Lompat ke konten

Menguji Kepatuhan Moral dan Etika Melalui Fraud

Ilustrasi: Anggi
Oleh: M. Abdul Rahman*

Ketika mendengar kata “fraud”, sebagian besar dari kita mungkin langsung terbayang dengan kecurangan keuangan yang merugikan perusahaan atau organisasi. Namun, fraud bukanlah sekedar manipulasi angka atau penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan finansial. Di balik tindakan tersebut, ada dampak yang jauh lebih besar, yakni runtuhnya moral dan etika yang seharusnya menjadi pondasi setiap individu dan institusi.

Dalam beberapa dekade terakhir, kita telah menyaksikan berbagai skandal besar yang mengguncang dunia korporasi, beberapa diantaranya ialah kasus Arthur Andersen. Skandal ini tak hanya mencerminkan penyimpangan keuangan, tetapi juga menunjukkan betapa lemahnya batasan etika yang seharusnya dijaga oleh para profesional yang terlibat. Reputasi besar dan kepercayaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun hancur dalam sekejap mata, karena hilangnya kepatuhan terhadap prinsip moral dan kode etik.

Kasus semacam ini malahan menuntut kita untuk merenungkan kembali, mengapa para profesional yang sudah memiliki segalanya– pendidikan, penghasilan yang layak, dan status sosial– masih tergoda untuk melakukan fraud? Apakah hanya faktor ekonomi yang mendorong mereka, atau ada kepuasan lain yang tak kasat mata? Melalui tulisan ini, saya akan mengajak anda untuk melihat fraud tidak hanya dari segi teknis, tetapi juga dari perspektif moral dan etika yang lebih luas.

Kasus Arthur Andersen (Enron)

Bagi para mahasiswa, peneliti, akademisi, dan profesional di bidang akuntansi, keuangan, dan legal, tentunya tidak asing dengan skandal yang dilakukan oleh firma akuntansi keuangan ternama, Arthur Andersen (AA). Reputasinya yang disejajarkan oleh firma akuntansi berkelas lainnya seperti PricewaterhouseCoopers (PWC), Ernest & Young (EY), Deloitte, dan Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG), dahulu dikenal publik sebagai big five (5 Firma Akuntansi terbesar di dunia). Bagaimana tidak? Dengan reputasi sebesar itu, seharusnya AA mampu menjaga serta meningkatkan kembali daya persaingannya dengan firma lainnya yang tergabung dengan jajaran big five.

Namun apa daya, di tahun 2002, firma sebesar Arthur Andersen, membuat sebuah kesalahan fatal yang berdampak terhadap kredibilitas, integritas, dan kualitasnya sebagai perusahaan jasa yang bereputasi. Petaka itu bermula saat Enron, sebagai perusahaan yang bergerak dan berfokus pada sektor pertambangan, minyak bumi, gas alam, dan panas bumi, berusaha melakukan fraud yang cukup ekstrim dengan cara melakukan earning management yang sangat agresif. Teknik yang digunakan adalah melakukan income maximization dan decreasing payable. Enron berusaha untuk menyulap laporan agar terlihat indah di mata investor dan publik dengan cara berusaha untuk meningkatkan dan manajemen laba dengan sifat yang cukup agresif tanpa mempertimbangkan rasio kewajiban yang masih dimiliki. Alih-alih terlihat seolah perusahaan sehat, para analis kemudian mengamati bahwa pencatatan laporan tersebut tidak masuk di akal.

Celakanya, tidak hanya sampai disitu, Enron melakukan sebuah skema partnership yang dikenal dengan “special purpose vehicle” yang bertujuan untuk memonopoli perdagangan dengan “kawan-kawan” bisnis mereka yang tergabung dalam bentuk konsorsium tersebut. Sederhananya, kongsi dagang tersebut dibentuk untuk meningkatkan laba mereka secara komprehensif dengan maksud agar Enron dapat membentuk citra publik sebagai perusahaan yang sehat secara finansial. Namun, sialnya, manajemen Enron tidak mengungkapkan kongsi dagang atau bentuk partnership mereka kepada para pemegang saham atau otoritas jasa keuangan mereka (Security Exchange Commission) yang memiliki fungsi sebagai Lembaga tertinggi untuk melakukan pengawasan bagi perusahaan publik yang terdaftar di Amerika Serikat.

Arthur Andersen, yang ditunjuk oleh Enron, sebagai auditor eksternal tidak mampu menunjukkan segi profesionalitas mereka sebagai Firma yang memiliki kredibilitas dan gagal menjunjung tinggi kode etik profesi yang dimiliki sebagai Akuntan yang profesional. Arthur Andersen malah terlibat secara langsung, untuk menyulap, menata, dan memoles, laporan keuangan yang amburadul tersebut, sesuai dengan keinginan para manajemen dan direksi di dalamnya. Bukan hanya itu, setelah dilakukan investigasi panjang, diketahui bahwa Arthur Andersen ternyata melakukan manipulasi tersebut selama 7 (tujuh) tahun lamanya. Di jangka waktu yang panjang tersebut, publik telah dibohongi oleh para profesionalitas berkedok Akuntan yang melaksanakan tuntutan klien tanpa berpegang teguh terhadap kredibilitas, integritas, dan kode etik yang menjadi panutan bagi seorang atau sekelompok Akuntan profesional yang telah disumpah secara jabatan.

Penelitian Steven Dellaportas (Elsevier) – Conversation with Inmate Accountants : Motivation, Opportunity, and the Fraud Triangle

Beberapa bulan lalu, ketika saya sedang melakukan riset terhadap tugas perkuliahan, saya menemukan sebuah Jurnal Investigasi yang cukup menarik, tentunya bukan sembarang Jurnal, karena riset tersebut terindeks oleh Scopus. Riset penelitian yang berjudul tentang “Conversation with Inmate Accountants : Motivation, Opportunity, and the Fraud Triangle” menurut saya sangat layak untuk dibahas dan disebarkan kepada semua orang, terutama bagi para pemegang kuasa bahwa adanya tindakan fraud itu tidak hanya berdasarkan faktor ekonomi saja, namun ada pula faktor kepuasan di dalamnya.

Steven Dellaportas (2013), menjelaskan di dalam penelitiannya, bahwa dia telah meriset hampir 2 sampai 3 tahun lamanya, untuk melakukan in deep conversation kepada para narasumber yang memiliki kriteria yang layak untuk dimintai keterangan, siapa lagi kalau bukan para Akuntan yang sedang dalam masa hukuman di dalam penjara. Disebutkan di dalam hasil penelitiannya, bahwa Akuntan yang sengaja atau tidak sengaja melakukan fraud, diketahui terbagi atas beberapa golongan. Mereka yang melakukan karena terpaksa yang disebabkan adanya faktor lingkungan, mereka yang melakukan karena adanya faktor ekonomi yang mendesak, serta mereka yang melakukan karena adanya kepuasan batin, bahkan ada beberapa Akuntan yang melakukan hal tersebut karena ingin menjatuhkan pimpinan atau kliennya yang dianggap sebagai penghalang mereka dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang profesional.

Dan, faktanya, sebagian besar dari mereka telah mengetahui apa resiko yang nantinya akan dihadapi apabila mereka terbukti secara sah melakukan tindakan fraud yang tentunya tidak hanya merugikan dirinya sendiri namun adanya potensi merugikan perusahaan dan merugikan negara. Dellaportas, dalam investigasinya menjelaskan bahwa, para Akuntan tersebut, sadar betul tindakan yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk ekspresi kepuasan atau bahkan ekspresi protes yang tidak dapat diutarakan langsung kepada rekan atau pimpinan mereka, karena adanya motif-motif tertentu, seperti yang saya jelaskan di awal, hanya pelaku dan Tuhan sendiri-lah yang tahu apa motif mereka. 

Kesimpulan

Membahas tentang fraud, tentu membutuhkan pembahasan yang panjang. Berbicara tentang fraud, sekali lagi, bukan tentang kecurangan keuangan semata, namun ada hal yang lebih besar di dalamnya. Runtuhnya dinding moral dan etika di dalamnya. Kita sadar dan tahu sendiri, bahwa pelaku fraud merupakan orang-orang yang profesional, memiliki pendidikan tinggi, dan tentu secara penghasilan sudah bisa dikatakan mampu dan proper secara keuangan, namun apa yang masih salah dan keliru ?

Sama halnya seperti saat ini, hukum dikangkangi, konstitusi diabaikan, keadilan semakin tumpul ke bawah. Saya pun tidak heran dengan kondisi-kondisi yang terjadi atas hal tersebut.

Dari contoh kasus yang saya bahas diatas, dapat kita pahami sendiri bahwa para pelaku memiliki motif yang berbeda-beda tergantung dengan kondisi yang terjadi di lingkungannya masing-masing. Andaikan, secara moral mereka mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, tentu kemampuan dan keahlian mereka dapat berguna dengan baik.

Tapi apa daya, meskipun regulator telah membentuk sebuah peraturan yang dapat dijadikan dasar untuk menghukum mereka yang melanggar, para pelanggar itu pun toh akhirnya tetap melakukannya juga, dan bahkan kebanyakan dari mereka harus berakhir di jeruji besi hanya karena moral dan etika mereka yang sudah hilang dan runtuh.

(Visited 35 times, 1 visits today)
*) M. Abdul Rahman saat ini merupakan Mahasiswa Program Doktoral Finance - Universitas Brawijaya dan berprofesi sebagai Konsultan Pajak dan Dosen Keuangan dan Perpajakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?