Lompat ke konten

Tatapan di Balik Jeruji Besi

Oleh: Khesya Athaya*

Enyahnya malam menandakanku harus Kembali menjalani hari di balik jeruji besi, entah apa lagi yang harus kulakukan. Berdiam diri, mendengarkan tiap detik jam dinding, meratapi ruangan kecil sesak ini. Membosankan? Tentu saja, berharap adanya keajaiban untuk keluar dari bilik ini tiap mata ku baru terbuka. Dinding-dinding kusam dengan cat yang sudah mengelupas di beberapa sisi ini menjadi pendengar setia dari setiap helaan nafas yang ku keluarkan, mereka juga lelah mungkin mendengarnya. 

Erangan, teriakan, tangisan. Terekam jelas sudah di pikiran ku, suara yang terus-menerus menjalar, meruak, merebak ke telinga ku. Tidak, tidak selalu begitu. Kami, aku setidaknya, pernah tertawa dalam bilik ini. Menertawakan hal bodoh, menertawakan nasib ku sendiri yang berakhir disini, itu hal lucu bukan? Setidaknya lucu bagi ku. 

Berkaca, tampak bayangan lengkap dengan set pakaian bewarna jingga yang selalu dipakai tiap harinya. Wajah yang tak menggambarkan emosi apapun, bibir pucat pasi, mata dengan kantung hitam di bawahnya, rambut yang tak pernah tersentuh sisir. Lusuh.

Iri. Melihat beberapa dari mereka yang dikunjungi orang terkasihnya, keluarga, teman, siapapun. Mereka yang masih ditunggu, diharapkan untuk kembali pulang, berkumpul. Senyuman merekah di wajah mereka yang baru saja menghabiskan waktu singkat pada jam bertamu untuk berbincang dengan yang dirindukannya. Bahkan di luar sana tidak ada yang berharap untuk kepulangan ku. Lantas mengapa hasrat untuk keluar dari bui yang sudah menjadi rumah ku ini masih ada. Kembali menatap kosong ke pantulan diri ku di cermin bilik. Tak berharga kah aku? Sinar matahari pun enggan menjenggukku.

Langkah-langkah terdengar bergemuruh, jam makan siang rupanya. Makanan disini tidak seburuk yang ditampilkan di film-film. Busuk, sisaan. Hambar sih, tetapi siapa yang peduli kalau perut sudah berbunyi. 

Entah sudah berapa hari ku menghabiskan waktu dikurung dalam ruangan ini. Bukan karena kesalahan ku. Aku sendiri juga tidak tahu harus menyalahkan siapa. Toh apa pentingnya siapa yang salah kalau nyatanya tetap harus aku yang menunggu hukuman itu datang mengambil atma ku. 

Mencurahkan keresahan, kesedihan, kemarahan lewat surat-surat kecil yang sudah penuh berserakan di laci bilik. Barangkali akan ada yang menemukannya, namun mungkin saat itu aku sudah tidak berada di bilik ini, di dunia ini. 

Tujuh puluh lima domba, tujuh puluh enam domba, tujuh puluh tujuh domba…

Harus berapa domba lagi ku hitung tiap malamnya agar bisa terlelap. Mengantuk, tapi mata ku tetap terjaga. Bukan kasurnya yang keras sehingga membuat ku tak nyaman, bukan juga bilik tanpa pendingin ruangan yang membuatku kegerahan. Gelisah. Tidak tahu kapan hari itu akan tiba. Gelisah. Apakah itu besok, lusa, 3 hari lagi, atau kapan?

Bersambung…

(Visited 204 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswi Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Brawijaya angkatan 2022. Saat ini sedang aktif sebagai anggota magang di Divisi Sastra LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?