Malang, PERSPEKTIF – Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Pemilihan Mahasiswa Raya (Pemira) UB 2021 melalui Zoom Meeting pada Minggu malam (28/2). Acara tersebut diikuti oleh kurang lebih 36 partisipan yang terdiri dari anggota DPM FISIP dan mahasiswa umum.
Pada acara tersebut, DPM FISIP UB mengkritisi Juknis Pemira UB 2021 yang memiliki beberapa kejanggalan. Hal yang paling dikritisi oleh DPM FISIP UB adalah transparansi dan sisi intervensi pihak rektorat UB.
Menurut anggota DPM FISIP, Arya Rifqi Waradana, ketidaktransparan publikasi Juknis Pemira UB 2021 terletak pada tanggal rilisnya. Surat Keputusan (SK) yang ditandatangani Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Abdul Hakim, dikeluarkan pada tanggal 24 Februari. Namun, baru disosialisasikan pada 27 Februari dengan beberapa revisi.
“Ini yang membuat tidak transparan karena ada revisi dalam jeda waktu publikasi. Itu pun tidak disosialisasikan,” ungkapnya.
Hal yang menambah ketidaktransparan Juknis Pemira tahun ini juga terlihat pada status kepanitiaan Pemira UB 2021. Padahal, panitia sebelumnya telah terbentuk pada Oktober 2020, kemudian tiba-tiba diganti oleh rektorat dengan maksimal alokasi panitia mahasiswa sebanyak 15 orang.
“Juknis rektorat membuat bingung siapa yang menjadi panitia Pemira sebenarnya,” tutur Arya.
Intervensi pihak rektorat dalam kepanitiaan Pemira UB 2021 juga dipandang Arya sebagai tindakan yang mencederai iklim demokrasi kampus. Secara prosedural, pihak rektorat dianggap tidak menghormati kepanitiaan yang telah dibentuk oleh DPM UB sebelumnya.
“Di sini kita bisa melihat adanya cacat prosedur dan intervensi dari pihak rektorat,” ucapnya.
Ketika ditanya tentang tidak adanya wawancara pada proses pelaksanaan Pemira UB 2021, DPM FISIP UB belum bisa menafsirkan maksud dari Pasal 8 Ayat (2) Juknis Pemira UB 2021 tersebut. Menurut Arya, belum ada penjelasan dan audiensi lebih lanjut mengenai proses wawancara dan publikasi komunikasi politik dari setiap bakal calon ataupun calon tetap.
“Tentang tidak adanya wawancara, DPM FISIP belum menerima sosialisasi lebih lanjut dari DPM atau rektorat UB,” jelas mahasiswa Ilmu Politik 2018 tersebut.
Mantan Staf Divisi Humas Panitia Pengawas (Panwas) Pemira UB 2021, Muhammad Ichwanul Reza, memandang adanya Juknis baru dari rektorat ini secara otomatis membubarkan kepanitaan yang lama. Menurutnya, adanya pendaftaraan panitia baru dan pengambil alihan acara memperlihatkan intervensi politik dari pihak rektorat.
“Dengan keluarnya Juknis ini, panitia yang lama secara otomatis telah dibubarkan rektorat,” ucap mahasiswa Ilmu Politik 2020 tersebut.
Intervensi rektorat juga dipandang Ichwanul sebagai hal yang mencederai iklim demokrasi kampus. Menurutnya, seharusnya rektorat hanya sebagai fasilitator dan acara Pemira UB sepenuhnya menjadi kewenangan DPM UB.
“Pemira kan kegiatan mahasiswa dan rektorat hanya memfasilitasi, bukan mengambil alih,” tegas Ichwanul.
Ichwanul berharap Pemira UB 2021 segera terlaksana, agar presiden EM dan DPM yang baru sebagai representasi mahasiswa UB dapat terpilih. Ia juga menyarankan agar Pemira digunakan sebagai ajang belajar demokrasi kampus.
“Semoga Pemira dapat segera terlaksana agar EM dan DPM dapat terpilih. Dan seharusnya bagi mahasiswa baru, Pemira (dimaknai, red) sebagai ajang belajar demokrasi di kampus dan tidak dipenuhi konflik politik antarlembaga kampus,” pungkasnya. (mim/ais)