Malang, PERSPEKTIF – Kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia bak fenomena gunung es. Hanya sedikit dari banyak kasus yang tidak terlaporkan, dengan meninggalkan penyintas tanpa keadilan dan pelaku tetap bebas berkeliaran. Salah satu faktor penyebab banyaknya kasus yang tidak diusut melalui jalur hukum adalah karena belum adanya payung hukum yang dengan tegas dan jelas mengatur penanganan kasus kekerasan seksual.
Belum tuntas sampai sekarang kasus pelecehan seksual yang terjadi di Pondok Pesantren Majmaal Bahrain Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang, oleh M. Subchi Azal Tsani terhadap beberapa santrinya. Pelaku dikenal sebagai tokoh yang terpandang sebagai anak dari seorang kyai serta menjadi Ketua Umum Organisasi Pemuda Shiddiqiyyah setempat.
Ana Abdilah, selaku salah satu tim yang mengadvokasi korban, telah menyampaikan beberapa fakta terkait proses pengusutan kasus ini. Kasus yang terjadi pada tahun 2017 ini melibatkan tiga orang penyintas yang merupakan santri didikan pelaku. Dengan menggunakan dalih relasi kuasa, pelaku melancarkan aksi bejatnya terhadap para penyintas. Baru pada 15 Mei 2018, salah satu penyintas berani untuk membawa kasus ini ke ranah hukum. Semakin berjalannya waktu, penyintas lain turut mengajukan laporan dengan didukung oleh saksi dan rekan sesama santri lainnya.
Proses hukum yang berbelit dan tidak berpihak pada penyintas menyebabkan kasus ini tidak kunjung menemui titik terang. Penyintas dituntut untuk menjalani berkali-kali visum dengan tekanan psikis serta intimidasi dari pihak pelaku. Pada 12 November 2019, pelaku baru ditetapkan sebagai tersangka. Namun begitu, kasus sempat berhenti sampai muncul aksi demonstrasi pertama oleh Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual di depan Polres Jombang. Aksi ini bertujuan menuntut penahanan tersangka dengan segera serta mengupayakan keadilan bagi penyintas.
Penanganan kasus ini dianggap tidak memihak penyintas. Beberapa kali penyidikan terhambat dengan alasan kurangnya barang bukti dengan dua kali kasus dikembalikan ke penyidik oleh JPU (Jaksa Penuntut Umun, red).
“Korban mengalami trauma psikologis, sebab sampai dengan saat ini, korban terus dimintai keterangan dan terancam menjalani visum hingga ke-3 kalinya, yang menunjukkan proses hukum yang sangat tidak berperspektif korban,” terang Ana.
Di sisi lain, penyintas mendapat intimidasi dari pihak keluarga tersangka. Ketiganya beserta 10 santri lainnya bahkan dianggap sebagai ‘Gerombolan Penyebar Fitnah’ yang akan membahayakan pesantren dan dikeluarkan dari pondok. Sementara itu meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka, pelaku masih bebas sampai saat ini.
“Ketiga korban dan 10 nama santri lainnya diberhentikan sebagai murid di pondok serta dianggap sebagai barisan pemberontak yang akan menghancurkan nama pesantren,” tutur Ana.
Selain penanganan kasus yang tidak berperspektif korban, faktor-faktor seperti penyintas pelecehan seksual yang tidak berani speak up serta stigma negatif yang sering diarahkan ke penyintas menyebabkan banyak kasus pelecehan seksual tidak terkuak. Banyak kejadian pelecehan seksual yang mematahkan stigma masyarakat terkait korban dan begitu dekat namun sangat jauh dari pengetahuan kita.
Olivia (bukan nama sebenarnya) mengalami pelecehan seksual saat ia baru duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) oleh tetangganya yang seorang pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP). Yang ia tahu hanya saat itu ingin mencari teman bermain. Siapa sangka, hari itu justru membawa trauma berkepanjangan pada dirinya.
“Saya takut kalau ketemu dia. Entah dia ingat apa tidak, tapi saya selalu ingat,” ungkapnya.
Masih menimpa anak-anak, Bintang (bukan nama sebenarnya) mendapat perlakuan tidak menyenangkan saat ia berjalan pulang dari sekolah oleh orang yang tidak ia kenal. Kejadian itu masih terus berbekas di pikiran siswa kelas lima sekolah dasar itu, bahkan sampai ia dewasa sekarang.
“Karena kejadian itu waktu saya masih kecil, jadi belum tahu apa-apa. Tapi kondisi saya setelahnya seperti konflik pikiran gitu. Saya tahu itu nggak benar dan jadi ketakutan sendiri,” ungkap Bintang.
Pelecehan seksual juga bisa dilakukan oleh orang terdekat korban. Beberapa rangkuman kasus ini membuktikan bahwa siapa saja bisa menjadi korban dan pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja.
Mulan (bukan nama sebenarnya) mengalami pelecehan seksual oleh seniornya di kampus saat ia masih mahasiswa baru. Seniornya yang juga seorang ketua dari Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) jurusannya itu hampir memperkosa korban.
“Setelah itu aku trauma dan takut. Mau ketemu dia rasanya takut. Setiap ketemu dia bawaannya marah dan pengen nangis, sampai sekarang masih begitu,” katanya.
Kejadian hampir serupa juga dialami oleh Amber (bukan nama sebenarnya) yang mengalami pelecehan seksual oleh empat orang yang berbeda. Pelaku adalah teman dan senior korban di kampus. Korban sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan berupa kontak fisik tanpa konsen yang merendahkanya. Mirisnya, kejadian itu terjadi di lingkungan kampus, di mana seharusnya menjadi lingkungan yang aman bagi mahasiswanya.
“Dia melakukan itu di depan banyak orang, dan sialnya saya tidak melakukan perlawanan. Tubuh saya gemetar, saya takut. Namun saya tetap melindungi sebagian tubuh saya,” ungkapnya.
Amber juga mengatakan bahwa orang-orang di sekitarnya cenderung acuh dan justru menormalisasi pelecehan seksual yang menimpanya sebagai suatu bentuk ‘candaan’ saja.
“Orang-orang di sekitar yang melihat kejadian ini sama sekali tidak menolong saya, tidak menegur perbuatan pelaku,” tuturnya.
Amber menyesalkan reaksi orang-orang di sekitarnya yang dominan tidak suportif terhadapnya sebagai korban pelecehan seksual. Menurutnya, masih banyak orang yang memiliki pola pikir menyalahkan korban.
“Saya akhirnya cerita ke beberapa teman yang saya anggap mereka bisa men-support saya. Beberapa ada yang menganggap hal ini sepele. Mereka bilang hal tersebut mungkin hanya bercandaan saja dan justru menyalahkan saya sebagai korban karena tidak melawan dan hanya diam,” ungkap Amber. Kasus-kasus di atas hanya sedikit dari banyak kasus pelecehan seksual lainnya yang sampai sekarang masih membekas di benak korban. Bagi pelaku, mungkin ini bukan merupakan hal besar, namun penyintas akan selalu mengingat. Sebagian bahkan harus mencari pertolongan dari konselor mental karena belum mampu sepenuhnya berdamai dengan trauma dan tekanan mental. Suka tidak suka, negara ini memang belum mampu memberikan perlindungan dan keadilan bagi penyintas kekerasan seksual, dan akan terus seperti itu jika masyarakatnya memilih diam. (alf/ais)