Malang, PERSPEKTIF– Universitas Brawijaya (UB) baru saja mengumumkan peningkatan jumlah golongan Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi 12 golongan. Hal ini menuai berbagai tanggapan dari publik, terutama calon mahasiswa baru yang merasa keberatan dengan bertambahnya jumlah golongan dan nominal yang harus dibayarkan. Sebagai respon, pihak UB menyelenggarakan konferensi pers pada Rabu (15/05).
Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan mahasiswa baru, Citra (bukan nama sebenarnya), mahasiswa baru Fakultas Hukum (FH) yang merasa dipersulit oleh biaya pendidikan yang tinggi. Ia merasa, peningkatan golongan UKT ini perlu dipertimbangkam kembali.
“Tentunya harus ada peningkatan kualitas dari segala aspek, tapi tetap yang utama nggak setuju dengan adanya kenaikan UKT itu. Kami masih berharap untuk pembatalan itu semua, kami hanya ingin mendapatkan hak kami mengenyam pendidikan lebih tinggi,” ucap Citra, Jumat (17/5).
Keresahan serupa dirasakan oleh Bunga (bukan nama sebenarnya), mahasiswa baru Fakultas Ilmu Budaya (FIB) merasa kebijakan ini kurang transparan dan tiba-tiba. Ia juga khawatir terhadap mahasiswa lain yang memiliki keuangan pas-pasan, karena biaya UKT yang tinggi ini belum termasuk biaya hidup di Malang nantinya.
“Agak unreasonable, kenapa tiba-tiba diumumkan jadi 12 golongan, karena pengumumannya terus diundur, dipikir bakal ada yang berubah, tapi kaget diubahnya jadi 12 golongan,” ujarnya (16/5).
Dengan penambahan golongan UKT ini, mahasiswa baru meminta UB memberikan lebih banyak keringanan biaya agar mahasiswa bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Mereka juga ingin UB menyeimbangkan fasilitas kampus dengan biaya pendidikan yang tinggi.
Menanggapi hal tersebut, Muchamad Ali Safaat selaku Wakil Rektor II menyampaikan bahwa keputusan ini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) No. 2 tahun 2024 yang disahkan pada Februari 2024 lalu.
Peraturan ini berisikan penetapan Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (SSBOPT) sebagai acuan utama dalam penentuan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan anggaran untuk universitas. Ia menjelaskan bahwa keputusan ini diambil untuk menciptakan pembagian UKT yang lebih presisi berdasarkan kondisi ekonomi setiap mahasiswa.
“Jika hanya 8 golongan, jarak antar golongan jadi tinggi dan variasinya tidak banyak. Padahal, pendapatan orang tua sangat bervariasi. Diambillah 12 golongan, dengan asumsi golongan 12 itu sama dengan BKT,” ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (15/5).
Ali menambahkan, jarak antar golongan UKT menjadi lebih seimbang berkat adanya 12 golongan ini. Lebih lanjut, Ia menjelaskan bahwa salah satu tujuan dari penambahan golongan ini untuk menjamin mutu pendidikan. Proses penentuan golongan UKT juga masih sama seperti tahun lalu.
“Berdasarkan pendapatan orang tua, diasumsikan 30 persen penghasilan (orang tua, red) digunakan untuk biaya pendidikan. Jenis pekerjaan, kondisi orang tua, dan jumlah tanggungan orang tua dapat dijadikan indeks pengurang yang dapat menentukan mahasiswa ini masuk ke golongan berapa,” papar Ali.
Ia juga menjelaskan bahwa universitas akan berkoordinasi dengan Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS) UB. Nantinya, zakat profesi dari pegawai dan dosen UB akan disalurkan untuk memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang kurang mampu.
“Dua setengah persen dari penghasilan pegawai UB disalurkan ke BAZIS dan digunakan untuk beasiswa bagi mahasiswa yang tidak mampu yang memenuhi asnaf (orang yang berhak menerima zakat, red), jadi kita berikan bantuan dalam bentuk beasiswa pembayaran UKT,” ujar Ali menambahkan.
Sementara itu, terkait komunikasi dengan mahasiswa yang merasa keberatan terhadap penambahan golongan UKT, Ali menjelaskan bahwa universitas membuka SIBAKU (Sistem Bantuan Keuangan) dan bekerja sama dengan Kementerian Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa (Advokesma) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di setiap fakultas melalui Crisis Center. Verifikasi dilakukan oleh Wakil Dekan II masing-masing fakultas untuk menentukan kelayakan dispensasi bagi mahasiswa. (ryu/hr/rnz)