Malang, PERSPEKTIF — Ratusan massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Mahasiswa, Pelajar, dan Rakyat Malang Raya (GEMPAR) menggelar aksi simbolik di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang, pada Jumat (07/02). Bertajuk “Menyikapi Kebijakan Serampangan,” aksi ini menjadi kritik terhadap 100 hari kerja pemerintahan Prabowo-Gibran yang dinilai kurang pro-rakyat.
Sebagai bentuk protes, massa aksi mengawali demonstrasi dengan aksi tiarap sebagai simbol ketidakberdayaan rakyat akibat kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat. Selain melakukan aksi tiarap, massa aksi juga melakukan aksi simbolik lain. Salah satunya adalah pertunjukan teaterikal yang menggambarkan situasi ketimpangan sosial dan dampak kebijakan yang mereka kritik. Di sela-sela orasi, massa aksi juga melakukan aksi memunggungi aparat kepolisian dan TNI, yang merepresentasikan pemerintah, sebagai simbol kekecewaan terhadap negara yang selama ini dianggap selalu ‘memunggungi’ rakyat.
Dalam aksi tersebut, massa aksi menyampaikan tujuh tuntutan utama dan satu tuntutan tambahan yang mencakup berbagai isu strategis. Pertama, mendesak penghapusan program transmigrasi di seluruh Indonesia, serta menuntut pemerintah menarik seluruh perusahaan dan militer dari Papua, demi hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Kedua, menuntut revisi RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan yang dinilai tumpang tindih dan mengancam independensi hukum di masyarakat. Ketiga, menuntut kepastian hak tanah bagi eks pengungsi Timor-Timur, bersama dengan desakan kepada Bank Pembangunan Jerman (KfW) untuk menghentikan pendanaan transisi energi di Indonesia, serta menolak Pulau Flores dijadikan kawasan geothermal.
Tuntutan keempat yaitu, penghentian kekerasan terhadap perempuan dan optimalisasi lembaga perlindungan perempuan. Kelima, mendesak DPR agar tetap berada dalam koridor institusionalnya dengan menolak revisi kebijakan tata tertib DPR Nomor 1 Tahun 2020. Keenam, menolak upaya komersialisasi perguruan tinggi melalui izin usaha tambang. Terakhir, menuntut pendidikan dan kesehatan gratis sebagai bentuk perlindungan hak dasar seluruh rakyat Indonesia. Sebagai tuntutan tambahan, massa aksi meminta pengawalan distribusi dan stabilisasi bahan pangan pokok, terutama gas LPG di Kota Malang.
Muqaffi Ahmad Arsyah, selaku Koordinator Lapangan dari GEMPAR, menjelaskan bahwa dalam aksi kali ini tidak ada tuntutan yang lebih ditonjolkan. Ia menegaskan bahwa semua tuntutan yang dibawakan memiliki bobot yang sama dan harus diperjuangkan secara setara.
“Pastinya semua tuntutan sama. Semua tuntutan sama pentingnya, karena setiap negara itu wajib berdemokrasi. Bagi saya itu,” tutur Arsyah (07/02)
Aksi ini ditutup dengan dialog bersama Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita. Setelah melalui proses tanya-jawab, Amithya akhirnya menandatangani poin tuntutan yang diajukan massa aksi. Ia berjanji akan membawa isu ini ke tingkat nasional.
Meski demikian, Arsyah, menyatakan bahwa aksi ini tidak akan berhenti begitu saja. Ia dan Aliansi GEMPAR, akan terus melakukan pengawalan secara bertahap terhadap tuntutan yang telah disampaikan.
“Jadi mungkin nanti kami akan mengawal semua tuntutan-tuntutan yang kami bawa untuk sampai ke nasional. Ke Jakarta. Kalaupun mereka (DPRD, red.) tidak mau melakukan hal itu, ya saya dengan kawan Gilang (Koordinator BEM Malang Raya, red.) mungkin akan melakukan revolusi lagi dan kami akan terus turun, karena ini persoalan negara,” pungkasnya.
(hr)