Judul: Gagal Menjadi Manusia
Penulis: Dazai Osamu
Cetakan Pertama: Maret, 2020
Penerbit: Penerbit Mai
ISBN: 978-623-7351-30-6
Jumlah Halaman: 156 hlm
“Hidupku penuh aib,” kalimat pertama pada catatan pertama yang mengawali cerita buku ini. Kalimat yang menggambarkan si tokoh utama. Hidupnya tak sama dengan manusia pada umumnya. Bagi tokoh utama, sangat sulit rasanya untuk menjadi manusia. Rasa takut dan gelisahnya akan manusia selalu ia bawa ke mana pun ia berada, tak memilih siapa-siapa yang ia temui. Konflik dalam pikiran dan batin tokoh utama merubah cara pandangnya terhadap manusia dan terhadap dunia. Semua terasa seakan-akan dunia merupakan tempat yang paling menakutkan dan menyeramkan. Ia tak lagi bisa melihat sisi positif yang ada. Semua yang ia lihat hanya sifat-sifat buruk manusia. “Aku melihat kebinatangan yang lebih buas daripada singa, … manusia yang sedang marah.” Begitulah cara dia melihat manusia.
Gagal menjadi manusia “Ningen Shikkaku” merupakan naskah terakhir yang ditulis oleh Dazai Osamu, nama pena dari Shuji Tsushima sebelum ia meninggal. Buku ini berlatar di Tokyo pada saat Perang Dunia II, yaitu sekitar tahun 1930-1935 M atau Showa tahun lima sampai sepuluh di Jepang. Buku ini mengisahkan tentang kehidupan seseorang yang dianggap tidak bisa menjadi manusia seperti yang lainnya. Terdapat tiga catatan dalam buku ini, disertai dengan prolog dan epilog. Meskipun tokoh utama dalam buku ini adalah Yozo, banyak orang berspekulasi jika buku ini merupakan kisah penulis itu sendiri. Ada beberapa kejadian yang memang terjadi pada kehidupan Dazai di dunia nyata, yaitu percobaan bunuh diri dengan menghanyutkan diri di sungai. Apapun desas-desusnya, tidak ada yang pernah tahu kebenarannya karena penulis meninggal di tahun yang sama ketika karyanya diterbitkan. Meski demikian, kisah Yozo sebagai seseorang yang gagal menjadi manusia merupakan sebuah cerita yang dikemas secara apik untuk setiap episode dalam hidupnya.
Beberapa orang merasa hampa setelah membaca buku ini. Bahkan ada yang sampai ke-trigger dan tak sanggup untuk menyelesaikannya. Ada juga orang yang merasa biasa-biasa saja pada saat membaca, maupun setelah membaca buku ini. Meskipun begitu, buku ini memang berisikan segala sesuatu yang gelap, kelam, dan suram dari kehidupan si tokoh. Penulis dengan apik menuliskan segala emosi yang dirasakan oleh tokoh utama secara detail. Perasaan-perasaan negatif tokoh utama terasa tersalurkan ketika saya menyelami dan tenggelam dalam buku ini. Namun, di bagian tertentu, penulis dengan sengaja memberi spoiler mengenai apa yang akan terjadi pada si tokoh di masa yang akan datang. Bagi orang-orang yang tidak suka dengan spoiler mungkin akan sedikit terganggu dengan gaya penyampaian penulis. Akan tetapi, penyajian alur maju dengan peristiwa yang tertata membuat saya penasaran dengan apa yang akan terjadi di depan sehingga lembar buku ini terasa sangat mudah untuk dibalikkan.
Setelah membaca hingga akhir bab, saya melihat arti dari gagal menjadi manusia. Yozo, tokoh utama, merasa gagal menjadi manusia karena dia tidak bisa menerima manusia dengan segala sifat baik-buruk yang mereka punya. Dia tidak bisa menjadi manusia yang benar-benar baik dan tidak menaruh curiga terhadap orang lain. Dia juga tidak bisa untuk marah dan mengekspresikan segala afek negatif yang ia punya. Dia merasa dunia itu menyeramkan dan menakutkan sehingga dia tidak bisa hidup di dalamnya. Itulah yang dirasakan Yozo sebagai Ningen Shikkaku. Di catatan ketiga, di akhir bab, dia menuliskan, “Akhirnya, aku sungguh-sungguh bukan manusia lagi”. Namun, semua itu hanyalah sudut pandang Yozo mengenai apa yang dia rasakan selama ini. Kenyataannya, cara pandang Yozo terhadap manusia dan dunia merupakan hasil dari pemikirannya sendiri. Sesuatu di kepalanya membentuk bayang-bayang persepsi yang menakutkan akan dunia yang dipenuhi oleh manusia. Pada akhirnya, pemikiran itu berpengaruh pada perilaku Yozo yang selalu berpura-pura dan menipu orang lain, padahal yang tertipu sebenarnya adalah dirinya sendiri. Dia tidak bisa menjadi diri sendiri dan selalu menyembunyikan perasaannya.
Yozo yang merasa gagal menjadi manusia sebenarnya hanyalah manusia yang terluka dan butuh pertolongan. Meskipun dia memiliki keluarga yang lengkap, dia tidak pernah merasakan kehadiran mereka. Yang ada hanyalah ada, tanpa sebuah makna. Dia juga tidak mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya. Sayang, Yozo telah hilang kepercayaan pada manusia. Dia menuliskan, luka yang dia miliki merupakan hasil perbuatan dari seseorang. Luka yang pada akhirnya mengantarkan dia pada jalan kematian. Dari cerita Yozo saya sadar bahwa dukungan sosial terutama dari orang terdekat, termasuk keluarga, sangat penting untuk seseorang, agar mereka bisa tetap stabil dan menjalani hidup sebagai manusia seutuhnya.