Malang, PERSPEKTIF – Himpunan Mahasiswa Sosiologi (HIMASIGI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) melangsungkan diskusi MAKAR Volume 2 yang bertema: Konflik Agraria di Kota Batu dengan tajuk “Angan-Angan Pembangunan, Rujukan Kehancuran Lingkungan” secara virtual pada Minggu (29/5). Diskusi ini menghadirkan Kepala Bidang Penataan dan Penaatan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batu, Koordinator Nawakalam Gemulo, perwakilan ASMARA (Aliansi Selamatkan Malang Raya), serta perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Diskusi ini didasari atas permasalahan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batu. Permasalahan ini menyangkut dampak pembangunan terhadap lingkungan, peran serta dan keterlibatan masyarakat terhadap regulasi daerah, serta kasus pelanggaran perizinan pembangunan yang marak terjadi di Kota Batu.
Diskusi ini diawali dengan pembahasan Kota Batu yang genap 20 tahun menjadi Kota Madya, namun saat ini sedang dihadapkan dengan ketidakmampuan pemerintah dalam mengatur penataan ruang dan pembangunan daerah. Selain itu, banyak kasus pelanggaran perizinan pembangunan dinormalisasikan oleh Pemerintah Kota Batu. Hal ini membuat seakan-akan Pemerintah tidak memiliki acuan yang jelas dalam mengatasi permasalahan tersebut.
“Yang menjadi pertanyaan adalah apakah mereka membangun terlebih dahulu baru memproses perizinan? Begitu pula dengan dampak pembangunan yang terasa seperti kenaikan suhu, kemacetan, perubahan iklim. Untuk itu, tidak semata-mata terjadi karena alam tetapi ada penyebab dari tangan manusia” ujar Pradipta Indra selaku perwakilan WALHI.
Menanggapi pernyataan Pradipta Indra, Agus Trisnobuwono selaku Kepala Bidang Penataan dan Penaatan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batu menjelaskan, “Permasalahan lingkungan hidup tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek, tetapi dilakukan secara berkelanjutan, dan konsep lingkungan hidup berbeda dengan pembangunan pada umumnya, sehingga hasilnya tidak bisa langsung terlihat.”
Kendati demikian, ia mengakui bahwa dampak negatif tidak bisa dipungkiri terutama masalah lingkungan. Oleh karena itu, Dinas Lingkungan Hidup mencoba meminimalisir dampak negatif dari pembangunan pariwisata yang pesat di kota Batu.
“Kami menanggapi statement ‘pembangunan terlebih dulu, izinnya belakangan’ itu adalah hal yang salah. Kami tetap akan mengawal proses perizinan di Kota Batu khususnya terkait dengan persetujuan lingkungan” lanjut Agus.
Koordinator Nawakalam Gemulo, Aris Faudzin, menyampaikan harapannya agar pemerintah serius dalam upaya penanganan masalah lingkungan dan melibatkan masyarakat. Ia juga berharap masalah-masalah seperti ini tidak terulang lagi di generasi yang berikutnya.
“Mari kita selamatkan gunung, kita selamatkan air, kita selamatkan bumi, dan disitu kita akan bisa menyelamatkan kehidupan. Wariskan mata air kepada anak cucu kita, bukan air mata,” pesan Aris kepada seluruh peserta, sekaligus menutup kegiatan diskusi ini. (af/saf/gra)