Lompat ke konten

Refleksi Ancaman Kebebasan Akademik dari Kasus Munir yang Belum Tuntas

Sesi tanya jawab dalam diskusi KIKA (PERSPEKTIF/Gratio)

Malang, PERSPEKTIF – Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) melakukan diskusi “Mengenang Cak Munir: Ancaman Kebebasan Akademik dan Pentingnya Pekerja Kampus Berserikat” pada Rabu (6/9) via Zoom Meeting dan Youtube KIKA. Diskusi ini dilakukan untuk mengenang kasus pembunuhan Munir yang belum terselesaikan dan menjadi refleksi atas pembungkaman suara-suara yang kritis terhadap kekuasaan di perguruan tinggi.

Diskusi ini mendatangkan Reza Indria selaku Direktur International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), Herlambang Wiratraman sebagai Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Dhia Al Uyun selaku Ketua Serikat Pekerja Kampus (SPK) Indonesia, serta Saiful Mahdi sebagai Anggota KIKA.

Reza Indria sebagai pengantar mengatakan pembungkaman dan penghilangan merupakan bentuk yang mencerminkan Bangsa Indonesia tidak menghormati demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). 

“Rezim di kampus sekarang banyak mereplika politisi yang mengangkangi akal sehat dan aturan yang kita pahami sehari-hari di dunia akademik. Ini menjadi motivasi bersama dan ruang pengingat bahwa dunia akademik harus memberikan hal yang berbeda, untuk menaikkan status pendidikan Indonesia,” ujarnya. 

Herlambang Wiratraman sebagai pembicara mengungkapkan, terdapat perkembangan paralel antara melemahnya demokrasi, menguatnya otoritarianisme, dan tingkat represi di lingkungan kampus. Menurutnya, kejadian tersebut patut untuk direfleksikan agar publik dapat mengetahui dan mendefinisikan kebebasan akademik.

“Kalau kita saksikan sebenarnya, konstruksi akademik nasional kita, kita memiliki konstitusi dan undang-undang, tetapi di sana kebebasan akademik dan mimbar akademik dalam otonomi keilmuan sangatlah terbatas,” ujarnya.

Terakhir, Herlambang menjelaskan, untuk meraih kebebasan akademik, maka tidak hanya dosen yang diberikan wewenang untuk bekerja tanpa hadirnya tekanan politik dari pihak eksternal, tetapi juga mahasiswa dan serikat. Herlambang menambahkan bahwa dukungan tersebut harus difasilitasi tanpa adanya paksaan ideologi dan diskriminasi.

Selanjutnya, Dhia Al Uyun mengemukakan bahwa kasus Munir dan bulan September merupakan kejahatan kemanusiaan, tetapi hingga sekarang, lembaga atau institusi negara menunjukkan keengganan untuk mengakui hal tersebut. Dhia juga mengungkapkan bahwa kasus Saiful Muhdi, seorang dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang dilaporkan oleh Dekan Fakultasnya sendiri karena mengkritik sistem penerimaan calon pegawai negeri sipil merupakan refleksi dari rezim yang problematik.

“Padahal dalam kampus, ketika kita melihat kasus Munir dan Saiful Mahdi menunjukan kampus sebenarnya punya marwah yang penting. Seharusnya dalam ruang kampus menciptakan ruang aman, tetapi kenyataannya lebih disuguhi oleh pola-pola yang menghilangkan makna kuatnya intelektual,” jelas Dhia.

Saiful Muhadi sebagai salah satu akademisi yang mendapatkan kriminalisasi menyatakan keadaan di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja dan malah mungkin makin buruk.

“Sebuah ironi jika terjadi industrialisasi dan liberalisasi di dunia pendidikan, dimana pendidikan dipaksa menjadi semi-swasta secara keuangan, bahkan menjadi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbasis Hukum, red). Ketika perguruan tinggi makin menjadi seperti perusahaan dan swasta yang berbasis profit, maka sistem pendidikan akan dilakukan atas pengaruh politik-ekonomi yang kuat,” tutupnya. (mag/uaep/gra)

(Visited 134 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?