Lompat ke konten

Prolog

Ilustrator - Salwa Azhira
Oleh: Ahmad Fazlur Rahman*

Selemah dan sekuat apa pun aku, tetap saja Eropa tak mau menerimaku. Ia merasa jijik, bahkan mendengar gemaung namaku saja seakan-akan membuatnya ingin memuntahkan seluruh isi perutnya. Padahal, aku si bijaksana. Membekali tubuhku dengan berbagai macam cerita yang aku bina entah serta-merta atau dengan bermacam-macam goresan luka terukir di tubuh dirinya. Namun, sekali lagi, Eropa telanjur tak sudi. Berkata dirinya sehidup semati, lebih baik aku ini dibuang ke Palung Mariana sedari aku belajar untuk berdiri.

Aku tak lantas menyalahkan Eropa. Mungkin, bunuh-membunuh yang aku lakukan sulit untuk dirinya terima dengan hati lapang nan terbuka. Aku sudah tidak ingat lagi berapa jiwa yang telah aku renggut dengan sebilah pisau bergerigi di saku celanaku ini. Pisauku sering bersimbah darah, tetapi aku selalu membersihkannya dengan baik hingga terus mengilap setiap harinya. Sampai akhirnya ia menyentuh tenggorokan korbanku yang ke dua puluh tiga. Tidak, ataukah tujuh puluh lima? Yang jelas, terakhir kali pisauku ini bercumbu dengan kulit dingin khas orang-orang Kaukasia, ia  diambil dan dirusak oleh tangan-tangan tak layak. 

Aku memilih untuk menyebrang samudra sebab berpindah jalan-jalan saja seolah-olah tak juga cukup. Aku rasa, sudah lima puluh kali aku mencoba untuk berganti nama dan berganti langit kota. Orang-orang tak layak itu selalu saja menemukanku. Mau tak mau, aku mengaku sedang mengambil jatah berkabung. Tiga bulan yang lalu adalah bibiku, tiga minggu setelahnya adalah kakekku, dan lima hari selanjutnya adalah adik perempuanku. Anehnya, mereka mudah sekali percaya, padahal bagaimana jika yang mengambil nyawa anggota keluargaku itu adalah diriku sendiri?

Aku dijuluki oleh kumpulan orang-orang tak layak sebagai Sang Perebut Jiwa. Terakhir kali, nama yang aku pakai untuk diriku sendiri adalah Belial Herzegova. Terdengar sangat Rusia padahal nyatanya aku tak pernah menginjakkan kaki apalagi tinggal di sana. Sebelumnya, mereka telah mengenalku dengan banyak nama dan jabatan. Mungkin, itu juga yang membuatku jadi buronan. Bisa-bisanya ada satu orang yang sempat menjadi pengacara, petinju, pelukis, dan guru les piano dalam satu tahun sekaligus? Aku ingin menyalahkan keadaan, tetapi aku juga mengaku bahwa aku memang mahir dan dilahirkan berbakat.

Aku mengenal salah seorang anggota dari orang-orang tak layak itu. Namanya Ivan. Aku sering bersinggungan dengannya ketika ia menyodorkan borgol besi berwarna hitam ke kedua tanganku. Orangnya sungguh kaku dan tak punya hati. Tatapan tajamnya terkadang membuatku takut untuk sekadar berbicara. Namun, jika tidak berargumen liar, aku pasti akan dijebloskan ke penjara. Makanya, sudah sering aku membohonginya. Tampaknya, ia menelan ucapanku mentah-mentah. Bahkan ketika aku bilang aku punya urusan di bumi Asia, ia tak bertanya lebih lanjut. Cukup dengan membawaku menaiki mobil biru putih dengan goresan kuning menyala, ia juga tak banyak mengeluarkan patah-patah kata.

Kapal pesiarku sudah menyentuh bibir pantai dari pulau yang bernama Jawa. Sejauh yang aku bisa pelajari dari internet, pulau ini terkenal cukup rampung dan padat penduduk. Negara ini juga dikenal ramah dengan masyarakatnya yang selalu hangat bahkan kepada orang-orang asing sejenisku. Salah satu langkah pertama yang harus aku lakukan setelah kakiku menyentuh daratan kota baru ini adalah mencari rumah yang bisa menjadi tempatku tinggal. Sulitnya, aku tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia. Sebelum mencari atap, mungkin aku akan mencari rekan terlebih dahulu saja.

Seluruh tubuhku bergesekkan dengan angin hangat segera setelah aku keluar dari tubuh kapal pesiar yang aku tumpangi. Jembatan menurun selebar tiga meter dijejalkan ke depan mataku, menungguku untuk menginjak-injaknya agar aku segera turun. Sembari menggendong sebuah tas ransel hitam putih, kulangkahkan dua kakiku dengan mantap seraya lubang hidungku menghirup udara asing yang masih belum begitu menerimaku. 

“Belial.. Herzegova?”

Lantunan lembut itu menyapa telingaku tiba-tiba. Aku menoleh cepat, mengarahkan kepalaku pada sumber suara yang berjarak tak jauh dari tempatku berdiri. Penyebutan dirinya terhadap namaku cukup buruk. Namun, haruskah aku mengeluh?

“Ya?” tanyaku balik pada seorang pria yang kelihatannya baru meninggalkan usia tiga puluh tahunan itu. 

“Oh, baik, Anda bisa segera meninggalkan pelabuhan.”

Tuturnya halus dengan aksen orang Asia khas miliknya. Hampir-hampir aku sulit mencerna kata-katanya jika saja aku tidak benar-benar pasang telinga. Ucapan dan gesturnya juga seakan-akan malah mengusirku. Namun, aku mengerti bahwa menerima laki-laki dengan rambut cokelat pirang dan warna mata yang senada dengan perairan laut Surabaya bukanlah hal umum di kalangan pekerja pelabuhan Indonesia seperti dirinya.

(Visited 3 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Psikologi FISIP UB angkatan 2022. Penulis aktif membuat karya khususnya puisi dan cerpen. Penulis saat ini menjabat sebagai pimpinan Divisi Sastra LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?