Lompat ke konten

Menggugat Pengesahan RUU Daerah Otonomi Baru di Papua yang Minim Partisipasi

Timotius Murib dalam Konferensi Pers Koalisi Kemanusiaan untuk Papua

Malang, PERSPEKTIF Koalisi Kemanusiaan untuk Papua mengadakan Konferensi Pers secara virtual pada Kamis, 30 Juni sebagai respon terhadap rencana pengesahan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua. Konferensi Pers ini dihadiri oleh Usman Hamid sebagai perwakilan dari Koalisi Kemanusiaan untuk Papua, Timotius Murib perwakilan dari Majelis Rakyat Papua (MRP), Ronald Tapilatu perwakilan dari Biro Papua PGI, Dora Balubun dari Gereja Kristen Injil (GKI) Tanah Papua, dan Ika Mulait sebagai perwakilan dari Petisi Rakyat Papua.

Selaku anggota MRP, Timotius Murib menyayangkan kebijakan pemerintah dan DPR yang mengesahkan RUU DOB Papua. Hal ini dikarenakan menurutnya pemerintah tak menghargai proses uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua yang tinggal menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Selaras dengan itu, Usman Hamid menyampaikan bahwa pemerintah dianggap melanggar hukum atau melakukan penyelundupan hukum karena pengesahan RUU DOB dilakukan tanpa memenuhi dua mekanisme yang berlaku. 

“Menurut Pasal 76 Undang-Undang Otsus Tahun 2001, pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi setidaknya harus memenuhi 2 mekanisme. Satu, harus dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua). Tanpa persetujuan dua lembaga representasi kultural dan representasi politik orang asli Papua, maka DOB tidak bisa dilakukan. Yang kedua, pemekaran Provinsi Papua dilakukan dengan mempertimbangkan 4 faktor, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, perkembangan ekonomi dan dinamika perkembangan di masa depan,” tuturnya. 

Pembentukan RUU DOB diyakini Usman sebagai kemerosotan dalam kualitas pengambilan kebijakan di Indonesia, merosotnya kualitas legislasi, merosotnya kualitas parlemen dan meningkatnya produk hukum yang tidak demokratis, serta produk hukum yang anti partisipasi rakyat. 

Sementara itu, Dora Balubun menjelaskan bahwa pemekaran provinsi ini juga dianggap sebagai sumber konflik untuk masyarakat adat yang akan memperebutkan wilayah Ibu Kota Provinsi. Ditambah, pemerintah belum mempresentasikan jumlah orang asli Papua di tiap provinsi yang akan dimekarkan yang diharapkan dapat mengisi tempat atau pekerjaan di wilayah provinsi yang baru. Dan berapa banyak juga aparat yang datang ke provinsi baru. 

Ika Mulait kemudian berujar bahwa dengan dua provinsi saja pelanggaran HAM sudah banyak terjadi di Papua, apalagi ditambah tiga provinsi. Pemerintah tidak melihat dampak negatif negatif di tengah masyarakat, hanya menimbang dampak positifnya saja.

Terakhir, Timotius Murib menyatakan pemekaran wilayah ini bukan untuk kesejahteraan orang asli Papua, tetapi untuk memburu atau mencari sesuatu di tanah Papua yang kemungkinan besar itu adalah kekayaan alam Papua. 

“Pemerintah saat ini tidak berpikir untuk kepentingan kesejahteraan orang asli Papua, tapi kepentingan bagaimana mendatangkan sebanyak-banyaknya militer di tanah Papua untuk mengelola sumber daya alam Papua,” pungkas Timotius. (fy/gra)

(Visited 75 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?