Pandemi Covid yang berlarut-larut mencapai puncak akhir yang membuat kegiatan perkuliahan perlahan kembali pada jalannya yaitu luring. Bersama dengan kembalinya perkuliahan menjadi luring, banyak kesempatan dan kegiatan kemahasiswaan kembali dilaksanakan hingga bertumpah ruah. Limpah ruah itu harusnya bisa menjadikan tempat bagi para mahasiswa untuk ‘mengembangkan’ diri nya.
Namun, tujuan dari mengembangkan itu berubah. Platform untuk mengembangkan diri salah satunya Organisasi Mahasiswa (ORMAWA) seharusnya bisa menjadi wadah dimana ide dan kreativitas mahasiswa dikembangkan secara sukarela. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang memiliki seribu satu program kerja dan event membuat mahasiswa yang berpartisipasi diberikan benang takdir untuk memenuhi hajat program kerja bagaikan sapi perah.
Hadirnya BEM yang seharusnya bisa menjadi aktivis mahasiswa, kini berpaling kembali menjadi ‘badan event mahasiswa’. Karena kembali ke tujuan awal, organisasi mahasiswa didasari oleh kepemimpinan, kreativitas, sikap kritis, pertanggung jawaban, memenuhi kepentingan dan kesejahteraan mahasiswa itu sendiri. Namun, apakah ini semua sudah sesuai dengan fakta lapangan yang mana proses pendaftarannya saja terkadang melalui proses nepotisme?
Kehadiran event memang pada dasarnya diperbolehkan. Akan tetapi, benarkah itu untuk kebermanfaatan atau hanya sekedar platform untuk gengsi saja, apabila terlalu banyak kejadian dan tragedi terkait batal dan gagalnya sebuah event besar dengan artis-artisnya. Beban hutang yang sepenuhnya menjadi proses belajar tanggung jawab oleh anggotanya. Sementara pemimpinnya lari dari tanggung jawab seharusnya.
Event Feskala Universitas Negeri Malang dapat menjadi cerminan bahwa poin dasar tanggung jawab dan kreativitas itu hadir apabila saat terlilit hutang sampai Rp122.000.000, penanggung jawabnya sendiri bungkam dan menghindar dari permasalahan ini. Berbagai janji palsu yang diberikan pada panitia dibawahnya merupakan bentuk dusta yang nyata. Kemudian event Nidayaku x Prabu yang sepertinya tidak bercermin pada Feskala juga terlilit hutang karena kurangnya persiapan dari event tersebut. Membuat program kerja yang rencana dilakukan tahun 2022 ini menanggung hutang sampai Rp49.000.000 kepada pihak vendor seperti yang dilansir pada berita di Kavling 10.
Seperti yang dijelaskan pada contoh sebelumnya menjadi pertanyaan mengapa event-event tetap menjadi barang yang laku dipakai. Tujuan yang dibangun dari seribu satu program kerja dengan target diluar nalar membuat penulis mempertanyakan, apakah semua itu hanya untuk kebutuhan mahasiswa atau sekadar gengsi meningkatkan derajat badan eksekutif siapa yang lebih luar biasa. Kaca yang selalu hadir tak kunjung digunakan untuk melihat kesalahan-kesalahan yang terus berulang. Ormawa hanya sebagai ornamen berpolitik kampus atau tempat mahasiswa berkembang?
Kesalahan dalam kegagalan hingga lilitan hutang tak kunjung menjadi pelajaran untuk bisa membenahi diri agar ekspektasi itu menurun. Para anggota badan event mahasiswa seharusnya melahirkan rangkulan manis bukan program kerja yang asal selesai dari hasil keringat dan darah sapi-sapinya.
Setuju, seharusnya BEM dan ORMAWA menjadi platform para mahasiswa dapat meningkatkan keahlian dirinya. Mulai dari proker yang efektif memupuk softskill dan hardskill anggotanya hinga training-training yang bermanfaat dan dapat diimplementasikan anggota nya kepada masyarakat. Itu baru ORMAWA yang keren, good job Nazwa tulisan nya :*