Pernahkah kalian membayangkan bagaimana kehidupanmu di masa lalu maupun masa mendatang? Aku memiliki kepercayaan bahwa aku memiliki kehidupan di masa lampau, sebagai pemuda yang selalu tersenyum diantara pedihnya angin politik Indonesia masa penjajahan. Bukan sebuah kepercayaan namun ini merupakan sebuah ingatan di mana diriku pada masa modern ini mengingat bagaimana memori masa lampau yang aku rasa adalah milikku. Semuanya terlalu nyata, emosi yang terbawa bersamaku, sentuhan terhadap objek di masa lampau, hingga orang-orang yang hadir pada penglihatanku semuanya nyata.
Namun, ada satu orang yang benar-benar membekas di memoriku pada masa kerajaan Sultan Suriansyah benar-benar kuat. Gadis manis yang selalu menjadi alasan aku tersenyum juga menangis. Gadis itu bernama Gusti Bhanuwati kerap dipanggil Wati yang memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan sesuai dengan nama juga gelar kebangsawanannya. Berbeda dengan diriku yang hanya bangsawan rendahan dengan jiwa pejuang bagai prajurit yang senantiasa hadir dan melindungi Wati hingga akhir hayat.
Masa itu aku hanya diperintahkan ayahanda selaku panglima perang kerajaan Sultan Banjar untuk membantu nona muda Wati untuk berkelana atau sekedar mengawal nona untuk berbisnis dengan bangsawan dari kerajaan Demak. Nona wati sendiri memiliki orang tua yang berada kala itu. Ayahanda nona Wati merupakan pribadi yang bijaksana dan bekerja di belakang layar dengan posisi yang kuat. Kebaikan hati Gusti Tetua pula yang membiarkan putri satu satunya untuk ikut dan belajar berbisnis dengan beliau.
Berbeda dengan aku sang pemuda dengan strata kesatria ini hanya mampu berdiri di samping nona Wati sebagai penjaga sekaligus teman dekat sang nona.
“Abang Hilman, kena abah minta tolong abang untuk membersamai Wati besok,” Wati berujar sembari melangkah menuju rumah utama. Hilman yang kala itu hanya berjalan berdiri di belakang sang nona hanya menjawab tenang “Inggih, sudah disampaikan Ayah tadi,” langkah sabar Hilman bersamai dengan sang Gusti muda.
Kehadiran Hilman semata-mata ayahanda Hilman perintahkan untuk memenuhi perannya agar jabatan ayah Hilman aman sentosa di kerajaan. Hilman hanya pemuda penurut yang sesekali kesal namun enggan melawan karena dia juga merasa perannya sebagai pelindung sang Gusti muda sudah membuatnya nyaman. Kehadiran Gusti Wati merupakan indahnya daun melati bagi keringnya tanah kehidupan Hilman.
Walaupun ayahanda Hilman mendidiknya sekeras militer, tetapi Hilman merupakan genius dalam medan perang dan merupakan putra kesayangan keluarga Saleh. Hanya saja, tahta keluarga Saleh sebagai prajurit dengan Gusti sebagai keluarga keturunan kerajaan merupakan sebuah jembatan pemutus bagi Hilman. Satu dasawarsa kehidupan Hilman selalu diperuntukkan untuk menjaga nona Gusti Wati. Selama itu pula Hilman telah jatuh hati dengan sang nona dengan indah paras juga hatinya.
Seingat memori sang pemuda, kala itu musim panennya padi pada bulan ke sembilan. Bisnis keluarga Gusti sedang berjalan padatnya bersama dengan nona Wati yang selalu diiringi oleh Hilman. Bersama dengan tanah yang mulai mengering, huru-hara masyarakat desa membuat Gusti muda terlena dunia hingga hampir kehilangan kesadarannya. Petang jingga telah sampai pada empunya dan seluruh kegiatan dihentikan tatkala mitos “Janganlah keluar saat maghrib” selalu menjadi pegangan rakyat desa.
Hilman bersusah riah mendampingi nona Wati agar sampai menuju rumah utama dengan selamat tatkala nona juga kelelahan. Pamit undur diri hingga berjalan menuju rumah keluarga Saleh, Hilman mendapati beberapa orang mencurigakan yang berlalu lalang beberapa hari terakhir. Hal ini membuat Hilman tak kuasa untuk meninggalkan rumah utama Gusti tanpa perlindungan dari dia dan keluarga Saleh.
Hilman memutuskan untuk berjaga malam itu hingga kelompok pemuda itu pergi meninggalkan rumah utama Gusti. Batin juga fisik Hilman lelah hingga sampai di rumah dirinya mendapatkan celaan dari Ibunda tatkala meninggalkan ibadahnya. Hilman tak bisa berbohong dan hanya segera mengambil air wudhu untuk menunaikan ibadah kepada sang Maha Kuasa. Setelah ibadah usai, Hilman berujar kepada ayahanda Saleh bahwa ada gerombolan pemuda mencurigakan yang sepekan terakhir telah memantau rumah utama. Respon ayahanda hanya anggukan dan berucap akan menyampaikan kepada raden Gusti fajar besok.
Besok hari hanya berlalu seperti biasa dengan urusan perdagangan oleh keluarga Gusti lalui. Nona Wati selalu ceria seperti biasanya, bercerita kepada Hilman mengenai beberapa hal pribadi selayaknya Hilman adalah sahabatnya. Memang benar keanggunan dan paras indah nona Wati membuat dia mendapatkan teman dari berbagai kalangan bangsawan, namun hanya kepada Hilman lah dia menunjukkan sisi lemah dan tangisan yang dia sembunyikan sebagai keluarga bangsawan.
Kehadiran Hilman dipandang sebagai sahabat dekat oleh Wati, ucapan-ucapan manis untuk menguatkan Wati selalu diberikan agar sang nona senantiasa kuat menghadapi beratnya kehidupan sebagai putri bangsawan. Hilman, semakin hari semakin jatuh hati dan rela mengambil nyawa siapapun agar sang Gusti muda jauh dari bahaya. Harapan Hilman kuat bahwa kedekatan keluarga Saleh dan Gusti suatu hari nanti dapat membawakan hasil. Hasil bahwa mereka akan dijodohkan apapun peran yang mereka miliki. Hanya saja naas. Hari-hari sang nona Wati bercerita mengenai bagaimana dia selalu melihat bangsawan lainnya yang gagah dan berwibawa, berusaha mendekati bangsawan tinggi itu dan meminta saran kepada Hilman bagaimana harus bersikap agar bangsawan itu dapat melirik Wati.
“Saya rasa, nona Wati tak perlu mengubah sikap agar pangeran dan para sultan tertarik. Nona indah sebagaimananya. Jangan biarkan mereka memandang nona rendah dan tetaplah hadir sebagai Gusti yang kuat, nona,” Ucap Hilman manis kepada sang nona.
Di dalam ucapan manis yang Hilman lontarkan, terdapat hati yang tersayat bagaikan belati bersarang disana. Cinta hatinya menyukai orang lain, bagaimana bisa Hilman lancang untuk mengatakan tidak untuk memberikan sebuah pepadahan kepada sang nona. Jalan setapak mereka lalui dikala senja telah datang. Karena jingga telah datang, perjalanan pun semakin sepi dan hening. Kewaspadaan Hilman semakin kuat khawatir bahwa para gerombolan orang asing akan kembali menuju rumah utama keluarga Gusti.
Benar saja dugaan Hilman, para pemuda itu berdiri tak jauh dari gerbang utama. Hilman dengan waspada menjaga nona Wati dan berbisik tatkala hal buruk terjadi, nona Wati harus berlari meninggalkannya. Wati yang berpikir Hilman sedang bercanda pun tak menghiraukannya. Buruknya, kekhawatiran Hilman menjadi nyata. Para pemuda itu bergerak mendekati Wati dan Hilman. Dengan waspada, Hilman berdiri di depan Wati menghadap para gerombolan orang tersebut.
“Permisi nona manis, benarkah engkau dari keluarga gusti?” Salah seorang pria mendatangi Wati dan hendak menarik lengannya. Dengan sigab Hilman menepis lengan pemuda tersebut dan membuat sang lawan memberikan tatapan tak senang.
“Kepinggir kalo kada handak temasalah.” Tegas Hilman. Tentu saja hal ini memancing 5 orang lainnya yang berdiri di belakang pemuda tersebut.
“Kada ikam lah nang becari masalah?” Pemuda tersebut berujar kembali yang membuat Hilman mendorong mundur Wati.
“Sebaiknya kita bergegas pulang, nona,” Ujar Hilman. Para pemuda tersebut semakin menjadi dan mulai mengelilingi Hilman dan Wati. Hal ini membuat Hilman berdecah khawatir takut apabila Wati terluka. Berdasarkan informasi yang Hilman dapatkan petang tadi dari ayahanda nya, para pemuda ini dari kerajaan seberang yang memang sengaja mengacau di dermaga dan beberapa daerah. Hilman enggan berkelahi karena dia seharian sudah kelelahan ditambah pada malam hari dia telah ditugaskan Saleh tua untuk berjaga di rumah Gusti.
“Nona, ini merupakan para bandit. Pian sebaiknya pergi lebih dulu kalau saya berikan jalan.” Hilman enggan pujaan hatinya terluka apalagi ditarik oleh para bandit menjijikan seperti orang-orang ini. Para bandit tersebut masih mencoba menggapai Wati yang berada disamping lindungan Hilman. Berbagai macam senjata kecil dikeluarkan para bandit bersama ancaman akan melukai nona apabila Hilman tidak menyerahkan secara sukarela. Hilman yang juga disenjatai oleh belati kerajaan mengeluarkan tajamnnya.
Serangan dilontarkan kepada Hilman bersama dengan orang lainnya berusaha menarik Wati. Hilman dengan sigap memberikan sepakkan dari kaki agar lawannya membendung jarak jauh dari mereka. Lengan Wati Hilman tarik sembari berjalan menuju rumah utama Gusti. Sangat disayangkan serbuan dari 6 orang bersenjata tersebut bukanlah hal mudah bagi Hilman. Sempat dia cedera oleh sayatan pada punggung Hilman namun dia masih berontak enggan melepaskan Wati kepada siapapun. Wati yang sedari tadi khawatir dengan kondisi Hilman berusaha untuk melawan balik namun masih nihil. Dia berusaha menarik Hilman menjauh namun nyatanya para bandit lebih dominan.
Langit telah gelap, dan para penduduk juga jauh dari lokasi rumah utama. Lelah dengan segalanya, Hilman mendorong Wati masuk menuju gerbang dan mengunci gerbang kala itu. Meninggalkan dirinya bersama bandit guna melindungi keluarga Gusti sebagaimana kewajiban dia seharusnya. Bandit itu seperti kerasukan oleh setan senja dan semakin liar hendak menerobos rumah utama. Hilman yang hanya bersenjatakan belati warisan berusaha berdiri di depan gerbang menahan mereka masuk.
“Allah…, Hilman! Wati akan panggilkan ayahanda segera. Kamu mohon bertahan disana!” Wati pergi meninggalkan gerbang dan berjalan masuk menuju rumah utama. Hilman berusaha memperkuati dirinya di bawah sinar senja yang dirasa akan menjadi senja terakhirnya. Melawan 6 pria dewasa sudah seharusnya menjadi tugas yang mudah kalau saja dia beristirahat dengan cukup malam tadi. Takdir mungkin sedang berusaha membantu Hilman dengan gugurnya 4 pria tersebut setelah habis di hajar oleh Hilman. Dua orang lainnya masih gigih melawan walaupun berbagai macam luka tikam telah dia terima dengan darah yang demikian terus mengalir pada berbagai sudut tubuhnya. Lelah dan pandangan buram Hilman lalui, dua orang tersisa namun bantuan juga tak kunjung datang. Mungkin setidaknya pada kesadarannya terakhir Hilman bisa menunaikan tanggung jawabnya sebagai pelindung Wati.
Dua orang lainnya berjalan bersama untuk menyerang Hilman. Dengan kemampuan bela diri, Hilman usahakan untuk melawan dan memberikan serangan tanpa memikirkan kasihan pada nyawa lawannya. Tusukan demi tusukan dia berikan kepada kedua orang tersebut hingga akhirnya tumbang. Bersama dengan itu Hilman terduduk di depan gerbang dengan darah yang mengalir dari pinggang dia. “Sial. Ku harap nona akan baik-baik saja.” Pandangan buram nafas yang semakin melemah. Hilman perlahan kehilangan kesadarannya.
Samar Hilman dengar sebuah teriakan dari dalam gerbang. Wati dengan cepat berlari bersama Gusti tua yang membuahkan kepanikan bagi seluruh keluarga Gusti melihat Hilman dibanjiri darah sedemikian banyaknya. Disayangkan sekali namun inilah keinginan Hilman. Nafas terakhirnya berakhir dalam dekapan Sang Mulia yaitu Wati pujaan hatinya. Hilman berharap dalam doa terakhirnya, bila diizinkan akan bertemu Wati di kehidupan selanjutnya. Sebagai seseorang yang bisa bersamanya, melindunginya seperti sedia kala. Nafas sekaligus nyawa Hilman pupus dibawah titik air mata Wati. Kesedihan malam Jum’at menjadi bukti kematian pemuda bernama Hilman Saleh yang gugur dalam tugasnya.
Mata Travis terbangun dari mimpi yang dia alami. Travis menangis melihat plafon kamar kostnya dengan mendengar nada dering dari gawainya menandakan panggilan dari teman kuliahnya. Pukul delapan pagi Travis mendapatkan panggilan dan dia baru saja tersadar bahwa hari ini ada kuliah pagi. Dengan tergesa dia membenahi dirinya dan berangkat menuju kampus.
Kelas berakhir dan dia memutuskan untuk pergi ke ruangan sekretariat band FISIP untuk merebahkan diri. Dia jumpai temannya Pandji Adinawa yang sedang bermain gitar di dalam ruangan sekre. Wajah lesu Travis berubah menjadi senyum manis tatkala mendapatkan kehadiran Pandji. Sosok Panjdi yang Travis rasa merupakan seseorang yang pernah hadir di masa lampaunya. Dia merasakan kehadiran Pandji sama dengan kehadiran Wati di masa lampau. Peran Pandji sebagai sahabat band dia juga teman kuliah yang selalu bersamanya membuat Travis bahagia.
Inikah kehidupan masa sekarang? Travis hadir sebagai sahabat Pandji sang mahasiswa Ilmu Komunikasi yang berkharisma sama seperti Wati di masa lampau. Bersanding bersama Travis mahasiswa Sosiologi dengan keaktifan dia pada politik kampus dan kota malang.
Selesai.