Malang, PERSPEKTIF – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menggelar webinar publik yang bertajuk “Gugatan Iklim Pulau Pari Dari Tiga Negara” pada Kamis (11/5) secara virtual. Webinar ini dilaksanakan karena kerusakan iklim yang disebabkan oleh perusahaan semen multinasional Swiss, yakni Holcim, di Pulau Pari. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya mata pencaharian dan dibuatnya gugatan hukum oleh warga Pulau Pari. Dalam webinar menghadirkan Mustaghfirin atau Bobby sebagai nelayan Pulau Pari dan penggugat Holcim, Puspa Dewy dari WALHI/Friends of Earth (FoE) Indonesia, dan Yvan Maillard dari HEKS/EPER, Swiss.
Yvan menuturkan bahwa tuntutan terhadap Holcim adalah untuk mengkompensasi secara proporsional terhadap kerusakan iklim yang terjadi di Pulau Pari, serta untuk mengurangi emisi karbon dioksida hingga 69% pada tahun 2040 dimana sebelumnya Holcim sudah memiliki langkah untuk mengurangi total emisi, tetapi dirasa gagal.
“Namun, Holcim memulai terlalu lambat dengan target pengurangan emisi mereka. Mereka menyampaikan bahwa mereka akan mengurangi emisi relatif pada tahun 2000-an awal, namun mereka juga menaikkan total emisi mereka secara absolut,” ucap Yvan.
Sementara itu, Mustaghfirin, atau familiar dikenal dengan Bobby, merasa bahwa perubahan-perubahan iklim yang terjadi membuat pekerjaannya dan kolega sebagai nelayan menjadi sangat terganggu dan kesulitan.
“Kami merasa bahwa untuk menjadi seorang nelayan, sangatlah terganggu karena adanya perubahan-perubahan yang dialami di lapangan, terutama di laut dengan adanya banjir rob dan angin kencang,” jelas Bobby.
Selain itu, Bobby juga takut mengenai kelangsungan hidupnya beserta keluarga-keluarga warga lainnya di Pulau Pari yakni kemungkinan tenggelamnya pulau di sekitar Kepulauan Seribu, Jakarta yang juga berdampak pada rumah tenggelam, air sumur yang terkontaminasi, serta ikan-ikan yang dahulu beragam kini sulit untuk ditangkap.
Bobby dan masyarakat Pulau Pari juga mengajukan tuntutannya yakni:
- Mengkompensasi secara proporsional terhadap kerusakan iklim yang terjadi di Pulau Pari.
- Mengurangi emisi karbon dioksida hingga 43% pada tahun 2030, dan 69% pada tahun 2040
Terakhir, Dewy menjelaskan mengenai data dari WALHI perihal peristiwa-peristiwa banjir rob yang tidak terlepas dari perubahan iklim. Akibat dari krisis iklim berdampak kepada nelayan, yang dikalkulasikan hanya bisa melaut selama enam bulan.
“Dalam satu tahun nelayan hanya bisa melaut selama enam bulan, sisanya harus beralih profesi menjadi kuli kasar atau pedagang. Setiap tahunnya, rata-rata seratus nelayan hilang atau meninggal akibat melaut pada saat cuaca buruk,” papar Dewy.
Dewy mengungkapkan bahwa dorongan untuk menjadikan gugatan iklim sebagai langkah untuk mencapai keadilan iklim, tidak lain karena kasus ini merupakan kasus gugatan iklim pertama di Indonesia yang dibawa ke tahap internasional dan mulai adanya upaya gerakan dari masyarakat sipil lainnya untuk melakukan gugatan iklim. (mag/uaep)