Segala pujian banjir mengalir kepada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya. Hal ini tak lepas dari penanganan kasus kekerasan seksual yang menyeret salah satu fungsionarisnya yaitu Kepala Biro Pemberdayaan Aparatur Organisasi. Banyak yang berkata, upaya yang dilakukan BEM FISIP kali ini sigap dan cepat dalam menanggapi kasus kekerasan seksual di internal organisasinya.
Namun, yang kabur dilihat oleh semua orang, mungkin BEM sendiri, bahwa langkah yang diambil oleh mereka masih sebatas upaya reaktif semata. Padahal, kasus kekerasan seksual dalam organisasi mahasiswa telah terjadi sejak tahun-tahun yang lalu. BEM FISIP seolah hilang ingatan akan hal tersebut, sehingga upaya-upaya yang dilakukan masih sebatas langkah-langkah reaktif yang minim nilai keberlanjutan dan menjadi jalan semu pencegahan kekerasan seksual di lingkungan organisasi mahasiswa.
Pembentukan Tim 12 dapat dikatakan mendadak dan minim transparansi. Seharusnya, segala bentuk upaya pencegahan kekerasan seksual dalam organisasi seperti pembentukan satuan tugas dan regulasi sudah dipersiapkan sedari awal guna menjadi upaya preventif mencegah timbulnya kasus kekerasan seksual di dalam organisasi. Bukan malah berbangga dengan langkah-langkah semu yang dilakukan saat ini.
Jika kita masih berpuas diri dengan hal-hal seperti ini dalam menangani kasus kekerasan seksual di kampus, mungkin narasi jargonistik ala FISIP masih getir untuk diucapkan. Kepalan tangan yang selalu mengiringinya terlihat hanya sebatas ketikan jari semata. Lantas kemudian muncul tanya, apa yang tangguh dan apa yang perjuangkan?
Redaksi LPM Perspektif