Malang, PERSPEKTIF – Siang hari yang terik di hari Minggu, umumnya orang-orang menghabiskan waktu keluar mencari angin segar. Pusat perbelanjaan dan jalan raya padat merayap diisi lautan manusia yang mencari tempat untuk melepas penat. Namun, tidak dengan saksi bisu geliat Malang sebagai kota pelajar, Pasar Buku Wilis. Pengunjung yang datang bisa dihitung dengan jari, entah mengapa demikian.
Kios-kios buku berderet di hadapan pedagang-pedagang buku yang duduk bersabar menanti pelanggan. Kala itu, kami memutuskan untuk berkeliling ke dalam area pasar, melihat lebih dekat situasi nyata kehidupan niaga Pasar Buku Wilis. Aroma kertas, pemandangan buku yang berderet, dan seruan-seruan pedagang menawarkan dagangannya turut menemani langkah kami.
“Mau cari buku apa mbak?” seru pedagang yang tak satu dua itu bertanya kepada kami. “Masih liat-liat dulu,” balas salah satu reporter kami dengan ramah.
Setelah usai berkeliling, kami mencoba untuk mendekati salah satu pedagang buku untuk kami wawancarai. Sayangnya, ia menolak dan penolakan ini tetap kami dapatkan dari dua pedagang selanjutnya. Beruntung dari pedagang terakhir, kami mendapatkan informasi kepada siapa sebaiknya wawancara dilakukan.
“Bapak Muharto, itu ketuanya,” ucap pedagang itu. Berbekal informasi tersebut, kami kembali menyusuri area pasar dengan tujuan untuk menemui Muharto, Ketua Koordinator Paguyuban Pasar Buku Wilis.
Tepat di tengah-tengah area Pasar Buku Wilis, kami akhirnya bertemu dengan Muharto bersama kumpulan pedagang-pedagang lainnya. Meski terdapat beberapa hambatan, akhirnya kami dapat melakukan wawancara bersama Muharto.
Cerita dari Para Pedagang Buku
Dalam sesi wawancara pada siang itu, Muharto bercerita mengenai kondisi Pasar Buku Wilis ketika pandemi hadir. Satu kata yang dapat menggambarkan kondisi pada saat itu adalah prihatin. Ia menjelaskan adanya perubahan yang cukup signifikan bagi Pasar Buku Wilis saat pandemi. Kala itu, menurut penuturan Muharto, para pedagang buku dapat dikatakan puasa berjualan karena nihilnya pelanggan yang datang berkunjung.
“Kalau penjualan buku sebelum pandemi ibarat 100%, kejadian pandemi bisa 5%, setelah sekarang mulai terbuka, merangkaknya itu sekitaran di angka 15% sampai 20% karena kan belum totalitas referensi dari buku kayak sebelum pandemi,” ujarnya sambil tersenyum (21/5).
Jika melihat situasi Pasar Buku Wilis pada saat itu, kami dapat memahami maksud pengibaratan yang diungkapkan oleh Muharto. Pengibaratan tersebut tentunya tidaklah berlebihan, berdasarkan penuturan Muharto, saat pandemi tengah berlangsung, tingkat kunjungan mahasiswa sebagai konsumen terbesar yang menghidupkan kegiatan di Pasar Buku Wilis, dapat dihitung dengan jari dan bahkan nihil keberadaannya di sana.
Dampak dari pandemi yang masih terasa hingga saat ini, membuat kami bertanya lebih jauh, salah satunya mengenai transaksi jual beli buku bekas dari mahasiswa yang menjadi salah satu aktivitas perniagaan yang ikonik di Pasar Buku Wilis. Muharto menjelaskan, bahwa ia dan pedagang buku lainnya masih menerima buku bekas yang dijual dari mahasiswa.
“Ya, kalau kita sih kebanyakan semua pedagang ini menerima tapi kadang kan buku yang laku dan tidaknya kan kita sama-sama spekulasi. Kita terima saja dengan kesepakatan harga dari pedagang dan penjual,” paparnya.
Pandemi dan Tren E-Book Mengurangi Eksistensi Buku Fisik
Beruntung kami berjumpa dengan Ikrim, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, pada kesempatan kali ini ia membeli buku ajar membaca untuk keponakannya. Ikrim adalah salah satu pembeli yang masih setia mengunjungi Pasar Buku Wilis sejak tahun 2020. Kesetiannya bukan tanpa alasan, kualitas dan harga menjadi pertimbangan serius baginya untuk membeli buku di Pasar Wilis. Sungguh disayangkan, pandemi yang sempat berkecamuk menghalanginya untuk berbelanja di Pasar Wilis.
“Waktu pandemi yang ketat memang sulit untuk ke sini,” tuturnya (21/05).
Selain pandemi yang menurunkan geliat jual beli buku loak, kemajuan teknologi turut mengancam eksistensi Pasar Wilis dengan hadirnya e-book. E-book diperkenalkan sebagai terobosan yang dapat memudahkan pembaca serta penikmat buku untuk memperoleh manfaat kepraktisan. Bahkan, di ranah pendidikan pihak tenaga ajar lebih menyarankan penggunaan e-book sebagai pengganti buku fisik dalam referensi pembelajaran.
Muharto mengaku, kehadiran e-book ataupun soft file yang beredar sejak era digital berpengaruh terhadap penurunan omzet penjualan buku bagi para pedagang di Pasar Wilis. Akan tetapi ia sendiri merasa bahwa kemajuan serta terobosan seperti itu merupakan suatu hal yang tidak dapat dibendung.
“Jadi sekarang itu keberadaan e-book memang berdampak, kita menyadari dan karena era digital kan, ya, jadi tidak bisa kita bendung,” ungkap Ketua Paguyuban Pasar Wilis itu dengan helaan nafasnya yang kasar.
Turut merasakan redupnya eksistensi buku fisik setelah adanya pandemi dan tersebarnya e-book, Sahda Syahira Auliareina, mahasiswa jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya (UB) yang juga merupakan pelanggan Pasar Buku Wilis, mengungkapkan bahwa keberadaan e-book dirasa cukup membantu karena sifatnya yang praktis serta harganya yang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan buku fisik.
“Kalau menurutku keberadaan e-book tuh membantu banget, apalagi buat kita yg kemana mana bawa HP, kan lebih mudah, ya, kita bawa HP terus cari file yang mau dibaca yauda tinggal baca,” terang Rena.
Namun, hal tersebut tidak memudarkan kesetiaan Ikrim dan Rena pada Pasar Buku Wilis. Di tengah berbagai kemudahan yang ditawarkan e-book, sebagai seorang pembaca, baik Ikrim maupun Rena sepakat, jika buku fisik jauh lebih nyaman digunakan. Dalam penggunaan buku fisik pembaca leluasa untuk mencoret-coret sekaligus menandai halaman yang dirasa penting, sehingga memudahkan mereka dalam proses belajar.
“Walaupun gitu, masih banyak kok orang orang yang lebih milih buat beli buku fisik. Rasanya baca buku fisik sama e-book itu beda,” jelas Rena.
Strategi Menyambung Hidup Para Pedagang Wilis
Di tengah dinamika perkembangan teknologi yang merambat ke setiap aspek kehidupan, para pedagang buku kian menyadari digitalisasi yang turut berimbas menggerus penghidupan mereka secara perlahan. Mau tidak mau Muharto dan para pedagang lainnya harus memutar otak mencari solusi agar tetap bisa bertahan di tengah-tengah zaman yang perlahan mulai berubah.
Muharto dan para pedagang lainnya mengungkapkan bahwa mereka akan terus mengakomodir agar Pasar Buku Wilis tetap dikunjungi pelanggan, karena di sanalah mereka bekerja untuk menyambung hidup. Sebagai salah satu bentuk adaptasi terhadap era digital, kini para pedagang buku sudah mulai berkenalan dengan media sosial hingga marketplace dalam rangka memberitahukan kepada khalayak bahwa Pasar Buku Wilis masih beraktivitas dan berdiri di tempatnya.
“Ya kita ya dari hal-hal apa ya, sosial media gitu kita keluarkan supaya yang lain-lain ini tahu bahwa keberadaan Pasar Wilis ini. Ada yang di Facebook, ada yang Instagram,” ujarnya menginformasikan kepada kami.
Dengan hembusan nafas, Muharto kembali melanjutkan ceritanya, terobosan yang dilakukan para pedagang buku untuk beradaptasi dengan era digitalisasi bukannya tanpa hambatan. Tidak semua pedagang yang ada mampu untuk menggunakan media sosial ataupun menjajakan barang dagangannya di marketplace, terlebih para pedagang buku yang sudah sepuh. Hingga akhirnya, upaya digitalisasi niaga hanya mampu dilakukan oleh sebagian kecil pedagang saja.
“Sampai di jualin ke marketplace gak hanya di porsi pasar buku aja, ya. Itu hanya sebagian kecil kan, kalau yang sepuh-sepuh, ya, kasihan, tidak tahu apa-apa,” jelas Muharto dengan suara yang semakin berat.
Matahari pada siang itu mulai tergelincir ke arah barat sedikit demi sedikit. Ditemani suara bising laju kendaraan di jalan, Muharto mewakili para pedagang lainnya mengungkapkan harapan untuk kehidupan niaga Pasar Buku Wilis kedepannya. Sosok mahasiswa turut menjadi sorotan di dalam isi harapan mereka.
“Dari pedagang sendiri terlebih saya itu kan kadang kalau kita berbicara dari kampus, PDF itu kan, mungkin Mbaknya melihat dari sisi digital itu sebatas, kan capek ya. Mungkin kalau buku kan, halaman sekian besok lagi atau nanti lagi kan, perbedaan yang terlihat kan. Harapan kami semua ya tetap (membaca buku fisik– red), karena ilmu itu ada di buku yang tertulis,” tutur Muharto, sekaligus menutup pertemuan kami dan begitu juga cerita dari para pedagang Pasar Buku Wilis.
Pasar Buku Wilis Harus Tetap Ada
Bagi pelanggan setia, keberadaaan Pasar Buku Wilis tentu menyimpan kenangannya tersendiri. Seperti yang diungkapkan Rena, ia mengatakan bahwa Pasar Wilis selalu menjadi pilihan pertama saat membutuhkan buku fisik. Ia rela menyusuri jajaran buku di setiap kios yang ada untuk mencari buku yang ia butuhkan di sana, meskipun seringkali ia mengalami kesulitan saat memilih buku di antara banyaknya tumpukan buku yang di jual.
Pengalaman serupa juga sering dialami Ikrim, ia kerap kali menemui kesulitan mencari buku yang ingin ia beli. Sebagai pelanggan setia, Ikrim sudah pasti memiliki beberapa saran pembenahan demi menjaga eksistensi Pasar Wilis. Ia berharap alangkah baiknya penataan ruko lebih diperhatikan, sedikit sesak dan ruang gerak untuk mencari buku menjadi terbatas
“Di sini tempatnya kayak agak sempit gitu ya, jadi kalau mau liat-liat tuh terbatas karena yang kelihatan yang di luar-luar aja. Penataannya yang mungkin lebih ditata kembali,” jelas Ikrim.
Dengan segala tantangan yang mengancam geliat pedagang buku di Pasar Buku Wilis, masih ada harapan harapan kecil yang disandarkan pada keberadaan pasar buku tersebut. Tentunya akan sangat disayangkan jika eksistensi Pasar Buku Wilis meredup begitu saja karena tergilas oleh perkembangan zaman yang semakin serba digital.
“Semoga walaupun di saat kesusahan seperti ini, Pasar Willis tetap bisa buka soalnya itu salah satu tempat yang memorable, jadi kalau misal Pasar Willis tuh ga ada kayak sayang banget gitu, sedih juga jika seandainya Pasar Willis tutup. Iya tidak, sih?” tutup Rena. (arl/saf/alc/yn)