Malang, PERSPEKTIF – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur mengadakan webinar bertajuk Catatan Akhir Tahun 2021 pada Jumat (14/1) melalui virtual meeting. Webinar ini diadakan sebagai refleksi terhadap berbagai eksploitasi alam dan konflik sosial-ekologi di Jawa Timur yang terjadi sepanjang tahun 2021 lalu. WALHI Jawa Timur menghadirkan beberapa pembicara dari beragam perspektif, yakni aktivis, dosen, dan koalisi masyarakat.
Wahyu Eka, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur menjelaskan terkait kapitalisme dan pemulihan tujuh wilayah krisis di Jawa Timur. Ia menegaskan bahwa selama ini terjadi perluasan ruang atas dasar kapitalisme yang bertujuan untuk memenuhi keuntungan pribadi.
“Problem aneka eksploitasi adalah kapitalisme. Paling tidak kapitalisme adalah mengubah bahan mentah dari alam yang sebenarnya milik bersama dijadikan milik pribadi. Hak milik pribadi itu kemudian berkembang menjadi milik oligarki,” jelas Eka.
Ia kemudian menambahkan bahwa Indonesia merupakan sasaran empuk untuk eksploitasi alam secara besar-besaran karena mempunyai kekayaan alam yang luar biasa. Berbagai hal yang memungkinkan dilakukan demi mengubah kekayaan alam tersebut menjadi milik pribadi.
Mengangkat perspektif hukum, Purnawan D. Negara selaku Pengajar Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang dan Dewan Daerah WALHI Jawa Timur mengatakan bahwa Undang-undang yang dibuat selama ini bersifat hukum birokrasi dan bukan hukum negara, sehingga hanya berorientasi pada kelancaran menjalankan program pemerintah. Alhasil hal tersebut menyebabkan kerentanan terhadap masyarakat karena produk hukum terkait lingkungan yang dituangkan dalam kebijakan menimbulkan legal gap antara negara dan rakyat secara fakta ekologis, fakta sosial dan fakta yuridis.
Sementara itu, Fifi Salma Safitri selaku perwakilan dari Suara Perempuan Desa memberikan pandangan terkait eksploitasi alam tersebut dari sudut pandang feminisme. Ia menuturkan bahwa 49 persen populasi Jawa Timur adalah perempuan, sehingga perempuan sangat perlu dilibatkan dalam kegiatan pergerakan lingkungan.
“Permasalahan lingkungan tidak dibatasi dengan geografis, yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana melakukan pengorganisasian seluas dan sekuat mungkin pada masyarakat untuk mau bergerak dan mengangkat suara. Dengan separuh populasi yang merupakan perempuan, maka dalam pengorganisasian ini kita juga perlu menggunakan perspektif perempuan dengan mempertimbangkan faktor biologis dan sosialnya agar dapat menggerakkan mereka,” tutur Safitri.
Selanjutnya, tiga penanggap yang berasal dari daerah-daerah krisis secara bergantian menjelaskan kondisi terkini eksploitasi lingkungan di wilayah mereka masing-masing. Trigus Susilo menjelaskan situasi di Trenggalek, Sri Mariyati di Pakel Banyuwangi, serta Dian Purnomo di Sepat Surabaya. Ketiganya kompak menyerukan bahwa lingkungan mereka layak untuk dijaga dan dipertahankan demi kesejahteraan warga. (uaep/ads/los/gra)