Malang, PERSPEKTIF – Wis gak usah wis. Kalimat tersebut jatuh begitu saja dalam obrolan Biru (bukan nama sebenarnya, red) dan teman-temannya yang masih ragu untuk melangkahkan kaki menuju Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 lalu. Pertandingan besar antara Arema FC dan Persebaya seketika diliputi oleh perasaan gundah yang tidak mengenakan. Namun, Biru dan teman-temannya kemudian mampu untuk memupuk tekad dan berangkat menuju Stadion Kanjuruhan pada pukul lima sore dari kampus.
Sekitar pukul setengah delapan malam mereka sampai di sana. Atmosfer pertandingan terasa sangat panas. Hal ini tak lepas dari sejarah rivalitas antara dua klub sepakbola dari dua kota besar di Jawa Timur ini. Belum lagi kondisi stadion yang penuh dipadati penonton membuat suasana pertandingan menjadi mencekam. Lantas, pada pukul delapan malam, pertandingan pun dimulai.
Peluit pertandingan berakhir dengan kemenangan Persebaya terhadap Sang Tuan Rumah, Arema FC. “Kekalahan ini membuat suporter kecewa karena selama 23 tahun Arema tidak pernah kalah di kandang,” tutur Biru. Melihat situasi tersebut, pemain Persebaya langsung bergegas memasuki ruang ganti bersama dengan aparat keamanan. Sedangkan pemain Arema masih berada di lapangan dengan menunjukkan gestur tubuh menyesal, kecewa, dan sedih. “Ada juga yang menunduk dan meminta maaf juga,” imbuh Biru.
Tak lama dari itu, mulai ada Aremania (sebutan untuk suporter Arema FC, red) yang turun ke lapangan dan memberikan semangat terhadap pemain Arema. Turun ke lapangan untuk menyemangati pemain bukanlah hal baru yang dilakukan Aremania ketika pertandingan usai. “Pada tahun 2019, pertandingan Arema-Persebaya juga supoter turun lapangan,” terang Biru.
Rentetan konflik mulai terjadi ketika gelombang kedua Aremania yang turun ke lapangan. Jumlah massa yang lebih banyak ini ada yang diamankan oleh aparat karena terdapat pihak dari suporter dan aparat yang terprovokasi. Kejadian begitu cepat dengan banyak Aremania turun tangan untuk membantu rekannya yang mendapat tindakan represif dari aparat. Hal ini membuat situasi di Stadion Kanjuruhan menjadi kian tidak kondusif. Apalagi ketika banyak personil keamanan mulai menembakan gas air mata menuju tribun penonton.
“Pertama kali gas air mata ditembakkan di arah selatan mengarah ke tribun dan tidak ke lapangan. Tembakan beruntun dari tribun selatan kemudian ditembakkan lagi ke tribun timur dan berlanjut ke tribun utara,” ungkap Biru.
Melihat situasi yang mulai tak terkendali, Biru dan rombongannya kemudian bergegas untuk keluar stadion. Desak-desakan dengan penonton lain yang sedang panik tak dapat dihindarkan. Sembari menutup matanya yang perih akibat gas air mata, Biru akhirnya sampai di luar stadion.
Meski demikian, tembakan gas air mata tetap berlangsung di luar stadion, tepatnya di area parkiran. “Tembakan gas air mata itu bahkan tepat di atas kepalaku dan teman-teman,” tutur Biru. Ia menyatakan efek gas air mata terhadapnya malah lebih terasa di luar stadion ini daripada di dalam.
Situasi di luar stadion ternyata tak beda mencekamnya. Di sini, Biru melihat banyak kejadian menyesakkan seperti anak kecil yang tersesat karena tertinggal oleh orang tuanya dan hiruk-pikuk orang-orang yang sedang panik. “Banyak yang pingsan dan ada yang digotong. Tidak tahu itu hanya pingsan atau sudah tak bernyawa,” tuturnya.
Sekitar pukul dua atau tiga dini hari, akhirnya Biru bisa pulang ke kediamannya. Namun, trauma dan syok masih membayanginya. Bahkan, Biru selama tiga hari tidak masuk kuliah. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ada teman-temannya yang meninggal dunia setelah peristiwa tersebut. “Kok bisa kita perginya bersama, tapi saat pulang ada yang tinggal nama,” ujar Biru.
Selain kondisi mental, secara fisik, Biru pun masih merasakan dampaknya. “Yang paling terasa adalah paru-paru saya sakit dan sesak, serta tenggorokan saya seperti radang,” jelasnya. Namun, Biru mengaku tidak mendapatkan kompensasi dari pihak berwenang atas kejadian yang ia alami.
Korban hidup kanjuruhan lain bernama Langit (bukan nama sebenarnya, red) mengaku sempat didatangi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk memastikan kondisi kesehatannya pasca tragedi tersebut.
“Namun keadilan hingga saat ini belum menemukan titik terang sehingga harus segera diselesaikan seadil-adilnya. Khususnya bagi korban yang sudah kehilangan nyawa dan keluarga,” tuturnya.
Jalan Terjal Proses Advokasi
Kisah Biru dan Langit di atas menunjukan telah terjadi tragedi kemanusiaan yang besar di Stadion Kanjuruhan pada awal bulan Oktober lalu. Salah satu pihak yang turut membantu pengadvokasian kasus ini adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang.
Ditemui Tim Perspektif, Daniel Alexander Siagian selaku Koordinator LBH Pos Malang memaparkan kelanjutan dari proses advokasi tragedi kanjuruhan yang telah menemukan beberapa rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Komnas HAM sendiri telah memaparkan rekomendasi berupa tujuh bentuk pelanggaran HAM di tragedi Kanjuruhan yaitu hak untuk hidup, akses kesehatan, hak atas akses keadilan dan berbagai macam lainnya. “Instansi yang kita tunjuk untuk bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM adalah Polda Jawa Timur dan juga Pangdam Brawijaya Jawa Timur,” tutur Daniel (23/11).
Ia menambahkan, untuk pihak LPSK, LBH malang mendesak agar setiap saksi, korban, keluarga korban, dan saksi mata mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. “Agar seluruh korban tidak takut lagi untuk bersuara atau menyampaikan kesaksiannya,” imbuh Daniel.
Selain itu, pihaknya juga menuntut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk melakukan tindakan proaktif dalam pemantauan serta turun langsung ke keluarga korban. Mengingat, kurang lebih ada 36 atau 35-an anak di bawah umur yang menjadi korban tragedi kanjuruhan.
LBH Pos Malang lantas membentuk Jaringan Solidaritas bagi Korban Kanjuruhan (JSKK) untuk memaksimalkan akses keadilan kepada keluarga korban, saksi korban, dan saksi mata tidak dibatasi atau tidak dikurangi. Beberapa upaya hukum yang akan dilakukan adalah gugatan warga negara atau citizen law suit, gugatan kelas, serta class action. Mereka juga mendorong Komnas HAM untuk menyelidiki ulang kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak. “Memutuskan pelanggaran HAM berat atau tidak itu memerlukan beberapa rangkaian yang tidak bisa selesai dalam sebulan dua bulan atau pun seminggu dua minggu. Jadi ini prosesnya panjang,” jelas Daniel.
Ia menambahkan, “Kita sudah membentuk kuasa hukum bersama. Kurang lebih ada puluhan keluarga korban, saksi korban, dan saksi mata yang kita dampingi. Kita kawal bagaimana pemberian santunannya, pemberian hak korban untuk mendapat restitusi atau kompensasi, itu menjadi kerangka luas dari pendampingan kita.”
Meski begitu, proses advokasi ini tak berjalan semudah itu. Banyak tantangan yang terjadi. Daniel bercerita bahwa terjadi intimidasi aparat yang nyata kepada keluarga korban berinisial DA ketika bersedia diotopsi. Dalam kurun waktu lima sampai enam hari keluarga korban tersebut didatangi aparat seperti perangkat desa.
Selain itu, proses intimidasi juga terjadi saat Daniel dan rombongan keluarga korban serta saksi ingin berangkat ke Jakarta hari Rabu (16/11) lalu dalam rangka bertemu dengan pihak-pihak terkait kasus kanjuruhan di pusat. Mereka sempat dihalang-halangi oleh Polda Jawa Timur. “Tidak ada yang salah kita ke Jakarta ini kenapa harus dihalang-halangi?” tanya Daniel.
Merawat Ingatan, Menolak Lupa
Tragedi Kanjuruhan memang sudah terjadi berbulan-bulan lalu. Sebanyak 135 orang dinyatakan meninggal dalam kasus tersebut. Ihwal ini, Biru menyatakan tidak ada sepak bola yang seharga nyawa. Maka dari itu, korban hidup maupun yang meninggal harus diberikan keadilan. “Menurut saya pemerintah harus mengawal terus kejadian kanjuruhan karena ini menjadi aib bagi Indonesia akibat tindakan brutalitas aparat terhadap rakyat,” tegasnya.
Ia menambahkan, penegak hukum harus berani mengungkap aktor intelektual dan aktor lapangan biar dihukum seberat-beratnya. Menurut Biru, kejadian ini bukan hanya tragedi semata tapi pembunuhan berencana sehingga pemerintah harus melakukan upaya yang konkrit bukan malah menyoroti hal sepele seperti tangga stadion yang curam. Apalagi jika melihat tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepada suporter yang tidak berdaya. “Kita bahkan bawa korek dan botol saja tidak diperbolehkan di stadion, terus kita mau lawan pakai apa? Jadi tindak represif aparat menurutku tidak masuk akal,” jelasnya.
Biru juga menyoroti tentang Liga 1 yang tetap dijalankan padahal di Indonesia sedang mengalami peristiwa duka yang besar. Begitu juga dengan pihak Official Arema dan PSSI serta PT Liga Indonesia Baru (LIB) yang menurutnya tidak mempunyai simpati dan rasa bersalah kepada para korban. Padahal, korban-korban tersebut merupakan suporternya sendiri. “Ini seharusnya menjadi pelajaran buat kita, Arema, biar introspeksi diri,” ungkapnya.
Tak berbeda dengan Biru, Langit juga mengharapkan agar kedepannya sepakbola Indonesia bisa lebih baik lagi dalam segala hal mulai dari lembaga yang menaungi yatu PSSI, PT LIB dan lain sebagainya. Perbaikan menurut Langit harus meliputi segala lini mulai dari sistem, keamanan, dan jam pertandingan.
Pembahasan lain datang dari Arief Setiawan, akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB. Dalam diskusi “Reformasi Polri: Evaluasi Bersih Tubuh Polri” pada Rabu (23/11) di Auditorium Nuswantara FISIP UB, ia menyatakan bahwa polisi masih sering dilaporkan mengenai kasus pelanggaran HAM yang salah satunya adalah Tragedi Kanjuruhan.
Maka menurut Arief, polisi mesti berbenah dengan merubah pendekatannya menjadi civil police. Konsep ini menekankan pada supremasi sipil terhadap militer. Demokratisasi sektor keamanan menjadi penting untuk mereformasi kepolisian melalui tiga aspek utama yaitu aspek struktural, instrumental, dan kultural. Arif mengingatkan hal ini penting dilakukan sebab, “akan ada lagi kehilangan ketika kita melupakan.”
Terakhir mengenai penanganan kasus, Daniel berpesan agar kasus ini harus berperspektif pada korban dan jangan berperspektif pada pelaku. “Kita harus memahami bahwa korban itu yang mengalami dan menderita secara langsung batin maupun fisik dari kejadian ini. Penuntasan kasus harus berperspektif pada korban,” tegasnya. (vny/lia/uaep)