuh mereka dan wangi amis darah segar.
Akan tetapi, aku pikir kejadian ini benar-benar berlangsung sedikit terlalu lama karena aku merasakan tepukan ramah melingkar di pundakku, sekali lagi, tepukan ramah. Mungkin memang benar ketika internet mengatakan jika negara ini dikenal dengan masyarakatnya yang selalu hangat. Sebab sebuah cengiran lebar diikuti dengan wangi asam keringat dan aroma bawang yang menyengat kemudian dicicip seluruh indra di tubuhku. Mengantarkan kehangatan yang berbeda daripada sebagaimana matahari di langit Eropa selama ini.
“Hello, Mister!”
Tuhan, aksennya terdengar jauh lebih konyol daripada orang di pelabuhan tadi, tetapi suaranya yang sedikit terlalu nyaring dan kasar khas pemuda di pemukiman dekat pantai itu menyapaku dengan sangat tidak familiar. Aku lupa bahwa aku pernah mengenalnya, tapi itu sudah dahulu kala. Kebebasan yang murni. Seolah hidupnya jauh dari kata duka, mirip bunga aster di kebun belakang rumah bibi. Sapaan akrabnya memecahkan tidak hanya gemuruh lapar yang semakin nyata dalam perutku, tetapi juga pemikiran tidak berujung milik orang-orang di sekitar kami yang hampir saja membuat kepalaku berlubang. Aku tidak paham bagaimana harus merespons pemuda ini selain dengan tatapan terkejut dan tangan yang menggenggam tali ransel dengan semakin erat. Sepertinya dia menangkap gesturku sebagai pertanda aku merasa tidak nyaman dengan keramahtamahan yang sedang ditawarkan.
“Oh, maaf! Saya mencoba membantu karena saya kira Tuan ingin membeli ikan-ikan ini—nama saya Bilal, omong-omong—kembali ke pertanyaan pertama, apakah Tuan benar ingin membeli ikan?”
Ada kilat jenaka dalam matanya yang membuatku berjengit kebingungan sebab aku tidak ingat pernah bertemu sesuatu, seseorang, sedekat ini dengan hidup. Namun, setidaknya pemuda ini mampu mengalihkan perhatian orang-orang untuk kembali sibuk berlalu lalang dan meninggalkanku untuk sekali lagi berusaha keras mencerna makna dari bahasa asing khas aksen orang Asia.
“Saya tidak berniat membeli ikan. Nama kita hampir mirip.” Aku menjawab dengan ragu dan mengandung sedikit sarat keramahan di ujung lidah, persis menirukan gayanya berbicara.
Dia tampak senang ketika aku melakukan hal itu sebelum kembali bertanya, “Memang siapa nama Tuan?”
“Belial.”
“Sedikit sulit dieja, ya, tapi manusia di tanah ini toh lahir untuk jadi mudah terbiasa. Salam kenal, Belial. Selamat datang di Indonesia.” Ia menganggukkan kepalanya dengan mantap sebelum mengulurkan tangannya ke depan, seolah mengajakku untuk melipir ke tepian pasar dan perlahan menjauhi kerumunan.
Pasar ikan ini sebetulnya bukan pasar tempat orang biasa berbelanja untuk memasak di rumah, tapi lebih ke melayani penjualan ikan dalam jumlah yang besar. Biasanya untuk ikan-ikan yang berakhir diolah jadi makanan pabrik. Tentu saja semua ini Bilal yang menceritakannya padaku—dia benar-benar menceritakan banyak hal—aku mendadak merasa sedikit keberatan sebab aku menyadari kalau aku harus lebih menebalkan topengku sedikit lagi.
Bilal benar-benar mampu melihatku sebagai seorang manusia, turis asing dari Eropa yang terkendala bahasa sehingga hal yang pertama kali dilakukannya setelah turun dari kapal adalah memandangi ikan-ikan mati selama kurang lebih dua puluh menit. Hanya saja manusia tidak akan pernah bisa sepenuhnya memahami isi kepala satu sama lain, seperti Bilal yang tidak akan bisa mengira apa benar di kepalaku ikan-ikan itu memang betul ikan. Normalnya, kita melihat satu sama lain sebagai manusia sebab keyakinan yang bertumpuk membentuk realitas, realitas Bilal adalah melihat kami sebagai manusia. Realitasku? Entahlah, tapi yang pasti aku tidak datang ke sini untuk menjadi normal dan aku lupa kapan terakhir kali aku merasa menjadi manusia.
“Nah, sekarang, adakah yang benar-benar bisa saya bantu, Tuan?”
“Panggil nama saja.”
“Oh? Baiklah. Sejak saat Anda turun dari kapal, Belial, saya sudah menangkap sinyal kebingungan dari Anda. Itu cukup berbeda dari bagaimana biasanya seorang turis datang berkunjung,” Dia memberikan jeda ucapannya guna menghindari sebuah genangan air, “Anda datang ke sini bukan untuk liburan, kan?”
Dua pertanyaan sekaligus dalam satu kalimat panjang. Bahkan genangan air itupun tidak dapat membuatnya melupakan fokus topik sebelumnya yang dia bicarakan. Ini keramahan yang tidak biasa aku dapatkan, tapi diam-diam aku mulai merasa tidak keberatan dengan keakraban yang cepat ini. Sayang sekali, aku benar-benar tidak ada tenaga untuk merespon setiap perkataan dia dengan jawaban yang sedikit lebih ramah, sebab semakin lama semakin terasa juga panas terik matahari yang membakar kulit kepalaku itu.
“Tempat makan, Bilal. Saya sedang cari tempat makan, setelah itu saya akan cari rumah. Saya hampir tidak pernah berlibur. Saya datang karena saya ingin tinggal di sini.”
Tatapan Bilal berubah takjub sebelum ia berkata dengan suara yang tidak sekasar sebelumnya, “Maka sekali lagi, selamat datang.” Ia tersenyum hormat, “Saya pikir itu adalah keputusan yang baik.”
Aku pikir aku benar-benar tidak akan sanggup membiasakan diri untuk merasakan bagaimana kemanusiaan terjadi di tanah ini.
“Mari. Di ujung jalan sana ada warung sekaligus penginapan sederhana. Menetaplah barang sebentar, sebelum kembali menemukan apa yang Anda cari.”