Lompat ke konten

Menunggu Kematian Organisasi Mahasiswa

Bendera Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (PERSPEKTIF/Gratio)
Oleh: Hafiz Aqmal Djibran*

Ormawa atau Organisasi Mahasiswa merupakan wadah atau perkumpulan mahasiswa yang bekerja sama secara sistematis untuk menentukan tujuan dan memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) yang ada di dalamnya. Ormawa memainkan perannya baik di dalam kampus (intra) maupun di luar kampus (ekstra). Ormawa intra seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Senat, dan lain-lain menjalankan fungsi mereka dalam bidang pengembangan minat bakat mahasiswa, pergerakan sosial dan politik, bahkan advokasi kemahasiswaan. 

Ormawa juga bisa menjadi wadah perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi sehingga dalam kebijakan-kebijakannya yang dilaksanakan tak luput dari isu sosial yang terjadi di masyarakat. Secara historis, Ormawa juga menjadi sarana bagi mahasiswa untuk belajar berpolitik dan terlibat aktif dalam gerakan mahasiswa. Kita bisa melihat gerakan mahasiswa pada 15 Januari 1974 atau dikenal dengan peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari). Saat itu, terjadi demonstrasi mahasiswa untuk menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang. Reformasi 1998 juga tak luput dari gerakan Ormawa yang pada saat itu meruntuhkan rezim orde baru dan memulai era reformasi hingga saat ini. Sejarah Ormawa turut aktif sebagai kelompok pengontrol kebijakan dalam politik di Indonesia.

Pasca pandemi Covid-19 yang melanda dunia, aktivitas kampus terdampak dan mengalami perubahan yang cukup krusial di lingkup Ormawa. Popularitas Ormawa menurun dan terjadi degradasi anggota. Minat mahasiswa masuk Ormawa makin menurun dari tahun ke tahun. Banyak mahasiswa lebih memilih untuk ikut program magang dari kampus dan memperluas jaringan melalui komunitas-komunitas di luar kampus yang lebih fleksibel dan terarah. Hal yang paling fundamental dalam permasalahan ini adalah fungsi Ormawa itu sendiri dan relevansinya dengan zaman saat ini.  

Kompetitor Kampus Merdeka

Hari ini Ormawa mengalami masa-masa sulit untuk bertahan pasca-adanya kebijakan Kampus Merdeka yang dipelopori oleh Nadiem Makarim. Kampus Merdeka menyediakan wadah untuk mendekatkan kampus dengan dunia kerja yang membuat mahasiswa terobsesi akan hal itu. Peluang ini membuka mahasiswa untuk mempersiapkan dirinya serta memperluas relasi sebagai aset pasca-kuliah. Bahkan ada beberapa kegiatan Kampus Merdeka yang memfasilitasi program magang dengan uang saku (paid internship). Sesuatu yang tidak ditawarkan oleh Ormawa yang bahkan mahasiswa biasanya mengeluarkan dana pribadinya untuk program kerja. 

Faktor di atas membuat Ormawa seperti kehilangan daya dan upaya untuk bersanding dengan program Kampus Merdeka yang memiliki tawaran yang menjanjikan. Ormawa yang awalnya menjadi wadah atau fasilitator dalam melatih skill mahasiswa harus tunduk pada program Kampus Merdeka yang memberi kesempatan untuk terjun langsung di dunia kerja.

Dalam pandangan penulis, Ormawa justru menjanjikan yang lebih daripada itu. Ormawa menjanjikan pengalaman tentang kepemimpinan, manajerial, komunikasi, percaya diri, skill lobbying, dan pemecahan masalah (problem solving). Ketika saya pernah berbagi obrolan dengan teman yang mengikuti program Kampus Merdeka, ia mengatakan bahwa pekerjaannya tidak terlalu efektif dan pengalaman yang didapatkan tidak maksimal. Hal ini ia katakan sebab dalam sebuah perusahaan para karyawan hanya mementingkan targetnya masing-masing tanpa memikirkan orientasi mahasiswa yang sedang magang.

Krisis Identitas

Hal lain yang dialami oleh Ormawa saat ini yakni krisis identitas. Ormawa yang seharusnya menjadi alat perjuangan bagi mahasiswa hari ini mengalami degradasi sehingga fungsi dan perannya sekelas event organizer (EO). Banyak program kerja yang dibuat oleh Ormawa yang targetnya mengadakan event di kampus yang harusnya itu sudah menjadi bagian dari sebuah bonus atau euphoria yang tidak diwajibkan. Jika Ormawa tetap eksis di zaman sekarang, maka Ormawa harus merevolusi total cara kerja dan tata kelolanya. Sederhanakan strukturnya dan luaskan perannya.

Toh dalam tugas pokok dan fungsi Organisasi sebagai wadah untuk berproses dalam peningkatan kualitas keintelektualan, tidak hanya manajemen program saja. Alih-alih mengedepankan orientasi nilai, Ormawa saat ini hanya berorientasi pada kerja-kerja saja tanpa ada orientasi yang jelas dan tertata. Belum lagi konsep ‘trias politica’ atau distribusi kekuasaan yang sudah luntur diterapkan beberapa Ormawa.

Terlebih lagi, struktur dan jabatan Ormawa menggunakan nomenklatur yang bisa dibilang superior. Ada “Presiden” dan “Menteri” yang menciptakan jarak antara pemimpin Ormawa dengan mahasiswa lain. Adagium lama mengatakan kampus adalah miniatur dari negara rasanya sudah tepat. Namun apakah pepatah itu masih relevan dengan Ormawa saat ini?

Kurangnya Kesadaran Aturan Main Organisasi

Organisasi merupakan perkumpulan atau gerakan kolektif dari masyarakat yang memiliki kepentingan atau tujuan yang selaras. Tentunya dalam menjalankan roda organisasi terdapat aturan main atau prinsip yang harus dijaga agar organisasi bisa berjalan dengan baik. Dalam organisasi mahasiswa, prinsip tersebut dikenal dengan sebutan AD/ART. AD/ART bisa disebut juga sebagai konstitusi organisasi yang harus dipegang teguh oleh anggotanya. Namun jauh panggang daripada api, banyak sudah organisasi mahasiswa yang kurang sadar akan hal ini. Pelanggaran akan AD/ART dalam berorganisasi merupakan kejadian yang fatal jika tidak ada tindak lanjut. 

Perlu adanya pemahaman tentang aturan main dalam berorganisasi, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggotanya. Merupakan hal yang kecil, tapi jika dibiarkan akan menjadi ‘bom waktu’ dalam sebuah organisasi. Hal ini juga berkaitan dengan regenerasi anggota yang akan menerima tongkat kepemimpinan di kemudian hari. Apabila mengabaikan aturan main yang ada (AD/ART).

Saat ini organisasi mahasiswa makin dekat akan krisis anggota dan regenerasi, perlu ditinjau Kembali untuk para organisatoris kampus sebagai bentuk upaya menyelamatkan eksistensi mahasiswa dalam berserikat, berkumpul, dan memanifestasikan agent of change di lingkungan sosial masyarakat. Adagium lama mengatakan, “Apabila kapal tidak siap menghadapi ombak besar, maka bersiaplah untuk terdampar di pulau yang tak berpenghuni.”

(Visited 423 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?