Pelecehan adalah masalah yang telah meresap secara signifikan dalam masyarakat dan kehidupan sosial. Tindakan pelecehan menciptakan lingkungan yang mengintimidasi, memusuhi, dan merendahkan martabat individu. Secara umum, pelecehan dapat dibagi menjadi beberapa kategori utama: verbal, non-verbal, fisik, dan seksual (Jannah, 2021).
Pelecehan verbal melibatkan penggunaan kata-kata atau suara yang menyinggung, seperti ejekan, hinaan, atau ancaman. Sedangkakn pelecehan non-verbal mencakup gerak tubuh, ekspresi wajah, atau tindakan tanpa kata-kata yang mengganggu atau mengancam. Pelecehan fisik sendiri melibatkan kontak fisik yang tidak diinginkan, mulai dari sentuhan ringan hingga serangan fisik. Sementara itu, pelecehan seksual merujuk pada perilaku seksual yang tidak diinginkan, baik dalam bentuk verbal, non-verbal, maupun fisik.
Dengan maraknya pelecehan di berbagai sektor, termasuk layanan kesehatan, pendidikan, dan layanan publik, terdapat kebutuhan mendesak akan kebijakan dan tindakan yang efektif untuk mengatasi masalah ini. Pelecehan tidak hanya lazim tetapi juga tertanam kuat dalam berbagai instansi maupun kelembagaan pemerintah. Sebagai contoh, sebuah penelitian yang dilakukan di Ghana mengungkapkan bahwa pelecehan di kalangan perawat memiliki dampak yang merugikan terhadap kesehatan mental dan kinerja profesional mereka, yang menyebabkan meningkatnya tingkat ketidakhadiran dan pergantian (Mohammed, 2024).
Selain itu, pendekatan manajemen dalam menangani keluhan terkait pelecehan dapat mempengaruhi keputusan korban untuk tetap berada di posisi mereka atau mencari bantuan hukum. Hal ini menyoroti perlunya organisasi pemerintah untuk menerapkan kebijakan anti-pelecehan yang kuat, mencakup mekanisme pelaporan yang jelas dan sistem dukungan untuk korban.
Namun, bagaimana jika pelecehan ini dilakukan oleh mereka yang ‘memberikan’ pelayanan dalam masyarakat?
Mengungkap Bobroknya Instansi Pemerintah
Pelecehan verbal yang dilakukan oleh penyedia layanan publik, seperti pegawai Dinas Sosial, merupakan pelanggaran serius terhadap kepercayaan masyarakat dan integritas institusi. Kasus pelecehan verbal yang terjadi di forum formal di salah satu kantor pemerintah daerah di Nusa Tenggara menjadi contoh nyata.
Kata-kata seperti “lelaki yang tidak cukup hanya ‘menggunakan’ satu wanita”, menganggap wanita adalah sebuah barang yang bisa diganti dengan mudah dan murah, serta unsur-unsur pelecehan lainnya. Kata-kata bersifat merendahkan bahkan ‘menjijikan’ yang terlontar dari mulut pegawai dinas sosial tersebut menunjukkan kurangnya moral dan etika dalam menjalankan kewajiban sebagai penyedia layanan publik. Lebih memprihatinkan lagi, pelaku tampaknya merasa tidak perlu menjaga etika karena merasa memiliki wewenang sebagai pegawai pemerintah. Sikap seperti ini sangat bertentangan dengan tanggung jawab mereka sebagai pelayan masyarakat. Ungkapan merendahkan yang dilontarkan menunjukkan penyalahgunaan wewenang yang meresahkan, di mana individu yang seharusnya melayani dan melindungi masyarakat justru mengeksploitasi posisi mereka untuk kepentingan pribadi yang tidak etis.
Tanggapan hukum terhadap kasus semacam ini seharusnya tegas dan tanpa kompromi. Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum sering menghadapi tantangan. Stigma sosial dan ketidakpercayaan terhadap kesaksian korban kerap mempengaruhi sikap penegak keadilan. Selain itu, adanya hierarki birokrasi dan potensi intervensi politik dapat mempersulit proses penyelidikan dan penuntutan. Kasus-kasus seperti ini seringkali diselesaikan secara internal, dan adanya “code of silence” atau budaya tutup mulut di kalangan institusi dapat mempersulit proses pengungkapan dan penuntutan kasus-kasus seperti ini, yang pada gilirannya melanggengkan budaya impunitas.
Kesimpulannya, pelecehan verbal yang dilakukan oleh pegawai Dinas Sosial terhadap masyarakat yang dilayaninya adalah bentuk pengkhianatan terhadap mandat publik yang tidak dapat ditoleransi. Sebagai mahasiswa dan masyarakat yang merasa tidak mampu mengubah struktur dalam birokrasi Dinas Sosial, kita dapat memanfaatkan media untuk mengekspos kasus-kasus semacam ini dan mendorong akuntabilitas institusi publik. Untuk pemangku kepentingan, pelatihan mengenai sensitivitas gender dan etika pelayanan publik di lembaga pemerintahan sangatlah penting. Selain itu, kampanye edukasi masyarakat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak mereka serta cara melaporkan pelecehan tanpa rasa takut akan pembalasan.