Malang, PERSPEKTIF – Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK) bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menggelar diskusi bertajuk “Mengadili Angin Tragedi Kanjuruhan” pada Minggu (26/3) secara virtual. Diskusi ini merupakan buntut dari vonis bebas hakim terhadap dua tersangka Tragedi Kanjuruhan, AKP Bambang dan Kompol Wahyu. Pertimbangan hakim yang menyalahkan angin sebagai sebab gas air mata bergerak menuju tribun, dinilai janggal dan menunjukan buruknya penegakan hukum di Indonesia.
Tommy Welly, seorang pengamat sepak bola turut memberikan pendapatnya terkait vonis yang diberikan terhadap lima tersangka. Ia menyatakan penegakan hukum yang terjadi dalam Tragedi Kanjuruhan mencederai kepercayaan insan sepakbola.
“Semua nilai-nilai sepakbola tentang respect, trust, unity, itu hilang. Apalagi dengan lelucon angin yang menjadi kambing hitam itu seolah kita ini tidak punya nalar atau akal sehat dalam menilai atau menganalisa suatu kejadian,” jelasnya.
Di lain sisi, Tioria Pretty, Wakil Koordinator KontraS Bidang Advokasi mengatakan, proses hukum Tragedi Kanjuruhan dilakukan dengan tidak sungguh-sungguh. Hal ini terlihat dari banyaknya kejanggalan yang terjadi dalam proses pengadilan.
“Sejak awal dalam proses persidangan, kami dari koalisi masyarakat sipil itu melihat sudah banyak kejanggalan,” ucapnya.
Tioria mengatakan, setidaknya ada sepuluh kejanggalan yang terjadi dalam proses persidangan Tragedi Kanjuruhan. Salah satu diantaranya adanya intimidasi saat proses persidangan.
“Kami menemukan adanya intimidasi oleh anggota kepolisian untuk membuat gaduh proses persidangan,” imbuhnya Teoria.
Ketua TATAK, Imam Hidayat menyatakan dengan banyaknya kejanggalan yang terjadi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) perlu melakukan penyelidikan ulang. Ia beralasan dengan kondisi saat ini, sukar untuk hakim memberikan keputusan yang adil. Maka dengan investigasi ulang, Tragedi Kanjuruhan diharapkan menjadi pelanggaran HAM berat.
“Kalau dari rekomendasi komisioner yang lalu, Komnas HAM menyimpulkan yang terjadi adalah pelanggaran HAM biasa bukan pelanggaran HAM berat. Padahal jika disimpulkan menjadi pelanggaran HAM berat itu masuk ke Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidik independen dan itu yang kita harapkan,” jelasnya.
Selaras dengan pernyataan Imam, Akmal Marhali, anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) mengatakan Tragedi Kanjuruhan tidak akan terselesaikan secara tuntas. Hal ini tercermin dari proses pengadilan yang tidak transparan dan adil.
“Kalau kita lihat dari kasus Tragedi Kanjuruhan, betapa buruknya tata kelola hukum yang ada di Indonesia dan betapa buruknya keadilan yang ada di negeri ini. Bahkan saya bisa menyebutkan keadilan di negeri ini sejatinya sudah mati untuk tragedi kanjuruhan,” papar Akmal.
Anis Hidayah, Koordinasi Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM menyatakan, adanya tujuh pelanggaran hak asasi yang terjadi dalam Tragedi Kanjuruhan. Salah satunya hak untuk memperoleh keadilan yang terbaik bagi para korban. Pelanggaran hak ini mengacu pada proses penegakan hukum dalam Tragedi Kanjuruhan yang tidak sesuai dengan standar HAM.
“Dalam proses penegakan hukum kemarin, kami menilai tidak diterapkan standar HAM yang sesuai dengan normanya sehingga menghasilkan putusan yang tidak adil,” ungkapannya.
Sementara itu, Devi Athok, salah seorang keluarga korban turut menyatakan harapan mengenai keadilan bagi Tragedi Kanjuruhan.
“Kalau keinginin keluarga korban harus dihukum setimpalnya. Harusnya seperti itu. Jangan malah menyalahkan angin. Dua polisi itu, AKP Bambang dan Kompol Wahyu seharusnya mereka dihukum seumur hidup,” tutupnya. (yn/gra)