Lompat ke konten

Angkasa Bersaksi

Ilustrasi oleh Anggi Eka
Oleh: Ahmad Fazrul*

“Ketika bintang bersinar di atas semesta raya, angkasa menjadi layaknya seorang ibu, pengamat bagi semua insan yang percaya.”

| A • B |


“Sudikah Anda untuk berdansa dengan saya?”


Kata demi kata itu terlontar begitu saja dari mulutnya. Wajahnya diukir bulan sabit tipis yang sedang menengadah ke atas langit-langit, setengah terpaksa. Aku tak langsung menjawab, membiarkan air muka hangatku merayap masuk ke dalam kedua bola matanya, tajam dan dalam. Dua belah iris coklat itu berbinar terang, bersinar di bawah cahaya lampu kandelar yang menggantung megah. Namun, mereka seakan masih lugu, penuh ketakutan, takut akan penolakan. Lantas, aku menjulurkan sebelah tanganku, gelagat konfirmasi.


“Dengan senang hati, Tuan,” ucapku penuh keyakinan, diikuti dengan senyum simpul yang berkembang.


Ia hanya mengangguk pelan, air muka canggungnya berubah menjadi lega. Senyumnya mulai melunak dan seakan mencair dalam jeratan atmosfer panas di sekitar kami. Aku tak tahu apakah karena memang ruangan penuh sesak ini yang membuatnya demikian, atau memang hanya firasat gilaku saja. Yang pasti, dekapan sebelah tangannya di pinggang kiriku terasa sangat lembut, seakan diriku ini sebuah piala emas berlapis berlian yang ia jaga penuh kehati-hatian.


<>


Pundak yang saling bersinggungan, kami berdansa hingga angkasa diselimuti malam yang kelam. Beruntungnya alunan musik romansa merdu dari kotak radio di kejauhan menghapus kesan horor yang mencekam. Aku tak bisa lebih bersyukur kepada lampu-lampu perkotaan yang menyoroti kedua tubuh kami ini dengan cahaya terangnya itu. Sang ratu malam juga turut menghadiahi kami dengan sinar remangnya, seakan ikut menemani kami dalam pelukan penuh kasih.


Aku menatapnya dalam-dalam, terbuai dalam bola mata coklat gelam penuh harapan dan impian. Aku memeluknya erat, lagi dan lagi, seakan tak pernah bisa aku ambil henti. Gesekan rumput hijau kecoklatan yang tertutup gelapnya alam malam menjadi pendamping gerakan pelan kami, meski bahkan aku tak pernah meminta mereka untuk ikut menari. Dahi bertemu dahi, kami tertawa sejenak, hingga akhirnya kedua bibir terkunci, menghantarkan arus panas yang berkecamuk di sekujur tubuhku. Mataku tertutup rapat, menikmati laju roda waktu yang seakan-akan berhenti bergerak. Aku mendekatkan tubuhku ke tubuhnya, figur rampingnya menempel erat layaknya lem.


<>


“Aku tak pernah tahu Anda sungguh lihai dalam berdansa,” gumamnya pelan, sesekali menarik napas dalam tiap langkah penuh kehati-hatiannya itu.


“Hati-hati dengan gombalanmu!” godaku setengah tertawa.


Ia merah tomat. Tatapannya beralih ke arah lantai kayu kecoklatan yang menutupi hampir seisi ruangan. Sang angin mencoba peruntungannya untuk masuk dan memeriahkan seisi lantai dansa, nahas ia ditahan oleh kerumunan jendela berlapiskan kaca patri. Alunan lagu mellow menjelajah tiap kuping insan berpasangan. Merah gelap menyalakan dunia sempit di sekitarku. Aku makin terbuai oleh pesona sang Tuan di depanku ini. Figurnya sempurna di bawah pantulan cahaya merah remang-remang. Satu, dua, tiga, kami berdansa layaknya sepasang angsa di tengah danau tenang.


Sesekali ia balas melirik, aku hanya mampu tersenyum tipis-tipis. Gerakannya sungguh gemulai dan penuh dedikasi, seakan tak mau mengecewakanku sedikit pun dengan keahliannya itu. Aku percaya ia sudah sering seperti ini, siang-malam menghabiskan waktu untuk berlatih di dalam kamarnya. Aku tak mau kalah, berputar dan berputar dengan ujung tangannya saling mengunci milikku, aku memberinya kejutan kecil. Begitu aku selesai, matanya berbinar penuh kekaguman. Tersadar dengan tingkahku sendiri, aku lantas tersipu malu.


<>


Kami tertawa sejenak, diikuti dengan saling bertukar tatap. Melodi ajaib semakin padam dan padam, begitu pula dengan jeritan gerombolan kendaraan. Hari semakin malam, tetapi kami masih berdiri di sini seperti sepasang pemain drama musikal. Ia menghentikan aksinya, aku sontak mengikuti dengan penuh heran. Ia menggenggam kedua belah pipiku dengan tangan lembutnya itu. Mengunci pandang, aku mulai melunak.


“Udah malam, mending pulang.”


Bait demi bait dilontarkannya selembut kapas wajah. Senyuman khas mengikuti. Aku balas serupa, seraya menaruh kedua telapak tanganku di atas pundaknya itu. Sebelah tanganku mulai memainkan pucuk kepalanya.


“Udah ngantuk kah? Kita bisa terus di sini, sampai pagi pun ayo!” ucapku sedikit tegas.


Ia menghela napas sebentar, diikuti dengan kekehan kecil, membuat suaranya berdering dalam kepalaku.


“Ah, enggak, tapi kan ini udah malam, istirahat dong,” balasnya pelan.


Ia menyipitkan mata, lekukan bibirnya berubah menjadi datar. Aku hanya membalasnya dengan tawa kecilku, ditambah cubitan pelan pada pipi kanannya itu. Rintihan kecil keluar dari mulut imutnya itu. Lantas ia mencebikkan wajah, aku melepas jari-jemariku dari pipinya.


Aku hanya mampu pasrah seraya berkata, “Ya udah, ayo pulang deh.”


<>


Ia masih menggenggam tangan kananku erat, sembari membuat jalan dari lautan manusia di depan kami untuk terbuka sedikit demi sedikit. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain melihatnya berlagak agak malu, meski tetap tak kenal apa arti melepas bagi tangan yang tak kalah keras. Pintu kayu raksasa menghadang kami berdua, tetapi dirinya tetap kalah dengan manusia dan terjangan intensinya. Jeritan jangkrik di balik air mancur taman tak mampu meletupkan gelembung kesunyian yang menyelimuti kami. Kini sang tuan menepi sejenak, aku diajaknya bertukar tatap. Langit menggantung, hatiku agak canggung.


“Sebentar, ada satu hal yang ingin aku sampaikan kepadamu malam ini sebelum kita pergi dari sini.”


Air mukanya tajam, keseriusan menyeruak, menghujam bebas dan membuat dadaku penuh sesak. Aku bersiap siaga, entah apa yang akan keluar sekali lagi saat mulutnya memutuskan untuk berbicara. Melepas genggamku darinya, aku siap sedia.


“Aku mencintaimu,” ujarnya, dengan ekspresi yang pantang berubah.


Jangkar mendarat tepat di ujung kalbu, aku sontak sejenak terpaku. Meski batin sudah menduga-duga, tetapi tetap saja nurani kaget setengah gila. Namun, hatiku tetap pada satu tuju, mencintai sang tuan juga merupakan damba terbesar bagi diriku. Senyum menghiasi wajahku yang sempat kaku, bibir pun ikut bergerak keluar dari dingin yang membeku.


“Aku juga mencintaimu,” kataku pelan, sembari menempel genggam pada sebelah pipinya yang merah terang.


| A • B |


Sang tuan tersipu-sipu, gadis cemerlang tertawa kecil-kecil. Ruang udara di sekitar mereka agak merenggang, memberikan tempat untuk kedua insan bernapas lepas. Kisah yang sempurna, memang, sampai takdir yang akan ikut campur memainkan peran. Sepasang jiwa akan saling bertemu, dileburkan oleh waktu, tinggal biarkan alam untuk berpadu. Kisah kasih penuh cerita dan cita, mereka pikir telah mendapatkan pujaan hati yang tak lekang oleh usia. Namun tidak, renjana menuntut keduanya untuk terbelah, kemudian saling mencari setia. Batin yang bertanya-tanya, roh yang saling bertegur sapa. Lepas dalam asmara, hilang dalam kutukan sang pencipta dunia.


Berada dalam kekangan kama bukan pilihan mereka, lantaran buntala yang memaksa keduanya. Hati yang lain akan saling padam, lantas dimakan oleh harapan yang kunjung melayang. Tatkala surya kembali naik takhta, akan pula derita mengunjungi tiap griya. Biarlah angkasa bersaksi, cukuplah bumi untuk tahu diri. Cinta yang berpindah menunggu buana menyatukan dua jiwa, kuasa kodrat menggiring mereka ke tempat yang semestinya. Jikalau Tuhan tak berkehendak, memang sulit bagi sepasang manusia untuk menuntut hak. Masa yang akan mengatur semuanya, jika mereka memang percaya benar adanya. Jagat raya lemah berbicara. Ia lantas iri, tetapi tetap bahagia.

(Visited 73 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Psikologi angkatan 2022 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini aktif sebagai staff magang di divisi sastra LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?