Malang, PERSPEKTIF – Pada tanggal 1 Maret lalu, telah dikeluarkan Surat Edaran (SE) Rektor Nomor 2802/UN.10/TU/2022 yang menyatakan bahwa perkuliahan di Universitas Brawijaya (UB) akan dilakukan secara hybrid setelah ujian tengah semester genap 2022. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Perundungan (ULTKSP) untuk memberikan pelayanan optimal di tengah perubahan sistem perkuliahan daring menjadi hybrid.
Pantri Muthriana Erza Kallian, anggota Tim ULTKSP Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan beberapa penyesuaian di masa perkuliahan hybrid ini.
“Sebenarnya walaupun ULTKSP didirikan pada masa perkuliahan daring, penyusunan SOP (Standard Operating Procedure) dan tata kelolanya sudah disesuaikan dengan kondisi normal. Kalau ada perubahan dari sisi pelayanan, yang pertama memang mengenai pemanggilan korban dan pelaku. Jika dulu pemanggilan dilakukan secara daring, sekarang ini bisa dilakukan secara luring sehingga lebih efektif karena kita bisa melihat orangnya, ekspresinya, dan lain-lain,” ujar Erza (12/4).
Ia lanjut menjelaskan bahwa prosedur pengaduan bisa dilihat melalui website resmi FISIP (fisip.ub.ac.id) yang di dalamnya sudah terdapat penjelasan mengenai pelaporan dan penanganan yang akan diberikan. Selain itu, tersedia X-Banner di masing-masing gedung FISIP yang memiliki kode QR (Quick Response) dan bila di-scan akan langsung terhubung ke Google Form berisi formulir pengaduan milik ULTKSP.
Selain sistem pelaporan, Erza menambahkan bahwa ULTKSP FISIP juga sedang memaksimalkan program-program pencegahan kekerasan seksual dan perundungan.
“Kami sudah memiliki beberapa program yang diarahkannya untuk pencegahan. Misalnya PerDek (Peraturan Dekan) yang masih dikerjakan menyusul Peraturan Rektor (Pertor) yang sebelumnya juga sudah keluar. Kami rencananya ingin membuat buku saku untuk pencegahan, beberapa tindakan advokasi termasuk seminar, dan juga melakukan kerja sama dengan pihak luar seperti yang saya lakukan ketika berkunjung ke UGM (Universitas Gadjah Mada) yang memiliki unit sejenis,” imbuhnya.
Firza Putri Maulida Maharani, Wakil Ketua Girl Up UB menyatakan bahwa ULTKSP ini benar-benar bisa menjadi wadah komprehensif untuk menangani permasalahan kekerasan seksual dan perundungan di kampus, di mana korban bisa mendapatkan pemulihan dan pendampingan yang semestinya, serta pelaku bisa mendapat sanksi yang seharusnya.
Namun kehadiran ULTKSP belum banyak diketahui lebih lanjut oleh sebagian mahasiswa. Hal ini disampaikan oleh Sofiurrohman, mahasiswa Jurusan Sosiologi.
“Jujur aja aku sendiri kurang paham ULTKSP ini mungkin karena sekarang online dari unit layanan ini. Kalau menurut aku yang mungkin diprioritaskan lebih ke pengawasan sih, karena kuliah sekarang udah mau hybrid juga, jadi lebih ditekankan lagi untuk lebih diawasi,” katanya (19/4).
Tak hanya Sofiurrohman, Viona, mahasiswa Ilmu Pemerintahan juga mengaku belum tahu secara mendalam tentang ULTKSP.
“Saya hanya sekedar tahu saja tentang lembaga yang memang melayani untuk kasus-kasus kekerasan seksual dan perundungan, tapi untuk detailnya mengenai lembaga itu saya kurang mengikuti. Seperti kasus-kasus seperti apa yang sudah mereka tangani, dampaknya seperti apa sejauh ini kurang mengikuti. Jadi hanya sekedar tahu saja,” ujar Viona (11/4).
Walaupun begitu, Viona tetap berharap agar ULTKSP ini terus mengoptimalkan kinerjanya pada masa perkuliahan hybrid untuk menangani kasus-kasus pelecehan seksual dan kekerasan di kampus.
“Saya harap bahkan ULTKSP bisa menjadi rumah bagi para korban dimana mereka bisa merasa aman dan nyaman, serta tidak merasa terintimidasi. Mungkin kedepannya bisa melaksanakan atau menjalankan program-program yang dirasa memang perlu atau urgent untuk memberantas pelecehan seksual dan perundungan,” harapnya. (ran/ahi/gra)