Lompat ke konten

Potret Wanita Indonesia dalam Jeruji Kecantikan Asia Timur

Ilustrasi: Nazwa
Oleh: Ryenk Retno Jayanti*

Tubuh dan wajah wanita di era sekarang ini tak dapat disangkal sering dianggap sebagai komoditas belaka dalam industri kecantikan. Industri kecantikan memegang kendali atas terbentuknya persepsi dan standar kecantikan dalam masyarakat. Ketika suatu tren make-up dan skincare muncul di suatu tempat, tren tersebut dengan cepat menjangkau tempat lain. Padahal seharusnya tren kecantikan memiliki kiblatnya masing-masing.

Saat ini, industri kecantikan cenderung berkiblat pada standar kecantikan Asia Timur. Kulit putih bersih, rambut lurus, hidung mancung, tubuh yang langsing layaknya model adalah standar kecantikan yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia sekarang. Lantas, apa yang salah dari hadirnya standar kecantikan tersebut? Standar kecantikan Asia Timur pada kenyataannya tidak sesuai dengan karakteristik wanita Indonesia. Wanita Indonesia, dengan berbagai suku budaya dan ras, memiliki karakteristik kulit yang bervariasi, dari kuning langsat hingga sawo matang, mata sipit hingga besar, rambut bergelombang hingga lurus, serta tinggi badan dan bentuk tubuh yang berbeda. Bahkan, karakteristik antara wanita Aceh dan Papua sangatlah berbeda. Sehingga standar kecantikan yang berlaku di Aceh tidak seharusnya diterapkan di Papua, begitu pula sebaliknya.

Apabila karakteristik wanita Indonesia dibandingkan dengan standar kecantikan di Asia Timur yang mengutamakan tubuh ramping dengan tipe jam pasir, hidung kecil tapi mancung, wajah kecil, dan  kelopak mata ganda, maka itu berbanding terbalik dengan karakteristik wanita Indonesia yang beragam. Memaksakan standar tersebut untuk semua wanita Indonesia tidak akan menghasilkan hal baik. Perbedaan karakteristik kulit wajah dan tubuh masyarakat Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dengan Asia Timur dipengaruhi oleh faktor geografis. Perbedaan iklim di antara kedua kawasan tersebut menjadi acuan bahwa standar kecantikan Asia Timur tidak sesuai dengan Asia Tenggara, terutama Indonesia.

Namun, perkembangan teknologi memungkinkan budaya luar masuk ke Indonesia dengan mudah. Sayangnya, filterisasi kebudayaan gagal menyaring masuknya standar kecantikan Asia Timur ke Indonesia. Penyisipan standar kecantikan Asia Timur sering dilakukan melalui produk budaya mereka, seperti tayangan drama yang mudah diakses masyarakat Indonesia. Terpaparnya masyarakat dengan tayangan tersebut membuat mereka terbiasa dan menormalisasi cara pandang Asia Timur terhadap kecantikan.

Peran media dalam membentuk persepsi masyarakat Indonesia mengenai standar kecantikan tidak bisa diabaikan. Elisabeth Noelle-Neumann dalam Teori Spiral of Silence menjelaskan bahwa media berpengaruh besar dalam membentuk persepsi masyarakat Fazatin (2021:48). Media menunjukkan opini mayoritas dan minoritas. Dalam kasus ini, media menayangkan tayangan yang menormalisasi standar kecantikan Asia Timur, terlihat dari berbagai iklan make-up dan skincare dengan bintang iklan berkulit putih porselen.

Banyak dampak positif dari iklan make-up dan skincare, seperti meningkatnya kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya merawat kulit wajah dan tubuh. Iklan produk kecantikan Asia Timur sering menampilkan bintang iklan dengan kulit sehat, memberikan motivasi kepada masyarakat Indonesia untuk merawat kulit mereka.

Namun, wanita Indonesia tidak hanya termotivasi, tetapi juga terobsesi untuk mencapai kecantikan seperti dalam iklan. Mereka rela menjalani banyak perawatan wajah dan kulit, seperti sedot lemak hingga operasi plastik. Tayangan televisi yang semakin marak menggambarkan standar kecantikan Asia Timur memperburuk situasi ini. Frank Jefkins (1997) menyatakan bahwa iklan adalah pesan yang ditujukan untuk mempersuasi individu membeli barang. Penggambaran iklan tidak akan dipermasalahkan apabila juga menampilkan bintang iklan dengan karakteristik kulit Indonesia. Namun, banyak produk kecantikan Asia Timur tidak menyediakan make-up dengan shade warna yang sesuai dengan kulit masyarakat Indonesia, terutama concealer, foundation, dan cushion yang seringkali hanya menyediakan shade warna terang.

Dunia menuntut wanita untuk merawat dan merias diri dengan baik. Namun, industri kecantikan dan persepsi masyarakat menahan wanita untuk mewujudkannya. Produk make-up dengan shade warna terang yang beredar di pasaran seharusnya tidak menjadi satu-satunya pilihan. Wanita dengan warna kulit gelap juga berhak merawat dan merias diri tanpa harus menyesuaikan dengan produk yang tidak ditujukan untuk mereka.

Secara tidak langsung, merek-merek skincare dan make-up tersebut berusaha menormalisasi standar kecantikan yang berpatokan pada ciri kulit putih porselen. Ini ditemui dalam iklan POND’S White Beauty yang secara terang-terangan menyatakan bahwa produk mereka berfokus untuk memberikan efek kulit wajah yang lebih putih layaknya kulit masyarakat Korea Selatan. Ini dapat membentuk persepsi bahwa keindahan dan penampilan menarik seseorang lebih sering diasosiasikan dengan kulit putih cerah dan bahwa warna kulit tersebut dipandang lebih baik dan bisa diterima masyarakat luas dibandingkan warna kulit asli masyarakat Indonesia itu sendiri (Arsitowati, 2017:91) .

“Beauty is pain” adalah istilah yang relevan ketika wanita berlomba-lomba menyesuaikan diri dengan standar kecantikan yang ada. Media massa mendukung hal ini, dengan banyak iklan produk yang menawarkan suplemen diet untuk wanita, tidak didasarkan pada alasan kesehatan tetapi untuk menggambarkan bahwa tubuh langsing lebih disukai masyarakat. Wanita sering rela melakukan diet ketat karena merasa berat badan mereka yang ideal masih dinilai berlebihan.

Lingkungan patriarki juga mempengaruhi munculnya standar kecantikan. Naomi Wolf dalam “The Beauty Myth” (2002:10) menjelaskan bahwa mitos kecantikan yang dipengaruhi budaya patriarki adalah kecantikan dari luar diri wanita, dipengaruhi penampilan fisik seperti kulit putih dan tubuh berlekuk sempurna. Mitos kecantikan ini mempengaruhi persepsi masyarakat, menciptakan stereotip negatif bagi mereka yang tidak memenuhi standar tersebut.

Masyarakat Indonesia secara tidak langsung turut membentuk dan menyebarkan persepsi mengenai standar kecantikan tersebut. Tidak jarang ditemui mereka dengan mudahnya mengejek seseorang dengan warna kulit, bentuk rambut, hingga cara berpakaian yang berbeda. Sudah seharusnya masyarakat menahan diri dan tidak mengomentari hal-hal terkait orang lain, karena itu membentuk perilaku tidak baik dan membuat orang lain merasa rendah diri.

Keberagaman masyarakat Indonesia seharusnya menyadarkan kita bahwa standar kecantikan dari negara lain tidak cocok diterapkan di sini. Wanita rentan mengalami diskriminasi kecantikan yang tidak cocok diterapkan di Indonesia. Standar kecantikan yang membuat seseorang merasa rendah diri dan memaksa menyesuaikan dengan standar orang lain, melakukan hal ekstrem, dan tidak bisa mengekspresikan diri adalah standar yang tidak seharusnya dianut wanita Indonesia. Wanita adalah makhluk yang merdeka dan seharusnya menentukan apa yang terbaik bagi diri sendiri tanpa terikat standar yang membelenggu.

Standar kecantikan tidak bisa mendefinisikan wanita. Wanita adalah lambang kecantikan itu sendiri.

(Visited 195 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi 2023 FISIP Universitas Brawijaya dan staf magang Divisi Litbang LPM Perspektif

1 tanggapan pada “Potret Wanita Indonesia dalam Jeruji Kecantikan Asia Timur”

  1. Tulisan yang Cerdas dan dikaji secara ilmiah,
    Memang Kecantikan itu milik semua perempuan di dunia ini dan tidak seharusnya kita berkiblat dan mengekori sebuah trend, Karena kita wanita bisa cantik dan menarik menurut versi diri kita masing masing ????????
    Teruslah menuliskan realitas sosial disekitar kita yang terkadang tidak dan belum dipikirkan oleh orang lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?