It’s been a long time. Kembali ke bangunan yang sekarang setiap harinya terasa hampa dalam kegelapan di siang hari, hampa dalam cahaya terang di malam hari. Namun, hari ini atau mungkin beberapa waktu selanjutnya, rumah kecil ini tidak lagi kesepian.
Setelah heningnya doa dan riungnya suara sendok bergesekan, ini saatnya aku untuk dapat terasa berguna sedikit dengan membantu menyingkirkan semua sisa-sisa makanan yang tidak ikut tercerna. Mau bagaimana lagi, aku melihat sepertinya seluruh saudara ku sedang sibuk kejar-kejaran dengan anaknya atau sibuk tersenyum dengan keluarga kecilnya sendiri. Sedangkan aku? hmm, jangan tanya. Aku mungkin terlalu egois sampai hari ini.
Gesekan dan dentingan suara piring bertemu dengan suara gemericik air yang statis terasa seperti sebuah meditasi, merangsang hipokampus untuk menayangkan memori masa lalu tentang rumah ini yang dulu tidak pernah kesepian, tentang keluarga kecil yang saat ini telah memiliki keluarga kecilnya masing-masing.
Aku teringat kembali pada belasan bahkan puluhan tahun lalu. Masa dimana raga belum mampu mendirikan rasional dan jiwa yang masih kurang mampu untuk dapat hidup sendiri, masa dimana aku masih kecil. Mungkin saat itu aku kurang dapat berpikir rasional sehingga acap kali aku harus kena semprot oleh ibu atau kakakku. Namun, aku sangat yakin itu adalah titik paling bahagia bagi diriku. Momen itu adalah momen termanis disaat pikiran berekreasi ke dunia nostalgia. Momen di mana aku melihat dunia digandeng oleh genggam erat jari-jari dan senyum tulus keluarga ku. Momen yang mengajarkan ku tentang cinta dan memberikan pengalaman mahal tentang seisi dunia.
Bak tsunami di laut yang tenang, bak angin topan di siang bolong, momen itu harus tergerus sebuah realita cerita Tuhan. Di saat sebuah realita ayah harus terpaksa pergi dari rumah untuk mengais pundi-pundi uang demi aku dan saudara ku tetap melanjutkan sekolah. Berbeda dari langkah-langkah sebelumnya yang dilakukan ayah untuk berangkat, langkah ini adalah awal dari momen indah sebelumnya hanya menjadi nostalgia yang tak akan pernah terulang.
Keabsurdan dan anomali mulai memunculkan sosoknya. Anomali tentang ayah yang sosoknya perlahan memudar. Ibu mencari-cari setengah jiwanya yang hilang entah kemana, ke ujung barat hingga ke ujung timur, mengejar cepatnya kereta, menerjang dinginnya malam dan panasnya siang di khatulistiwa. Ia mencari pada tempat tertulisnya memori indah, mencari di tempat seharusnya ia pasti kembali dan kemanapun setiap jengkal tempat rekreasi pikiran ayah yang dapat diingat ibu.
Menentang pepatah usaha tidak menghianati hasil, pencarian tidak pernah memiliki hasil akhir. Hingga akhirnya mungkin Ibu tidak terlalu mampu dan harus mengorbankan jiwanya demi mencari sebagian jiwanya. Tubuh ibu yang melemas hingga tak mampu menaikkan sedikit matanya, meninggalkan sebuah goresan di hati.
Di saat itu, seperti terdapat panggilan jiwa, sosok ayah muncul di hari-hari selanjutnya. Di saat itu juga aku dan saudara ku tak lagi ingin permintaan maaf atau bahkan mengeluarkan emosi kebencian. Di saat itu hanya harapan tinggi untuk sosok ayah itu dapat kembali dan kembali membuat memori manis tanpa ibu, karena itu yang mungkin diinginkan ibu, momen yang manis yang akan terukir di benak buah hatinya. Namun, Ayah terlalu menyesali hal yang ia lakukan, ia menganggap dirinya tidak lagi pantas mendapatkan kebahagiaan. Oleh karena itu, ayah menolak namun ia terus berjanji akan kembali.
Berhari-hari, bertahun-tahun menunggu, namun sekali lagi ia membuatku ragu akan segala janjinya perihal kembali, aku mulai skeptis, aku rasa sosoknya akan ingkar. Sosoknya tak pernah kembali. Namun segalanya ditampik ketika dirinya memperlihatkan bahwa dirinya adalah pria sejati. Ia benar-benar kembali tetapi tidak lagi kembali kepada kami melainkan kembali kepada ibu sang belahan jiwanya yang mencari semasa di dunia.
Rentetan nostalgia ini akan terus menjadi sebuah roll film di memori yang mungkin akan tersimpan rapi di meja kecil di tengah-tengah ruang rak-rak penyimpanan ingatan.