Malang, PERSPEKTIF – Dalam beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan seksual di kampus semakin sering terjadi, menggarisbawahi kebutuhan mendesak dilaksanakannya sistem pencegahan dan penanganan yang lebih efektif. Masalah ini tidak hanya mencakup kejahatan fisik, tetapi juga trauma psikologis yang dialami korban serta tanggung jawab institusi pendidikan tinggi dalam melindungi mahasiswanya.
Universitas Brawijaya (UB) sendiri turut mengalami peningkatan kasus kekerasan seksual, yang melibatkan bukan hanya mahasiswa, tetapi juga individu lain yang terikat dengan kampus. Salah satunya adalah insiden catcalling oleh pekerja bangunan di daerah Jalan Watu Gong yang telah diliput oleh Tim Perspektif pada berita “Diduga Sering Lakukan Catcalling, Pekerja Proyek UB Dinilai Ganggu Kenyamanan Mahasiswi”.
Maraknya kasus kekerasan seksual yang dialami mahasiswa UB memunculkan pertanyaan terkait upaya pencegahan dan penanganan yang dilakukan oleh Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Perundungan (ULTKSP) pada tingkap fakultas maupun Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di tingkat universitas sesuai dengan Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021.
Wakil Rektor (WR) III Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kewirausahaan Mahasiswa, Setiawan Noerdajasakti menyampaikan bahwa secara aturan, pihak kampus sudah memenuhi Permendikbud dengan menindaklanjuti Peraturan Rektor (Pertor) Nomor 70 Tahun 2020.
“Aturannya menteri juga sudah kita tindaklanjuti dengan membentuk Satgas PPKS. Aturannya rektor juga sudah ditindaklanjuti dengan membentuk ULTKSP, kemudian di tingkat universitas ada Kasubdit (Kepala Subdirektorat Pusat Konseling, Pencegahan Kekerasan Seksual dan Perundungan, red) yang menangani itu,” jelasnya, Senin (14/5).
Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual di Dalam Kampus
Lebih lanjut, Setiawan menyampaikan bahwa pihak kampus telah melaksanakan upaya preventif melalui sosialisasi terkait pencegahan perundungan dan kekerasan seksual yang disampaikan pada masa Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) baik di tingkat universitas maupun fakultas.
“Sejak PKKMB di Samanta Krida kan ada porsi waktu khusus untuk menyampaikan materi terkait dengan perundungan dan kekerasan seksual,” terangnya.
Hal sejalan disampaikan oleh Hemalia Kusumadewi, Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi Satgas PPKS bahwa upaya pencegahan sudah mereka lakukan dengan psikoedukasi secara rutin satu hingga dua kali dalam setahun, baik melalui materi, webinar, poster, dan secara online.
“Psikoedukasi ini kita lakukan secara rutin, setidaknya satu atau dua kali dalam setahun. Poster-poster psikoedukasi biasanya kita sudah sebar ke beberapa fakultas, teman-teman bisa lihat beberapa poster, misalnya speak out, atau stop kekerasan seksual di UB, itu ada di fakultas, kemudian bisa dispot,” jelas Hemalia (13/5).
Penanganan Terhadap Kasus Kekerasan Seksual
Selain upaya pencegahan, upaya penanganan perundungan dan kekerasan seksual juga disosialisasikan. Koordinator Divisi Administrasi Satgas, Dehleezto Lawangkara Safrudin Bendang, menyampaikan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual memerlukan pengumpulan bukti dan pemberian layanan psikologis kepada pelaku dan penyintas. Kemudian, terdapat asesmen yang ditujukan untuk mendapatkan keterangan yang jelas dan memastikan keakuratan informasi. Jika keterangan masih kurang, asesmen akan dilakukan beberapa kali sesuai kebutuhan kasus.
“Apabila terdapat beberapa keterangan yang belum atau masih kurang, itu akan ditanyakan di asesmen yang berikutnya, jadinya mungkin asesmen bisa dilakukan berkali-kali tergantung kebutuhan dari kasus,” imbuhnya (13/5).
Lebih lanjut, Hemalia menambahkan bahwa Satgas memiliki kategorisasi layanan penanganan yang mencakup konsultasi hukum, konsultasi psikologis, bantuan medis, pendampingan hukum, dan pendampingan kepolisian seperti yang tertera di formulir pengaduan.
“Kategorisasi layanan itu selalu kita sebutkan di form laporan maupun ketika asesmen pertama, seperti yang telah disebutkan Dehleezto, yaitu ada konsultasi hukum, konsultasi psikologis, kemudian bantuan medis, rumah aman atau pendampingan hukum misalnya pendampingan kepolisian, dan sebagainya,” ujar Hemalia.
Ia juga menjelaskan proses asesmen dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dalam proses penyelesaian kasus. Jika penyintas memerlukan konseling psikologis, satu kali asesmen sudah cukup dan dilanjutkan dengan konseling. Sementara itu, pelaku menjalani dua kali asesmen karena ada tendensi berbohong yang perlu digali lebih dalam untuk mendapatkan kronologi yang akurat.
“Matriksnya itu tidak seperti itu, karena asesmen itu kemudian didetermine (ditentukan, red) itu cukup atau tidak ketika kemudian konklusi dari asesmen itu sudah cukup, yang kemudian misalnya penyintas itu membutuhkan konseling psikologis, assessment itu satu kali cukup, kemudian kita lanjutkan dengan konseling-konseling saja,” tambahnya.
Dehleezto juga menyampaikan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual sering terhambat oleh adanya mispersepsi, kurangnya sumber daya manusia, dan kendala penjadwalan asesmen. Akibatnya, beberapa kasus tertunda berbulan-bulan.
“Untuk prioritas urgensi kasus yang terjadi, ada kasus yang bahkan tertunda beberapa bulan dikarenakan untuk dari tim petugas yang melaksanakan itu terbatas dan juga sudah penuh agendanya untuk menangani kasus yang sudah ada sebelumnya,” pungkasnya.
Adanya Tekanan dari Pihak Luar
Di sisi lain, Hemalia menyatakan bahwa tekanan dari pihak luar menjadi salah satu tantangan terbesar Satgas PPKS dalam melakukan penanganan. Ia menyatakan bahwa terdapat Standard Operating Procedure (SOP) yang tidak bisa ditransparansikan.
“Kita tidak punya power untuk kemudian menekan misalnya dekanat itu harus selesai kapan, yang itu yang pertama. Yang kedua adalah kemudian, karena satgas ini banyak sekali kasusnya, sehingga kasus itu, biasanya kita handle bergantian, misalnya penyusunan rekomendasi itu bergantian per kasus per kasus. Karena kemudian kita semua itu multiple roles gitu loh misalnya, tenaga-tenaga dosen itu tidak hanya dosen dan satgas saja,”jelasnya
Hemalia menjelaskan bahwa pihak Satgas PPKS sudah berusaha dalam menyelesaikan kasus dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada. Ia juga berharap tidak ada antagonisasi dari pihak luar terhadap Satgas PPKS atas hal-hal yang tidak bisa ditransparansikan. (an/nka/cns)