Malang, PERSPEKTIF – Sri Mariyati tak kuasa membendung air mata saat angkat bicara ihwal penangkapan tiga petani Pakel oleh Polda Jawa Timur. Memorinya mengenai kejadian 23 tahun silam seakan diputar kembali, ketika kakeknya sendiri diringkus oleh aparat pemerintah buntut konflik lahan di desanya, Pakel, Kabupaten Banyuwangi.
Waktu itu Sri baru duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar (SD). Ia masih ingat betul bagaimana rumahnya diserbu dan digedor-gedor aparat. Sri dan keluarganya didesak keluar dari hunian mereka. Jika tidak, aparat mengancam akan membakar tempat tersebut.
Hiruk-pikuk itu terjadi tepat pada hari peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-55. Namun, yang dialami Sri dan warga Pakel justru sebaliknya. Perjuangan mereka merebut kemerdekaan untuk mengelola ruang hidupnya malah dikebiri oleh negara.
Kisah duka tersebut kini terulang kepada anaknya sendiri. Kakeknya disergap aparat pada hari Jumat (3/2) lalu. Sebagai anak, Sri menyatakan hatinya perih saat mengetahui hal ini. Perjuangan warga Pakel untuk merebut ruang hidupnya menurut Sri bukan hal yang mudah, tapi demikian berat. Namun ia tetap teguh bertahan agar dapat mencari keadilan bagi semua. Sri tak mau sedihnya terbuang sia-sia.
“Kita tidak boleh bungkam. Kita harus cari ‘obat’ agar yang lain dapat sembuh juga,” tutur Sri lewat Twitch TV dalam acara “Perjuangan Ruang Hidup dan Kriminalisasi Petani Pakel” oleh Komite Puputan Pakel pada Minggu (12/2) lalu.
Layar virtual Twitch TV kemudian diisi dengan haru seorang istri yang suaminya tengah mendekam di Lapas. Bu Wo, begitu istri Untung, salah seorang petani Pakel yang ditangkap Polda Jawa Timur ini disapa. Pikirannya kini sedang kalut memikirkan nasib sang suami sembari menenangkan anak-anaknya yang juga kaget atas penangkapan tersebut. Dengan mata yang masih sembab, ia hanya bisa berucap, “semoga bapak bisa cepat keluar.”
Runtut Waktu Penetapan dan Penangkapan Trio Pakel
Duka yang dialami Sri dan Bu Wo berangkat dari Jumat (20/1) lalu, saat warga Pakel dikejutkan oleh sepucuk surat pemanggilan dari Polda Jawa Timur kepada tiga petani Pakel, yakni Mulyadi, Untung, dan Suwarno (Trio Pakel). Surat tersebut berisikan penetapan tersangka untuk Trio Pakel. Mereka dikenakan Pasal 14 dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Trio Pakel dituduh menyebarkan kabar bohong oleh Polda Jawa Timur.
Berdasarkan konferensi pers yang digelar oleh Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam (Tekad Garuda) bersama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya pada Rabu (1/2), penetapan status tersangka dari ketiga petani pakel terkesan sangat “ugal-ugalan”. Hal ini tercermin dari proses pemanggilan dan penetapan tersangka Trio Pakel yang saling berdekatan.
Dalam konferensi tersebut, Wahyu dari WALHI Jawa Timur menuturkan jika penetapan tiga orang tersangka warga Pakel akan memperpanjang rentetan konflik agraria yang terjadi.
“Tiga orang yang tersangka ini akan memperpanjang cerita yang padahal penetapan tersangka itu harus clear dan jelas,” ucapnya.
Tak berselang lama dari penetapan tersangka Trio Pakel, kabar mengejutkan kembali datang. Tepatnya pada hari Jumat (3/2). Kabar tersebut mengenai penangkapan Trio Pakel yang tiba-tiba dan penuh kesenyapan.
Sri Maryati menceritakan kembali bagaimana kronologi penangkapan Trio Pakel. Ia bertutur kala malam telah larut dan lampu-lampu di sekitar perumahan warga sudah padam, di tengah keheningan malam itu Sri Maryati mendapatkan kabar mengenai penangkapan dari Trio Pakel.
Kabar tersebut sampai kepada Sri lewat perantara Pak Ponari, warga yang membersamai Trio Pakel dalam perjalanan pulang sebelum akhirnya diberhentikan oleh sekumpulan orang tidak dikenal dan dibawa bersama mereka.
Mendapatkan kabar mengejutkan itu, Sri, bersama dengan keluarga Trio Pakel yang lain mencoba untuk mencari jawaban ke Polres Banyuwangi, berharap akan mendapatkan titik terang terkait penangkapan tersebut. Namun jawaban yang menenangkan tidak didapatkan oleh mereka. Polres Banyuwangi mengaku pada malam itu sama sekali tidak ada penangkapan.
Diliputi perasaan cemas yang memuncak dan kebingungan karena tidak mendapatkan titik terang mengenai keberadaan Trio Pakel, Sri dan keluarga yang lain mencoba mendatangi tempat di mana trio pakel dihadang orang tidak dikenal tersebut, menanyai Polsek terdekat dengan harapan akan menemukan kepastian terkait penangkapan tersebut. Namun jawaban yang diterima selalu sama bahwa pada malam itu tidak ada penangkapan.
“Kita bingunglah, kok bisa? Terus siapa yang menculik mereka? Kita menganggapnya seperti penculikan karena tidak tahu sama sekali siapa yang menangkap karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan,” tutur Sri (15/2).
Akhirnya pada Rabu (8/2), Kasubdit I Keamanan Negara Polda Jawa Timur, Ajun Komisaris Besar Polisi Achmad Taufiqqurahman merilis kasus penangkapan Trio Pakel tersebut di Surabaya. Seperti yang dikutip dari jatim.antaranews.com, Polisi menangkap mereka dengan barang bukti berupa salinan akta penunjukan atas nama Sri Baginda Ratu tanggal 11 Januari 1929 yang disebut “Akta 29”, flashdisk berisi video yang dianggap hoax, legalitas PT Bumisari, dan tiga unit telepon seluler.
Ihwal penangkapan ini, Taufiqurochim dari Tekad Garuda mengatakan Polda Jawa Timur ingin menciptakan konspirasi kalau “Akta 29” tersebut tidak sah. Padahal mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menguji hal tersebut.
“Bukan warga, tapi Polda sendiri hadir sebagai episentrum keonaran di nasional,” tuturnya dalam diskusi bertema “Perjuangan Ruang Hidup dan Kriminalisasi Petani Pakel” pada Minggu (12/2).
Satu Abad Konflik Pakel
Rentetan peristiwa di atas adalah bagian kecil dari kisah konflik lahan di Desa Pakel. Kasus ini sudah terjadi sangat lama, bila dihitung maka sudah hampir satu abad masyarakat Pakel mempertahankan lahannya dari pemerintah kolonial dan PT Bumi Sari. Selama itu juga usaha mereka belum membuahkan hasil, bahkan perusahaan itu masih tetap melanjutkan aktivitasnya dengan aman aman saja.
“Sejak tahun 2021, kami (Walhi Jawa Timur, red) sudah menyampaikan ke beberapa instansi terkait. Tetapi konflik ini panjang, terdapat penanganan yang tidak sesuai, kami coba menyampaikannya lagi,” ucap Wahyu Eka perwakilan dari Walhi Jawa Timur ketika konferensi pers ‘Stop Kriminalisasi Pejuang Pakel-Banyuwangi’.
Mengingat perjuangan masyarakat Pakel sejak tahun 1925, Mulyadi Kepala Desa Pakel bercerita pada saat itu leluhur mereka mengajukan izin untuk membuka lahan hingga tahun 1929 diberikan izin untuk membuka lahan. Izin itu tertuang dalam “Akta 29” yang diterbitkan oleh R.A.A.M Achmad Notohadi Suryo, Bupati Banyuwangi pada masa pemerintahan Kolonial Belanda.Tak jelas dan tiba-tiba, ketika era pemerintahan Soeharto lahan tersebut digunakan oleh PT Bumisari dan Perhutani.
“Waktu tumbangnya Soeharto tahun 1999 mencoba untuk membuka lahan dan menduduki kembali. Kok tahu tahunya masyarakat malah diintimidasi oleh aparat kepolisian dan banyak yang ditangkap dan dipenjara dan saya sendiri termasuk korbannya,” cerita Mulyadi dalam dokumenter berjudul “PAKEL” di kanal Youtube WALHI Jawa Timur.
Nyatanya bukan Mulyadi saja yang ditangkap, Suwarni bercerita setiap warga ada di jalan ditangkap dan dinaikkan ke mobil. Sejak itu di Pakel tidak ada seorang laki laki satupun, banyak yang melarikan diri takut ditangkap.
“Bahkan saya dan rekan saya juga ditangkap sekitar 30 orang, kami pukuli dan divonis hukuman penjara. Saya tidak diizinkan untuk menghadiri pernikahan putri saya saat itu, “ kata Ma”rufin mengingat ingat kisah itu.
Isak tangis kembali terdengar dengan jelas ketika Harun bercerita. Ketika malam yang gelap rumahnya digrebek dan diterjang, ia mengingat kalimat dari luar rumah yang terlontar kalau tidak keluar rumahnya akan terbakar. Dengan ketakutan, Harun nginap ke tempat lain menyelamatkan diri.
“Sejak kejadian itu, saya ndak makan dan tidak bisa menafkahi anak saya karena suami saya ngga bisa ngasih uang bulanan. Saya hanya punya ayam saat itu dan jual dengan harga Rp15.000 agar anak saya bisa makan,” kata Harun sambil mengusap air matanya.
Tak cuma teror yang didapatkan warga Pakel, krisis pangan dan perekonomian yang hancur harus diterima saat itu. Seperti Tik yang juga tak punya uang saat itu. Ketika harga beras Rp700, ibunya hanya mampu membeli beras seharga Rp350 itu pun beras menir, anaknya beras yang kecil.
“Kejadian itu membuat saya kalau cerita selalu menangis, ibu nangis. Karena kejadian itu ayah saya tidak pernah pulang, ayah saya kangen. Kata ibu jangan bilang kalau ayah masih ada, nanti kalau kamu masih bilang ayah masih ada, ayah ketangkep, bilang saja ayah sudah meninggal,” cerita Tik sambil tersendu sendu menahan kangen dengan ayahnya.
Padahal berdasarkan SK Mendagri Nomor 35 Tahun 1985 menegaskan (Hak Guna Usaha) HGU PT Bumi Sari hanya di Kluncing dan Songgon dengan luas 1189,11 ha. Kemudian BPN banyuwangi tahun 2018 mengatakan tanah desa tidak masuk dalam HGU PT. Bumi Sari.
“Kami menganalisa tiga poin yaitu pelanggaran HAM terkait dengan penyerobotan tanah yang dilakukan oleh PT Bumi Sari, adanya dugaan penggelapan pajak yang dilakukan PT Bumi Sari karena wilayah HGUnya tidak terdapat dipakel tetapi mereka menguasai wilayah tanah Pakel, serta dugaan tindak pidana korupsi dalam proses perizinan HGU,” kata Hari Kurniawan, Tim Hukum Pakel.
Gaung Solidaritas untuk Pakel
Jarak 1.063 kilometer yang membentang antara Banyuwangi dan Jakarta tak sedikitpun mengusik tekad Aditya. Pada Jumat (10/2) lalu, pemuda 18 tahun ini menempuh perjalanan dari Pakel ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan Hadi Tjahjanto, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ART/BPN). Aditya ingin mengadukan ihwal nasib ayahnya, Untung, yang ditangkap Polda Jawa Timur karena memperjuangkan ruang hidup warga desanya.
Sesampainya di Jakarta, Aditya bersama puluhan orang dari Jejaring Advokasi dan Solidaritas untuk Warga Pakel Banyuwangi melakukan aksi mogok makan di depan Kementerian ART/BPN. Aksi ini mereka lakukan mulai dari Senin (20/2) sampai Kamis (2/3). Mereka menuntut pemerintah agar segera menyelesaikan konflik agraria yang terjadi antara warga Pakel dan PT Bumi Sari. Selain itu, solidaritas ini juga menegaskan agar Menteri ART/BPN segera mencabut hak guna tanah perusahaan tersebut.
“Kami berharap tiga warga Pakel segera dibebaskan. Yang kedua, kami minta ART/BPN dan instansi-instansi terkait yang ada di sini untuk turun tangan menyelesaikan konflik agraria di Pakel,” tutur Alvina, salah seorang warga pakel yang ikut dalam aksi mogok makan saat diwawancarai oleh Sorge Magazine.
Sejak ditangkapnya Trio Pakel, gaung solidaritas masyarakat sipil kian terdengar dari berbagai penjuru. Melihat dari petisi yang dibuat oleh Tekad Garuda di change.org berjudul “Cabut HGU PT. Bumi Sari, Bebaskan 3 Petani Pakel Banyuwangi dan Wujudkan Keadilan Agraria” telah ditandatangani lebih dari 23,5 ribu orang pada Kamis (2/3).
Tuntutan yang tertuang dalam petisi ini adalah penyelesaian kasus warga Pakel banyuwangi oleh Presiden Joko Widodo dan pemulihan hak ekonomi, sosial, budaya yang dirampas. Mendesak Kapolri dan Kapolda Jawa Timur untuk membebaskan Mulyadi, Suwarno, dan Untung serta mencabut status tersangkanya. Menuntut Kementerian ART/BPN mencabut HGU PT Bumi Sari. Lalu mendesak Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mengevaluasi Polda Jawa Timur dan Polres Banyuwangi.
“Mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi, perlindungan hukum dan berbagai upaya-langkah strategis terkait pelanggaran HAM yang terjadi di Pakel,” bunyi tuntutan terakhir dalam petisi tersebut.
Selain itu, muncul juga aliansi solidaritas bernama Tim Advokasi Warga Pakel yang terdiri dari beragam organisasi masyarakat. Antara lain seperti Tekad Garuda, MHH PP Muhammadiyah, LPBH NU Banyuwangi, LHKP PP Muhammadiyah, LBH Surabaya, WALHI Jawa Timur, ForBanyuwangi, dan LBH Disabilitas.
Aksi yang dilakukan warga Pakel di Jakarta kemudian mendapat respon dari beberapa instansi pemerintah. Misal Kompolnas yang berjanji akan turun lapangan untuk gelar perkara terkait kriminalisasi warga Pakel. Komnas HAM juga sedang melakukan pemantauan dan penyelidikan terhadap kasus ini.
Pradipta Indra, Pembela Hukum dan Kebijakan Publik WALHI Jawa Timur dalam keterangannya kepada mongabay.co.id, mendorong agar Komnas HAM menjadi inisiator penyelesaian konflik Pakel. Ia juga berharap Komnas HAM dapat menyelidiki keabsahan dokumen “Akta 1929” dengan melakukan pertemuan ahli. Menurutnya, usaha tadi dapat menjadi titik terang penyelesaian konflik agraria yang sudah terjadi sejak tahun 1929 ini.
“Konflik tanah di Pakel ini penyelesaiannya tidak sebatas formalitas, tapi perlu dilihat historis masyarakat dalam mempertahankan ruang hidupnya,” tutur Indra. (gra/uaep/yn/rsa)