Sebuah kursi plastik melayang di udara malam itu. Bukan karena angin, tapi karena amarah. Di berbagai kampus Indonesia, ritual serupa berulang bagai lingkaran samsara: dua fakultas berseteru dalam tradisi “adu kejantanan” yang tak jelas asal-usulnya. Malam-malam tegang itu selalu sama: kerumunan mahasiswa dengan amarah yang membara, satpam yang mondar-mandir dengan kecemasan, dan mobil polisi yang mengintai di kejauhan.
Fenomena “permusuhan” semacam ini menggelitik saya untuk bertanya: Mengapa ruang akademik yang seharusnya menjadi tempat pertukaran gagasan justru berubah menjadi arena pertikaian? Lantas muncul keinginan untuk menelusuri akar permusuhan yang seolah laten ini.
Untuk membaca fenomena ini, kita perlu momen epoche; sejenak mengambil jarak, menangguhkan dulu persepsi awal, dan mulai berpikir. Kita perlu melakukan pembacaan yang lebih fundamental; tentang apa dan bagaimana hal ini terjadi, lantas membicarakan apa yang harusnya terjadi.
Meneroka Imaji Permusuhan Dalam Kehidupan Kampus
“Ex nihilo nihil fit,” tak ada yang muncul secara serta-merta dari ketidaan. Ketika kita mencoba membaca realitas, kata Berger, kita perlu memahami bahwa tak ada yang “alami” di ruang sosial. Kemunculan suatu fenomena yang kemudian dianggap alami (atau objektif) diawali dari suatu proses panjang interaksi. Berger menjelaskan bahwa manusia pertama-tama menciptakan dunia sosial melalui tindakan mereka (externalization), kemudian dunia sosial tersebut menjadi objektif dan tampak independen (objectivation), dan akhirnya realitas yang diciptakan ini diinternalisasi kembali ke dalam kesadaran individu, menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang dianggap “alamiah” (internalization).
Begitu pula tendensi permusuhan antar fakultas; ia tak natural. Sebelum permusuhan terbentuk, ada konstruk yang dibangun dan menarasikan seolah-olah ada ‘ilmu superior’ dan ‘ilmu yang inferior’. Ada imajinasi yang didengungkan secara terus menerus terkait dikotomi ini, yang menubuh dalam kehidupan sehari-hari. Imajinasi semacam ini pada akhirnya memunculkan bibit-bibit fasisme dan awal mula kekerasan epistemik (epistemic violence). Sekam-sekam kecil inilah yang sering kali menjadi bara dalam banyak konflik. Konflik antar fakultas yang kita lihat adalah bagian dari rantai panjang kekerasan simbolik yang telah tertanam di dalam sistem pendidikan kita.
Hal ini tidak hanya merusak hubungan antar individu, tetapi juga memperkuat sekat-sekat disiplin ilmu, mempersempit ruang gerak intelektual, dan mencegah kolaborasi lintas disiplin yang seharusnya menjadi nafas perjuangan dari pendidikan. Permusuhan antar fakultas, menyalakan api laten dalam kesadaran kolektif mahasiswa kita: sebuah mentalitas “kami versus mereka”—suatu mentalitas tak produktif dalam dunia akademik. Di balik semua kronik adu jotos, dan mitos tentang siapa yang “jantan”, terpampang nyata sebuah kegagalan kolektif untuk memahami bahwa universitas adalah ruang bagi dialog lintas ilmu, bukan “arena perang” yang memupuk dikotomi palsu antara ‘kami’ dan ‘mereka’.
Permusuhan semacam ini adalah sebuah ironi yang memperlihatkan betapa infantilnya mahasiswa yang seharusnya berada di garis depan perjuangan intelektual. Alih-alih menciptakan dialog produktif, mereka justru memperkuat sekat-sekat yang seharusnya diluluhlantakkan oleh ilmu itu sendiri. Alih-alih menjadi pionir dalam mencari solusi atas masalah-masalah kompleks yang dihadapi dunia, banyak mahasiswa kita terjebak dalam perseteruan yang seharusnya tidak ada.
Mereka gagal melihat bahwa konflik antar fakultas adalah bayang-bayang dari dunia luar yang sarat dengan persaingan dan hierarki sosial yang tak perlu. Mereka membiarkan dirinya terjebak dalam permainan kecil yang membesar karena ilusi superioritas.
Kampus Sebagai Teater Heterotopis: Brecht dan Efek Defamiliarisasi
Saya membayangkan kehidupan kampus sebagai sebuah panggung teater raksasa—mirip dengan yang digagas Erving Goffman dalam teori dramaturginya. Di atas panggung ini, setiap individu kampus—mahasiswa, dosen, hingga staf administratif—memainkan peran yang telah ditentukan oleh “naskah” sosial. Mereka bergerak dalam orbit yang telah digariskan, menjalankan “pertunjukan” sesuai ekspektasi masyarakat dengan begitu naturalnya.
Tak berlebihan rasanya jika kampus diibaratkan sebagai miniatur dari negara dan masyarakatnya. Analogi ini didasarkan pada bagaimana universitas berusaha mereplikasi realitas kehidupan nyata—dengan harapan mahasiswa dapat hidup di tengah-tengahnya pasca mendapat gelar sarjana. Namun yang barangkali dilupakan adalah: ketika kampus dibiarkan menjadi sekedar ‘cermin’ kehidupan nyata, maka tak akan ada perubahan yang dibawa; semuanya akan ter-reproduksi secara begitu saja.
Untuk mencegah hal tersebut terjadi, tak semua “pertunjukan” yang ditampilkan di dalam teater bernama kampus ini harus dijalankan seperti “biasa”. Diperlukan sesuatu yang lain, dan sesuatu yang lain itu adalah defamiliarisasi. Dalam konteks teater Brechtian[1], proses defamiliarisasi (Verfremdungseffekt), adalah upaya untuk memecah peran-peran yang dianggap natural, dan menyajikan teater dalam bentuk yang berbeda. Tujuannya adalah agar, para pemain dan penonton di dalam teater, tidak sekadar mengikuti naskah, tetapi mulai mempertanyakan dan mengkritisinya.
Verfremdungseffekt (efek defamiliarisasi) digunakan untuk memaksa penonton agar tidak terhanyut dalam emosi dan cerita yang ditampilkan di atas panggung, untuk menjaga jarak kritis terhadap apa yang mereka saksikan[2]. Kampus seharusnya berfungsi seperti teater Brechtian: ruang yang mendefamiliarisasi realitas, di mana mahasiswa tidak hanya mengulang pola-pola kehidupan nyata, tetapi juga mengkritisinya, memahaminya, dan—yang terpenting—melampauinya. Brecht ingin kita mempertanyakan kenyataan yang kita terima begitu saja, dan itulah yang seharusnya juga dilakukan oleh sistem pendidikan tinggi.
Universitas, dalam hal ini, tidak boleh hanya menjadi cermin pasif dari masyarakat. Ia harus berfungsi sebagai heterotopia, sebuah ruang alternatif di mana realitas sosial dapat dipertanyakan, dirombak, dan ditata ulang. Dalam hal ini, upaya defamiliarisasi kehidupan kampus dengan kehidupan nyata menjadi penting. Mahasiswa tidak boleh terjebak dalam logika fasisme epistemik yang hanya memperkuat segregasi fakultas dan hierarki intelektual.
Daripada hanya menjadi ajang “keren-kerenan” dan konflik horizontal superfisial semata—kampus sudah selayaknya menjadi ruang di mana sekat-sekat disiplin ilmu dirobohkan, dan menjadi ruang di mana para pemikir lintas bidang dapat bekerja sama; membangun narasi alternatif tentang dunia, pengetahuan, dan kehidupan.
Penutup: Melampaui Imaji, Sekali Lagi!
“Manusia tanpa harapan, dia mayat berjalan”― Y.B. Mangunwijaya, Burung-Burung Manyar
Ada sesuatu yang mengganggu ketika kita berbicara tentang masa depan pendidikan tinggi kita. Bukan sekadar tentang pertikaian antar fakultas yang menjadi simtom, tetapi lebih dari itu: sebuah krisis eksistensial yang menggerogoti inti dari apa yang kita sebut sebagai “universitas”. Kita melihat betapa mudahnya para mahasiswa terjebak dalam permainan identitas yang dangkal, seolah-olah keberadaan mereka hanya bisa ditegaskan melalui konfrontasi dengan “yang lain”.
Ironis rasanya melihat kita masih terjebak dalam pertarungan-pertarungan kecil; suatu ketidakdewasaan kolektif. Permusuhan antar fakultas adalah miniatur dari krisis yang lebih besar: fragmentasi pengetahuan di saat kita justru membutuhkan pendekatan holistik untuk menghadapi tantangan yang bersifat planetar. Universitas, dengan segala infrastruktur materil dan sosialnya, seharusnya menjadi ruang eksperimentasi ontologis—tempat di mana berbagai bentuk keberadaan dan pengetahuan bisa saling bersinggungan tanpa harus saling menihilkan.
Barangkali yang kita butuhkan adalah semacam “praktek kepedulian” (practice of care) baru dalam dunia akademik—kepedulian yang melampaui batas-batas disiplin, yang mengakui bahwa pengetahuan, seperti halnya kehidupan itu sendiri, berkembang melalui hubungan-hubungan yang kompleks dan saling bergantung. Yang kita perlukan bukanlah sekadar reformasi struktural atau kebijakan baru, melainkan transformasi mendalam dalam cara kita memahami dan menghidupi pengetahuan. Kita perlu membayangkan kembali universitas. Bukan sebagai kumpulan fakultas yang bersaing, tapi sebagai “ekologi pengetahuan” yang hidup—tempat di mana berbagai bentuk pengetahuan bisa tumbuh dan berkembang dalam dialog yang produktif.
Akhirnya, meski kita menyadari bahwa ada yang salah dengan pendidikan kita, tak bagus jika kita berhenti dan berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa. Tidak, kita tidak bisa hanya berdiri di tepi, menyaksikan senja egoisme yang melahap kita pelan-pelan dan diam-diam membunuh potensi intelektual. Kita harus melakukan sesuatu. Kita harus melampaui imaji-imaji palsu yang tertanam di benak kita. Dan hanya dengan demikian, kita bisa menghidupkan kembali api harapan yang lebih besar dari sekadar ilusi superioritas, dan menata ulang dunia dengan keberanian yang sama besar.
[1] Bertolt Brecht (1898-1956) adalah seorang dramawan, penyair, dan sutradara teater asal Jerman yang dikenal karena pendekatannya yang revolusioner terhadap teater, yang kemudian dikenal sebagai Teater Epik atau Teater Brechtian. Brecht menolak gaya teater tradisional yang berusaha menampilkan ilusi realitas dan membiarkan penonton terhanyut dalam cerita. Sebaliknya, ia ingin penonton tetap sadar bahwa mereka sedang menonton sebuah pertunjukan.
[2] Brecht menggunakan teknik-teknik seperti menghentikan alur cerita, menggunakan narator, atau berbicara langsung kepada penonton (breaking the fourth wall) untuk mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka saksikan adalah konstruksi artistik yang dirancang untuk menyampaikan pesan, bukan cerminan dari realitas.