Lompat ke konten

Nama pun Diatur Pemerintah

Ilustrator: Gratio
Oleh: Cahaya Eka Aurellia*

Dikeluarkannya kebijakan baru oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait aturan nama dalam dokumen kependudukan seperti Akta, KTP, KK, dan biodata kependudukan lainnya dalam Permendagri 73/2022 yaitu mudah dibaca, tidak bermakna negatif, dan tidak multitafsir, jumlah huruf termasuk spasi maksimal 60 kata serta jumlah kata paling sedikit 2 kata. Apakah dapat dikatakan sebagai pembatasan hak?

Nama sejatinya diberikan sebagai sebuah harapan yang disematkan pada penyandangnya dan setiap individu pasti memiliki pandangan tersendiri. Menurut penulis nama merupakan unsur subjektif. Setiap individu memiliki hak atas dirinya termasuk hak atas nama yang dimiliki, hal ini sudah masuk ke dalam ranah pribadi yang mana pemerintah seharusnya tidak perlu lagi ikut campur. 

Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh mengungkapkan latar belakang pembentukan kebijakan ini adalah untuk mempermudah pelayanan publik. Jika bertujuan untuk mempermudah pelayanan publik seharusnya pemerintah dapat mencari alternatif lain daripada memberikan ketentuan nama dalam dokumen kependudukan. Mungkin pemerintah memandang kebijakan ini untuk mempermudah kinerja para ASN, namun apalah arti jika masyarakat mendumel akibat kebebasan berekspresi dalam pemberian nama dibatasi.

Sedangkan tata cara pencatatan nama dokumen kependudukan saat ini menggunakan huruf latin sesuai kaidah, nama marga dapat dicantumkan, penggunaan tanda baca dan angka tidak diperbolehkan, gelar pendidikan/keagamaan dilarang untuk dicantumkan.

Ketentuan di atas akan menjadi langkah permulaan berakhirnya era nama satu kata atau nama dengan tanda petik (‘) maupun tanda hubung (-) yang biasanya membedakan pelafalan nama. Entah mengapa pemerintah mengadakan aturan minimal 2 kata untuk nama padahal hal ini sudah menjadi semacam kebiasaan masyarakat Indonesia sejak dulu untuk menyandang nama satu kata.

Apapun tanggapan masyarakat baik pro-kontra hingga ketidakpedulian sebagian masyarakat terhadap kebijakan ini, pemerintah tetap merealisasikannya pada 21 April 2022. Apabila terdapat masyarakat yang melanggar aturan ini maka sanksi yang diberikan berupa tidak dapat diterbitkannya dokumen kependudukan yang diajukan.

(Visited 1,457 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Psikologi 2020 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini aktif sebagai anggota Divisi Litbang LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?