Malang, PERSPEKTIF – Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ManifesT Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang menggelar Nonton Bareng (Nobar) dan Diskusi Publik bertema “Titik Nadir Menggugat Negara Menetapkan Kasus Pembunuhan Munir sebagai Pelanggaran HAM Berat” pada Rabu (7/9) di Mimbar Demokrasi Gedung C FH UB. Acara ini menandai 18 tahun kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib yang belum diselesaikan sampai sekarang.
Diskusi turut mengundang Dhia Al-Uyun selaku Akademisi FH UB, Daniel Alexander Siagian selaku Koordinator LBH Surabaya Pos Malang, Moh. Badar Risqullah dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang dan Al Ghozali selaku perwakilan Relawan Aksi Kamisan Malang.
Dhia Al-Uyun sebagai pemateri pertama menjelaskan, penyebab negara enggan menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat karena akan membuka peluang kasus-kasus pelanggaran hak asasi lainnya turut diselidiki kembali.
“Menurut riset saya, situasi adanya serangan-serangan negara itu untuk melemahkan masyarakat yang sedang berjuang, salah satunya dengan menyerang pembela hak asasi manusia. Pola itu sudah jelas dan itu hasilnya melibatkan propaganda dari penguasa,” ujarnya.
Sependapat, Daniel mengatakan kasus Munir tak bisa dipandang sekedar pidana pembunuhan biasa. Apalagi hukum Indonesia yang masih mengenal istilah masa kadaluarsa. Menurutnya, hal ini bisa menjadi ancaman terhadap keberlangsungan demokrasi.
“Munir adalah orang yang lahir, berproses mendampingi kasus kasus yang bersinggungan dengan penjahat HAM. Dari permasalahan ini pertanyaannya sederhana, 18 tahun kasus ini belum ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat bagaimana komitmen negara? Bagaimana komitmen dari presiden terutama terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM berat ini?” tanya Daniel.
Badar lalu menjelaskan bagaimana peran media dalam menuntaskan kasus Munir yang tidak pernah serius ditangani negara.
“Jangan terus lelah menyuarakan. Bagi aku sendiri pegiat media dan teman-teman aktivis media, selama ini beberapa isu penting hanya seperti angin berlalu. Kita sebagai masyarakat yang mengerti ilmu perlu melihat kasus Munir dan pelanggaran HAM lainnya yang mau tak mau kita harus suarakan. Jangan sampai isu seperti ini tenggelam, ” jelas Badar.
Al ghozali juga mengatakan dari permasalahan Munir dapat dilihat bahwa negara abai terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Kita bisa saja berpotensi menjadi korban, pembunuhan Munir bukan hanya pembunuhan individu tetapi merupakan pembungkaman terhadap masyarakat sipil Indonesia. Apakah teman-teman akan berhenti, takut? Apakah perlawanan hanya akan berhenti di titik ini?,” kata Al Ghozali.
Terakhir, keempat pemateri serentak mengatakan ketika diam, maka sama dengan melakukan penindasan sehingga perlu tindakan kolektif guna mengawal pembunuhan Munir dan kasus HAM lainnya. (uaep/gra)