Malang, PERSPEKTIF – Program pengganti skripsi mulai menggema sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi pada 18 Agustus 2023 yang tidak lagi mewajibkan skripsi sebagai syarat kelulusan untuk jenjang sarjana. Sebagian kampus telah menanggapi secara reaktif kebijakan ini tak terkecuali Universitas Brawijaya (UB).
UB sebagai universitas di bawah naungan Kementerian Pendidikan pastinya akan turut melaksanakan program pengganti skripsi dalam Permendikbudristek tersebut. Yang menjadi pertanyaan besar ialah, sudah adakah persiapan yang matang serta segala kepastian bagi mahasiswa telah dipikirkan?
Dhia Al-Uyun selaku anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) sekaligus dosen Fakultas Hukum UB menyatakan bahwa penghapusan skripsi ini pasti ada kelebihan dan kekurangannya, mulai dari tolak ukur yang kurang dalam menguji kecakapan ilmu individu.
“Pasti akan ada kesulitan karena apabila itu di hapus maka bagaimana kita mengetahui kapasitas keilmuan mahasiswa dapat terukur, karena bagaimanapun juga tugas akhir semestinya ada,” ujar Dhia (3/10).
Menurutnya, pengukuran kapasitas keilmuan seorang sarjana harus memastikan individu memahami ilmu dan diakui keilmuannya, terdapat mekanisme pengujian, serta mengenai metode apa yang digunakan. Dengan adanya tugas akhir, syarat-syarat tersebut dapat diujikan kepada mahasiswa calon sarjana.
Selain itu Dhia turut menekankan pada kemungkinan subjektivitas dosen dan adanya eksploitasi terhadap mahasiswa.
“Karena begini, yang harus kita hindari di dalam universitas yaitu ada kejadian-kejadian patron-klien yang sangat kuat. Di mana kemudian mahasiswa harus tunduk kepada dosen dengan pola penambahan mekanisme penghilangan skripsi seperti ini subjektivitas dosen akan semakin meningkat,” terang Dhia.
Pertanyaan besar berikutnya adalah terkait apakah pihak kampus sendiri mampu untuk memastikan bahwa mahasiswa tidak akan terlibat di aktivitas pribadi dosen? Dan penilaian yang dilakukan dapat sesuai dengan kapasitas keilmuan yang seharusnya dimiliki oleh lulusan sarjana.
“Jaminan apa yang bisa diberikan dari institusi supaya dosen tidak bertindak sewenang-wenang?” ujar Dhia.
Menurut keterangannya, pihak rektorat belum melakukan koordinasi dengan pihak dekanat, dan pihak fakultas akan memulai program ini apabila sudah ada arahan yang jelas dari rektorat.
Sampai berita ini ditulis, pihak rektorat sendiri dalam hal ini Wakil Rektor (WR) I hingga saat ini masih terus berkoordinasi dengan Direktorat Administrasi dan Layanan (DALA) dan belum memutuskan sikap pasti.
Mahasiswa yang menjadi objek dari kebijakan penghapusan skripsi turut dibuat bingung karenanya. Dalam penerapannya, jelas terdapat sudut pandang pro dan kontra di antara mahasiswa, apalagi dengan tidak adanya kepastian mengenai kelanjutan kebijakan ini dari UB.
“Ya Jadi kalau bicara setuju nggak setuju sih sebenarnya aku juga belum bisa menetapkan, ya, karena kan ini juga keputusannya belum benar-benar diberlakukan gitu kan. Terus juga kita belum benar-benar tahu pengganti skripsinya itu bakalan kayak gimana,” ujar Niken Aria.
Mahasiswa Psikologi angkatan 2020 tersebut memberikan penjelasan mengenai pro kontra dari penghapusan skripsi ini. Menurutnya penghapusan skripsi akan membuat mahasiswa benar-benar bergelut dengan sektor pekerjaan yang sesuai dengan bidang keilmuan mereka dengan syarat penggantinya berupa proyek akhir prototype produk inovasi yang jelas bersifat aplikatif. Namun apabila bobot dari pengganti skripsi ini kurang dari pada program skripsinya, atau sifatnya lebih membebani mahasiswa maka jelas ia kontra dengan keputusan penghapusan skripsi.
Sejalan dengan Niken, Sanas putri mahasiswa Manajemen UB angkatan 2021 juga mengatakan bahwa ia setuju dengan penghapusan skripsi jika kebijakannya sudah tertata dan ada pengganti yang benar-benar bisa menyetarakan tugas akhir dari mahasiswa yang terdampak penghapusan skripsi dengan mahasiswa yang sudah lulus dengan mengerjakan skripsi.
“Menurut saya itu akan berdampak baik kalau ada pengganti yang bermanfaat dan lebih relate dengan kehidupan pasca kelulusan. Kalau dampak buruknya mungkin bisa jadi lebih disepelekan atau dibandingkan dengan mahasiswa yang lulusnya dengan skripsi. Apalagi programnya kalau belum teruji dan gabisa nyetarain skripsi, toh bagaimanapun skripsi sudah menjadi tolak ukur kelulusan selama bertahun-tahun dan sudah terstandarisasi,” ucap Sanas
Dikarenakan untuk angkatan terdampak penghapusan skripsi belum ada kepastian, kedua narasumber mahasiswa tersebut tidak dapat memberi keterangan lebih lanjut. Untuk angkatan 2020 yang saat ini menjalani semester tujuh dan mulai mengerjakan skripsi, kebijakan ini belum terasa karena kelulusan mereka masih bergantung pada penyelesaian skripsi. Sedangkan untuk angkatan 2021, Sanas mengaku belum memiliki gambaran akan terdampak atau tidaknya.
“Ya kalau kebijakan ini dilakukan pada angkatan 2021, ya, pastinya terdampak sih, agaknya kalau menjadi angkatan pertama tanpa skripsi yo jadi angkatan kelinci percobaan hehe dan jujur belum ada gambaran,” ujar Sanas.
Selanjutnya, Sanas turut berharap agar program pengganti skripsi dapat diputuskan melalui pertimbangan kebermanfaatan dan persiapan yang matang oleh pihak kampus.
“Harapan saya tugas pengganti skripsi yang direncanakan ini benar-benar dipertimbangkan oleh pihak kampus dan dipersiapkan sebaik mungkin, ya. Atau bahkan lebih bermanfaat saja sih,” tutupnya. (alc/saf/arl/yn)